Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Senso Tua Pemberi Nafkah

1 Oktober 2020   09:11 Diperbarui: 3 Oktober 2020   01:24 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi pribadi

Pukul 10 pagi, bersama 3 orang teman kami menerobos hutan belantara Halmahera. Tepatnya di Desa Dodinga Kabupaten Halmahera Barat. Terhitung 3 anak sungai sudah kami lewati, dan 1 jam sudah perjalanan kami tempuh berjalan kaki namun tak kunjung sampai ke tujuan.

Medan yang sulit cukup membuat repot, apalagi baru pertama kali menyusuri hutan di Kabupaten ini. Sehingga, seluk beluk medan tak kami kuasai. Beruntungnya, kami di temani salah satu anak desa yang juga merupakan anak dari orang yang hendak kami temui.

Sekira 1 jam 30 menit kemudian, sayup-sayup suara mesin pemotong mulai terdengar. Petanda tujuan kami sebentar lagi sampai. Walaupun butuh beberapa menit dan sedikit usaha menerobos hutan dengan mengayungkan parang ke semak belukar yang kami lalui.

Kami benar-benar sampai ketika melihat seorang pria berumur 56 tahun sedang memotong cabang pohon yang sudah tumbabg dengan gergaji mesinya (senso) tuanya.

Ia, orang yang ingin kami temui, Pak Sulaiman, Pria yang sangat sulit di temui di Desa lantaran sebagian besar hari-harinya ia habiskan di hutan. Dalam seminggu, ia kadang pulang 2 kali untuk rehat. Ia akan benar-benar diam di rumah ketika mesin senso tuanya tak beroperasi alias tak ada pesanan atau terjadi masalah pada mesin.

Saat tiba, ia sedang bersama istrinya, Jamila (50 tahun) yang terlebih dulu menyapa kami. Jamila sedang mengantar makan siang sang suami.

Pak Sulaiman sendiri tidak menyadari kehadiran kami lantaran ia sedang fokus. Dan juga bunyi raungan senso menutupi semua jenis pergerakan suara. Ia baru menyadari ketika mesin sensonya kehabisan bensin.

"Eh dari tadi," tanya ketika menyadari kehadiran kami.

"Baru datang papa. Ini ada yang mau ketemu," Jawab anaknya yang menjadi guide kami bertemu beliau. .

Nampak ada sedikit keheranan di wajah Pak Sulaiman, walaupun iasebenarnya sudah mengetahui sosok kami karena sudah sebulan menetap di Desa Dodinga. Namun keheranannya bukan pada sosok saya tetapi ada rasa sedikit kwatir pada wajahnya.

"Maaf om tanya sadiki (sedikit), ngi (kalian) dari orang mana, (asal daerah)"

"Saya orang Makeang om," Jawabku sembari memberikan tangan bersalaman. Sementara dua teman lainnya juga menyahut dengan menyebut daerah asal masing-masing.

"Saya dari Sanana terus yang satu ini dari Ternate," jawab Imran

"Oh tara (tidak) apa-apa kalau begitu," jawabnya.

Saya keheranan dengan jawabannya. Apa maksud dan tujuan ia mengatakan seperti itu.

"Tara apa-apa gimana om," tanyaku kemudian.

"Kalau suku kalian sudah biasa masuk hutan alias orang hutan jadi tidak apa-apa. Saya tidak tau suku Ternate. Jawabnya.

Ia lantas bertanya pada salah satu kawan yang berasal dari Ternate. Dan sedikit mengobrol secara privat yang sengaja tidak kami ganggu.

Saya kemudian menangkap apa maksud pak Sulaiman beberapa menit kemudian. 

"Masuk hutan itu harus hati-hati, di sini banyak penghuni selain manusia. Banyak orang hilang dan disembunyikan karena tidak batebea (permisi/memohon ijin ketika masuk). Apalagi banyak dari orang-orang yang sering merusak hutan yang kita tidak tau disitu adalah rumah bagi mereka. Ini bisa membuat mereka murka," jelasnya.

Pak Sulaiman lantas memberikan penjelasan kepada kami dengan sedikit cerita yang membuat buluk kuduk merinding. Namun ia juga memberikan tip dan trik batabea masuk hutan kepada kami. 

***

Pak Sulaiman sedang membuat jari-jari pagar. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Pak Sulaiman sedang membuat jari-jari pagar. (Foto: Dokumentasi pribadi)
Pukul 1 siang, pak Sulaiman mematikan mesin senso tuanya. Ia makan siang. Nasi, ikan goreng dan sambal lahap disantapnya. 

"Ini makanan mewah banta-banta (melebihi) masakan restoran. Saya pe cinta (Istri saya) memang paling hebat." pujinya kepada sang istri yang hanya cekikan.

Setelah makan, ia menyalakan sebatang rokok. Kami duduk di bawah sebuh pohon. 

"Jadi ada perlu apa ni kong jao-jao (jauh-jauh) cari saya," Ia bertanya. Kami pun menjelaskan maksud dan tujuan menemui beliau.

"Kebetulan ada mau bikin pagar mesjid dari Mahasiswa. Jadi butuh kayu pagar," jelas kami.

"Mau yang berapa jari (lebar)," tanyanya kemudian.

"Om sesuaikan sudah om, torang (kami) juga tidak tau," jawab kami. Ia lantas diam sejenak, lalu bertanya. "Kayu apa saja kan,"

"Saya om, yang penting kuat dan tahan," jawab kami.

Pak Sulaiman kemudian setuju, namun belum bisa mengerjakan pesanan kami dalam minggu ini. Ia harus menyelesaikan terlebih dulu pesanan orang lain.

Selain itu, ia masih menimbang lokasi ia menebang pohon lantaran belakangan pohon untuk di tebang sudah sangat sulit. Pohon kecil berumur 5-10 tahunan tak ia tebang, selain itu lokasi pohon lainya berada di balik bukit sebuah pegunungan.

"Kalau pohon dekat sini sudah abis. yang besar juga orang punya (kepunyaan orang). Musti di belakang gunung itu," jelasnya sembari menunjuk sebuah gunung yang membuat kami hampir putus asa.

Obrolan kami dalam mencari alternatif kemudian menemukan solusi. Kami akan meminta partisipasi warga yang bersedia menghibakan pohonnya untuk di tebang. 

Kebanyakan pohon-pohon tersebut berada di kebun-kebun warga yang cukup dapat di jangkau dari jalan raya sehingga tidak menyulitkan kami dalam proses pengangkutan nanti.

"Untuk sewa berapa om,? tanya kami.

"Kase (Kasih) saya Rp. 500 ribu saja tidak apa, ngi (kalian) kan mahasiswa. Minyak nanti saya tanggung pribadi. Saya bantu ngi" jawabnya.

Jawaban itu membuat kami tak habis pikir, sebab setau saya menyewa jasa tukang tebang pohon cukup menguras biaya.

Dari sewa hingga makan terkadang di tanggung si penyewa. Namun, pak Sulaiman justru kebalikan. Ia dengan tulus membantu kami walaupun ada gundah yang hinggap begitu dalam di benak.

***

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Pak Sulaiman lantas melanjutkan pekerjaanya dan seminggu kemudian kami habiskan di dalam hutan bersama beliau. Menemani dan melihat proses penebangan pohon yang dilakukannya.

Pak Sulaiman sudah melakukan pekerjaan ini sejak remaja. Mula-mula ia hanya ikut salah satu kerabatnya. Lambat laun, skilnya terasah hingga memberanikan diri membeli mesin sensor sendiri.

Terhitung sudah 4 senso ia pakai dan yang terakhir ini sudah berusia 15 tahun. Senso tersebut sudah menjadi alat tempurnya dalam mencari nafkah.

Ia bekerja sendirian, dan tak terhitung berapa jumlah pohon yang sudah ia tebang. 

Dalam menebang pohon ia cukup idealis. Ia tidak menebang sembarangan. Terutama di hutan lindung. Ia hanya menerima pesanan dan kayu yang ia tebang ialah milik warga sendiri. Ia tak mau menebang sembarangan walaupun pohon yang tak di miliki orang.

Keahliannya dalam mengoperasikan sensor membuat ia satu-satunya penebang pohon yang bertahan di kampung. Dulu ada lebih dari 10 orang namun tawaran yang menggiurkan dari salah satu perusahaan kayu loging di Sidangoli membuat mereka meninggalkan kampung.

Ia sendiri memilih bertahan karena ia tak mau ikut terlibat menebang pohon karena kepentingan Industri.

Walaupun hanya ia satu-satunya yang tersisa dalam profesi ini, tapi tidak menjamin ia tercukupi dalam hal kesejateraan.

"Ba sensor so lama, tapi tidak bisa beli mobil," candanya

"Jadi sekolah bae-bae (baik-baik) biar jadi orang hebat, terus urus ini hutan. Banyak orang yang asal potong dong (mereka) rusak hutan,"

Ia pun menceritkan pengalaman pahitnya ketika disambangi polisi hutan karena di tuduh terlibat pembalakan liar. Padahal, ia sendiri tak tau menahu perihal itu.

Ia harus berurusan dengan polisi namun karena kurangnya bukti ia kemudian dilepaskan. Kejadian itu bukan sekali, tapi berulang kali.

Ia mengungkaplan bahwa pembalakan liar cukup sering terjadi. Banyak dari mereka melakukan penebangan di hutan lindung yang di dalamnya terdapat habitat asli Halmahera yakni Burung Bidadari.

"Coba liat lokasi menuju Sidangoli di dekat gunung potong ; bukit yang dibelah menjadi jalan. Disitu dulu burung Bidadari Halmahera banyak tapi sekarang so (sudah) hilang samua (samua).

Pak Sulaiman sendiri sering bertemu dengan mereka (pelaku pembalakan liar) di hutan, namun ia tak berani menegur karena ada bekengan dari aparat. Ia memilih diam dan hanya sakit hati. 

"Kalau ada patroli pasti dorang (mereka) lari. Tapi besok dong (mereka) balik lagi," ungkapnya.

Ia pun melihat perkembangan luas hutan yang mulai hilang akibat pembongkaran besar-besaran. Menurutnya pembingkaran lahan warga untuk pertanian tidak terlalu berpengaruh. Namun dominasi utama ialah pembalakan liar, dan proyek-proyek pemerintah.

Selama 30 Tahun ia menyaksikan itu semua dan berharap agar ada tindakan dan keseriusan dari pemerintah. Ia berharap agar dataran Halmahera masih akan dilihat dan dinikmati oleh genrasi berikutnya.

Terima kasih. ***

*) NB: Pak Sulaiman kami temui pada tahun 2019 silam dan hingga kini beliau masih melakukan pekerjaan namun tidak seintens dulu mengingat usia dan fisik yang tak lagi kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun