Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Bawah Langit Biru Halmahera

24 November 2020   01:30 Diperbarui: 24 November 2020   01:43 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di bawah langit biru Halmahera, dari semenanjung Buli hingga Obi, orang Halmahera berharap agar pala, cengkih dan kelapa masih bisa tumbuh, berbuah dan dinikmati. 

Dari Tanjung Sopi hingga Wayaua, nelayan-nelayan berharap agar sampan masih bisa mengapung dan Kail-kail masih bisa mengait ikan.

Pada hutan-hutan dipedalaman sana, suku-suku Togutil di Belantara Hutan Halmahera masih bisa berburu. Kepakan sayap burung bidadari serta kicauannya masih bisa membela celah pepohonan. Terbang bersama angin, dan menciptakan iraman nan menarik.

Orang-orang Halmahera berharap, masih ada tanah dan laut di masa depan. Bukan Tambang atau sawit yang mengancam, merusak hutan, sungai dan tanah.

Halmahera adalah nama gugus pulau terbesar di Provinsi Maluku Utara. Provinsi yang baru lahir tahun 1999-silam. Di Tanah Halmahera hidup berbagai suku besar; Tobelo-Galela (Togale), Ternate, Makian, Kayoa, Loloda, Patani, Togutil, Sanana, dan Tidore.  

Halmahera sendiri memiliki luas 17.780 km² (6.865 mil persegi) dan terdiri dari 4 kabupaten. Yakni, Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Utara, Halmahera Timur dan Halmahera Selatan.

Halmahera juga merupakan wilayah Kesultanan, Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Di wilayah ini, masyarakat hidup dari alam (laut maupun darat) turun temurun. 

Cengkih, pala dan kelapa adalah komoditi unggulan yang banyak diusahakan oleh masyarakat. Komoditi ini, utamanya cengkih dan pala merupakan dua komoditi bersejarah dan menjadi saksi kedatangan Portugis hingga Belanda ke Indonesia; awal mula penjajahan.

Sementara perairannya, berbatasan langsung dengan laut Pasifik. Laut ini juga menjadi saksi sejarah perang dunia II. Adalah Jendral Mc. Artur sang juru taktik tersehor milik Amerika yang kemudian menjadikan salah satu pulau di Halmahera sana sebagai pangkalan militer dalam perang pasifik dengan jepang.

Sisa kejayaanya di Pulau Morotai yang sekarang menjadi kabupaten sendiri pun masih terawat. Baik puing kendaraan tempur, tempat pemandian Mc. Artur hingga peninggalan terbesar yakni  6 Landasan bandar Udara.

Selain itu, laut Halmahera kaya akan potensi perikanan. Sebuah jalur migrasi penting bagi ikan pelagis besar, kecil dan demersal. Ia berada tepat Wilayah Pengelolaan Perikanan 715, 716,717. Wilayah 715 misalnya, adalah wilayahnya perikanan tuna, cakalang dan tongkon (TCT). Komoditas ekspor utama setelah udang.

Namun, dibalik keunggulan dari penjelasan singkat di atas, Pulau Halmahera sedang diujung tanduk. Ia di kepung tuan-tuan bermodal besar yang berkawan dengan negara. Menebang pohon, mengeruk tanah, pasir hingga merusak laut. Halmahera terkepung kepentingan oligarki.

Tanahnya yang kaya mineral sudah lama sejak lama dikeruk. Hutannya yang rimbun dibabat habis, pasirnya yang mengandung nikel dan tanahnya yang mengandung emas dan sejenisnya masif dikeruk. Seakan menambah luka, saat ini setiap jengkal dataran Halmahera dan pulau-pulaunya lainya telah memiliki izin operasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Lantas bagaimana nasibnya kedepan?

*

Tiga jam lagi matahari akan tenggelam, ketika saya sedang terburu-buru merakit alat pancing. Senar yang barusan saya beli di toko harus digulung ke tempatnya. Sebuah kayu kecil milik Ayah angkat yang tidak terpakai. 

Setelah selesai, kemudian diikatkan dua kail pancing dengan jarak tak kurang dari 20 cm. Di ujungnya kemudian diikatkan lagi pemberat dari beberapa paku 5 cm yang saya gabungkan.

Tak berselang lama saya pamit dan menuju ke Pantai desa. Disebuah jembatan lapuk di Desa Dodinga Kabupaten Halmahera Barat. 

Sore itu saya tak sendiri, ada beberapa warga yang juga ikut menyalurkan hobi memancingnya. Bagi saya, mungkin terdorong oleh hoby dan sekedar mencari lauk. Tapi bagi mereka, selain lauk juga untuk dijual.

Mengambil tempat di ujung jembatan saya mulai menurunkan umpan. Disini, ikan-ikan belum sarjana. Sangat rakus. Belum sampai beberapa menit potongan umpan sudah di sambar. 

Kawasan disini ternyata banyak ikannya lantaran kayu soki atau mangrove masih tumbuh subur. Jarang di tebang oleh warga.

Sekira tiga puluh menit kemudian datang lagi salah satu warga yang tak asing. Safrudin namanya. Ia tak memancing. Tujuannya karena info dari ayah angkat yang mengatakan saya sedang memancing.

Safrudin nyatanya sedang ingin memastikan tawaran kegiatan yang saya ajukan pada saat rapat dengan para pemuda. Program pergantian pagar Musallah yang sudah rusak.

"Saya cari ngn (kamu) sampe (sampai)," Ujarnya sembari duduk disamping saya.

" Sudah dapat berapa ekor,"? tanya ia kemudian.

"Baru 10 ekor saja" jawabku sombong.

Beberapa menit kemudian kami basa-basi sembari saya yang asik menarik ikan. 

" Eh, iya bagimana dengan kegiatan kalian" tanya Safrudin di sela saya melempar umpan.

"Jadi. Tapi masih binggung harus ambil kayu untuk tiang dimana," jawabku.

"Ambil saja yang dekat" Ujarnya sambil menunjuk sebuah bukit yang tak jauh dari jembatan.

" Oh. bisa? itu tanah siapa biar kita minta ijin," Tanyaku

Ia lantas menjelaskan siapa pemilik kayu di atas bukit tersebut. Bukit yang tak ditanami apa-apa. Padahal, setelah bukit hamparan tanahnya begitu luas dan rata.

"Eh iyo. Kenapa pemilik tanah tidak tanam pala atau cengkih di situ," Tanyaku penasaran

"Oh. Karena ada kandungan emas. Tapi masih muda," 

Jawabannya membuat saya melongo. Pantasan saja pepohonan di sana kelihatan tidak subur. Daun yang seharusnya hijau justru lebih kelihatan menguning. 

Hari itu terhitung 25 ekor ikan saya bawa pulang. Dalam istilah kami, dua bit. Satu bit berisi 10 ekor. Ikan ini kemudian dimasak malam hari.

Rasa penasaran saya terhadap pernyataan si kawan sore tadi terus menghantui ketika pulang. Alhasil, malam harinya saya menemui pemilik lahan di rumahnya. Om Kardi. 

Kami mengobrol begitu hangat. Sembari saya menyampaikan maksud dan tujuan ingin mengambil kayu di lahannya serta memuaskan rasa penasaran.

" Om, tadi dengar dari Safrudin katanya tanah di bukit itu ada emas" Tanyaku.

" Oh iya. Tapi masih muda," Jawabnya persis seperti yang diungkapkan Safrudin.

" Dulu ada peneliti datang. Tapi saya lupa dari mana. Mereka bilang mungkin 20 tahun lagi; obrolan kami terjadi di 2013, baru bisa tua (dalam artian sudah siap di eksploitasi)" Jawabnya.

"Terus dari peneliti bilang apa om", tanyaku 

"Katanya janhan jual tanah itu. Nanti suatu saat ada perusahaan datang beli" Jawabnya membuat saya terkejut.

" Terus om mau jual," 

"Kalau om si tidak mau. Kasian kampung kecil ini nanti rusak. Disini turun temurun kami hidup. Dari orang tua-tua sampai sekarang. Om hanya takut kalau terjadi seperi di Malifut dan Kao; salah satu pusat tambang terbesar di Maluku Utara yang berada di Kabupaten Halmahera Utara. Disana kebun masyarakat tinggal nama. Akhirnya setengah mati cari uang," Ujarnya.

Malam itu saya mendapat banyak pelajaran. Dan memang benar jika menjual atau termakan rayuan investor maka akan habis desa kecil yang berpenduduk tak lebih dari 3000 jiwa ini. Sama seperti di Obi beberapa tahun belakangan yang terusir karena masuknya perusahaan nikel yang beroperasi belum genap 5 tahun.

Atau di Gane Barat Kabupaten Halmahera selatan ketika masyarakat dan lahan kebunya di serobot kebun sawit.

Namun, apakah masyarakat semisal Om Kardi bisa berdiri dengan idealisnya mempertahankan tanahnya ketika para pemodal sudah mendapatkan ijin? tentu sangat sulit sebab yang di lawan adalah pemerintah dan yang sering kalah dan terusir ialah masyatakat.

*

Prahara klaim dan penyerobotan lahan warga oleh perusahaan pertambangan akhirnya menimbulkan konflik yang besar. Bahkan belum lama ini, di tahun 2019 dan 2020 ini saja. Masyarat lingkar tambang di Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Utara menyerbu area pertambangan menuntut perusahaan berhenti beroperasi. 

Lantaran perusahaan berporasi jauh di luar wilayah operasi dan menyerobot lahan warga serta taman-taman nasional serta masalah krusial lain.

Selain itu dana-dana CSAR juga tak jarang menghadirkan banyak konflik antara perusahaan dan warga. Banyak aktivis lingkungan dan mahasiswa gencar melakukan kritik jalanan namun yang didapatkan hanya perkara semata.

Sama seperti yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Taliabu. Saya masih begitu mengingat ketika para aktivis dan warga yang melakukan protes ganti rugi lahan harus di tangkap dan berhadapan dengan pihak keamanan. 

Damrin, salah satu aktivis yang turut terlibat dalam advokasi agar perusahaan mau membayar ganti rugi dalam sebuah pertemuan mengungkapkan bahwa hingga kini tak ada ganti rugi. Perusahaan terus melakukan eksploitasi.

Lantas siapa yang dirugikan? tentu saja warga yang memiliki lahan. Mereka terusir dengan sendirinya dan harus mencari nafkah di bidang lain.

*

Maluku Utara utamanya Halmahera memiliki luas yang lebih kecil dari laut namun memiliki keunggulan pada SDA. Salah salah satunya, kandungan mineral. Inilah yang mendorong banyak perusahaan melakukan investasi. Sektor investasi utama ialah pertambangan dan kehutanan. 

Pertambangan merupakan salah satu sektor pembentukan penyumbang PAD. Bahkan sektor ini menjadi satu sektor penyumbang nilai ekspor terbesar. Menurut BPS Maluku Utara Nilai ekspor  pada September 2020 sebesar US$85,15 juta, mengalami peningkatan 2,33 persen dibanding Agustus 2020 yang senilai US$83,21 juta. (1)

Namun dibalik sumbangsinya, resiko yang ditimbulkan juga cukup besar terutama pada lingkungan dan hilangnya ruang hidup  masyarakat adat yang mendiamai pulau Halmahera. 

Lantas berapakah luas lahan yang dikelola untuk ijin pertambangan dan pemanfataan hutan saat ini;

Puluhan izin usaha pertambangan di Maluku Utara itu menggarap tambang nikel pada lahan seluas 2 juta hektar dari luas daratan Maluku Utara yang 3,3 juta hektar atau 33.278 kilometer persegi. Di Halmahera Timur, luas wilayah hutan yang menjadi lokasi tambang mencapai 167.400 hektar dari luas daratan 654.000 hektar. (Baca. www.ekuatorial.com)

Data ini belum diperbaharui dan jika diuraikan per kabupaten maka hampir 70 persen lahan sudah mendapat ijin eksploitasi (akan dibahas nanti). Apalagi dengan dikeluarkannya 32 izin operasi oleh pemerintah daerah pada 2018 silam. Tentu eksploitasi akan semakin menjadi-jadi.

Apapun itu, saat ini dampak yang dihasilkan sudah terasa. Selain ruang hidup masyarakat yang hilang, lingkungan juga terkena dampak luar biasa. Apalagi dengan disahkannya Ombinuslaw yang justru membuat posisi warga lebih kecil dan tak punya power. (Sukur Dofu-dofu)

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun