Obrolan kami dalam mencari alternatif kemudian menemukan solusi. Kami akan meminta partisipasi warga yang bersedia menghibakan pohonnya untuk di tebang.Â
Kebanyakan pohon-pohon tersebut berada di kebun-kebun warga yang cukup dapat di jangkau dari jalan raya sehingga tidak menyulitkan kami dalam proses pengangkutan nanti.
"Untuk sewa berapa om,? tanya kami.
"Kase (Kasih) saya Rp. 500 ribu saja tidak apa, ngi (kalian) kan mahasiswa. Minyak nanti saya tanggung pribadi. Saya bantu ngi" jawabnya.
Jawaban itu membuat kami tak habis pikir, sebab setau saya menyewa jasa tukang tebang pohon cukup menguras biaya.
Dari sewa hingga makan terkadang di tanggung si penyewa. Namun, pak Sulaiman justru kebalikan. Ia dengan tulus membantu kami walaupun ada gundah yang hinggap begitu dalam di benak.
***
Pak Sulaiman sudah melakukan pekerjaan ini sejak remaja. Mula-mula ia hanya ikut salah satu kerabatnya. Lambat laun, skilnya terasah hingga memberanikan diri membeli mesin sensor sendiri.
Terhitung sudah 4 senso ia pakai dan yang terakhir ini sudah berusia 15 tahun. Senso tersebut sudah menjadi alat tempurnya dalam mencari nafkah.
Ia bekerja sendirian, dan tak terhitung berapa jumlah pohon yang sudah ia tebang.Â