Sebanyak 40 petugas KPPS di Pulau Taliabu dan 14 Jajaran Bawaslu Kota Ternate Reaktif. Itulah dua rilis berita yang saya baca hari ini.
Sebelum masa pencalonan kandidat, saya sudah sempat mengulas tentang potensi kluster baru pada tahapan pilkada (1). Dan, pada perjalanannya apa yang dikwatirkan terjadi. Betapa longgarnya proses tahapan demokrasi yang dilakukan para kandidat dan tim.
Dimulai dari proses pendaftaran, kampanye, hingga pembekalan saksi. Dan sebentar lagi tahap pencoblosan.Â
Selama proses ini, saya menyaksikan baik dari rilis, live medsos dan postingan medsos banyak sekali kampanye terutama di Maluku Utara yang jauh dari kata menerapkan protokoler kesehatan.
Kerumunan warga pada kampanye nampak nyata. Protokoler kesehatan juga terabaikan. Bahkan di akhir kegiatan tak jarang ada joget-joget. Ya disini, pertemuan seperti ini pasti di tutup dengan joget bersama.
Malam ini saja, di Halmahera Utara (Halut) dalam sebuah postingan grup, simpatisan dari salah satu kandidat melakukan pawai keliling Halut. Padahal, kegiatan ini dilarang dan tidak masuk dalam mekanisme kampanye di masa Covid saat ini.
Banyaknya pelanggaran protokol bukan karena lemahnya pengawasan. Namun apa daya pengawas atau Panwas utamanya Panwascam hanya satu dua orang. Selain itu, membludaknya masyarakat karena kesedaran dari tim dan simpatisan begitu rendah.
Kesadaran menjadi salah satu faktor penting tapi terabaikan. Bentuk lemahnya kesadaran tersebut dapat dilihat dari cara manusia berperilaku dalam sosial. Bisa di kata ada lakon apatis yang ditunjukan.Â
Selain itu, kepercayaan. Bentuk kepercayaan ini terbangun atas dasar kontradisksi tentang sebuah kondisi. Covid-19 yang saat ini terjadi adalah satu kondisi yang dianggap paling tabuh. Masih banyak masyarakat bahkan di Maluku Utara tidak mempercayai adanya virus ini.Â
Dalam beberapa kesempatan, saya sering melakukan jejak pendapat atau eksperimen kecil. Diantara jawaban yang saya dapatkan ialah, Covid-19 hanyalah bentuk ketidakpastian dan kesengajaan. Pada keseimpulannya mereka tak percaya.
Ketiga, tanggung jawab. Ya, setiap kandidat, tim, pelaksana hingga pengawas belum mampu mengemban amanah agar setiap kegiatan kampanye tidak menghadirkan kerumunan. Bahkan, sebagai contoh di kabupaten Kepulauan Sula bahkan sampai mendatangkan artis yang akhirnya berujung kerumunan.
Bentuk tanggung jawab yang tidak disosialisasikan dan dilaksanakan secara mekanisme dan prosedural inilah sehingga kerumunan tak dapat dicegat. Alhasil, lebih memperparah keadaan ketika negara sedang berjuang mengatasi corona. Walau negara sendiri kemudian mengakui bahwa banyak terjadi pelanggaran protokeler kesehatan pada tahapan Pilkada 2020 ini.
Lantas jika demikian, bagaimana semestinya pemungutan suara dilakukan?
Proses pencoblosan tinggal beberapa hari lagi. Tentu pada tahapan ini, bagi saya akan lebih sedikit kerumunan karena letak TPS yang ada disetiap kelurahan. Namun, bukan berarti ini tidak menjadi fokus.Â
Di dalam TPS akan dilaksanakan protokoler kesehatan sesuai prosedur dan mekanisme. Akan tetapi di luar TPS, kerumunan dalam jumlah besar maupun kecil akan terbentuk.
Bentuk kerumunan ini karena beberapa dasar. Pertama, sebagai simpatisan, kedua pemilik hak suara yang bimbang menentukan suara dan menunggu eksekusi dari tim setiap kandidat (money politik) yang disertai lobi-lobi tim setiap kelurahan hingga RT dan sekedar berkumpul baik sebelum dan sesudah pencoblosan.
Bagi saya, keadaan di luar lokasi ini sangat perlu di perhatikan. Kerumunan kecil setiap RT atau RW harus dapat diantisipasi dengan menempatkan petugas keamanan atau pihak berwajib agar warga yang datang mencoblos tidak menciptakan kerumunan. Alias datang, coblos dan pulang.
Bagian terpenting yang juga harus diperhatikan ialah pada saat perhitungan suara. Warga harus dilarang hadir menyaksikan. Sebab selama ini, proses perhitungan menjadi satu bagian penting yang harus dan wajib disaksikan oleh warga.Â
Menyaksikan proses perhitungan suara adalah bagian dari klaim atas perolehan suara kandidat yang dijagokan. Biasanya hasil ini akan dijadikan ajang perdebatan yang tak habis-habisnya.
Money PolitikÂ
Di Maluku Utara Money Politik atau politik uang lebih dikenal dengan nama Serangan Fajar. Kondisi di mana uang beredar pada masa tenang dan saat mendekati H-2 dan H-1.
Praktik ini lazim terjadi khususnya di Maluku Utara. Setiap tim kandidat akan bergerak di kantong-kantong basis. Di setiap lokasi ada tim-tim kecil yang nantinya bergerak di tiap rumah yang sudah teridentifikasi sebagai pemilih kandidat yang mereka usung.
Bahkan ada jargon, ada uang ada suara. Pola laku serangan fajar ini bahkan menciptakan kondisi di mana setiap gang, ada kelompok-kelompok kecil yang rela begadang demi menunggu tim-tim ini datang. Apalagi mendekati momentum pencoblosan.
Tim-tim yang bergerak atau pasukan eksekusi biasanya terdiri dari 2 sampai 3 orang. Selain bergerak malam hari, mereka juga terkadang bergerak di lokasi TPS. Bernegoisiasi dengan pemilik suara yang belum menentukan pilihan.
Pola lain adalah dengan mencatat setiap nama yang masuk dalam pemilih kandidat. Nama-nama ini akan di beri uang pada saatnya tiba.
Baru dua hari lalu saya menelpon salah satu keluarga di Kota Ternate. Dalam obrolan, tanpa sadar ia kecoplosan mengungkapkan bahwa sudah diberi uang oleh tim salah satu kandidat untuk memilih kandidat tertentu.Â
Selain itu, semalam saya juga menemukan ada beberapa postingan postingan di laman Facebok, yang menunjukan sebuah amplop berisi uang 200 ribu yang diterimanya dari salah satu tim kandidat sembari berisi caption. "Hati-hati serangan fajar sudah dimulai".
Sementara itu, pihak penyelengara juga sudah mulai mengendus adanya aliran uang yang masuk ke Maluku Utara. Salah satu daerah yang diduga sudah masuk ialah Kabupaten Kepulauan Sula (1).
Dalam istilah orang Maluku Utara ialah, uang sudah masuk atau kontainer sudah masuk.
Bagi saya sendiri, melawan money politik butuh kesadaran pada masing-masing individu. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa bentuk politik Indonesia saat ini berwujud transaksional.Â
Biaya politik atau ongkos politik yang mahal telah menyebabkan tindakan kotor tercipta. Money politik salah satunya. Bahkan pengalaman saya, tak pelak bentuk transaksi ini bahkan menyentuh pihak penyelenggara.
Politik IdentitasÂ
Seperti yang disinggung di atas, politik di era demokrasi saat ini membutuhkan cost yang sangat besar. Sehingga memungkinkan segala cara dilakukan. Selain transaksi money politik, hal klasik yang sering terjadi ialah politik identitas.
Saya mendapat banyak fenomena tentang ini, yang paling lumrah ialah identitas etnis.
Doktrin sederhannya ialah kandidat A etnis A maka wajib memilih etnis B. Begitupun dengan C, D dan seterusnya. Alhasil, kondisi yang dihasilkan ialah isu sara yang menyerang etnis atau marga tertentu.Â
Memang manusia tak bisa lepas dari identitas. Itu haknya. Namun jika transformasi identitas itu dijadikan pakem politik maka yang hadir adalah konflik yang berkepanjangan karena luka.
Yap, politik identitas sangat syarat konflik, isu sara hingga moral. Baru-baru ini saja saya di ceritakan oleh salah satu teman bahwa di kampungnya warga bahkan saling melarang menggunakan atau mengambil air parigi; sumur karena perbedaan pilihan.
*
Tiga fenomena di atas hanyalah bagian dari rangkuman atas item-item penunjang demokrasi yang terjadi saat ini. Masih banyak item yang harus diperhatikan. Namun yang paling utama ialah dalam kondisi pilkada yang dipaksakan pada era pandemi saat ini perlu dua hal. Pertama sehat jasmani dan sehat politik.
Kita harus mampu meletakan kesadaran paling depan pada agar mampu menjamin demokrasi yang sehat. Kesadaran menerapkan protokoler hingga menolak politik uang dan politik identitas.
Mari gunakan hak pilih sebaik-baiknya. Agar pemimpin yang dihasilkan berkualitas.
*
1. 40 Anggota KPPS Taliabu Dinyatakan Reaktif
2. Reaktif Rapid Tes, 14 pengawas TPS Isolasi mandiri
3. 1.960 PTPS jalani Rapid, 61 Reaktif dan Isolasi Mandiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H