Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Perang Pangan Dunia, di Mana Posisi Indonesia?

16 Juli 2020   12:18 Diperbarui: 16 Juli 2020   18:53 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah seorang pedagang cabe ramit terlihat serius melayani pembeli. Saat ini komuditi pangan yang penyumbang inflasi di Kepri salah satunya cabe merah dan cabe rawit. (Foto: KOMPAS.COM/ HADI MAULANA)

Dengan penguasaan sistem pemasaran pangan dunia di atas, sudah barang tentu Indonesia terutama masyarakatnya mengalami kerugian yang tidak sedikit. 

Artinya secara tidak langsung kita di perlihatkan secara fakta bahwa sudah terjadi penguasaan sumber daya alam menjadi proses produksi yang dikuasi dari input sampai output. Selain itu, selain sebagai potensi bisnis, sistem seperti ini akan merubah pola konsumtif masyarakat sebuah negara terhadap produk-produk instant.

Beredarnya produk-produk instan di kalangan masyarakat terutama indonesia pada akhir-akhir ini semakin intens, sebut saja penguasaan "air" yang di kemas menjadi praktis bagi masyarakat untuk di konsumsi telah menggeser asupan konsumsi menjadi lebih praktis. Jika dulu, masyarakat gemar memasak air, maka sekarang tinggal ke waralaba terdekat sudah mampu menciptakan apa yang disebut kepuasaan konsumen.

Selain "air" masih terdapat banyak produk yang kita jumpai saat ini. Bahkan makanan cepat saji, sayur mayur, bahan pangan lainya dapat di jumpai secara praktis. Sekali lagi siapapun yang dapat menguasai sumber daya ala dan mampu menciptakan nilai tambah mejadi produk akan menjadi pemain global. 

Untuk komoditas pangan yang memiliki nilai tambah, terdapat ribuan produk yang ada di Indonesia dan semuanya merupakan pemilik corporate 10 besar penguasaan f00d chain in the world. Sebut saja Unilever dengan produknya yang mencapai ribuan, Nestle, Coca-cola, Danone yang menjadi penguasa Air kemasan, Mars, Mondels dll.

Produk-produk berlabel food ini telah menguasi dunia terutama indonesia dengan gaya hidup konsumtif yang tinggi. Akan tetapi, jebakan belum berakhir dengan hanya menjelaskan ribuan produk dan perusahaan-perusaahn besar penguasa marketing food dunia.

Akan ada efek dari pola konsumsi produk instan yang lebih besar yakni kesehatan. Dalam sebuah penelitian yang di lakukan oleh peneliti UCLA Jonson Comprensive Cancer Center USA menunjukan bahwa Titanium Dioxida Nanopertikel yang terdapat dalam produk food dimana-mana.

Titanium Dioxida Nanopertikel dapat menyebakan kerusakan genetika sistem yang merupakan sumber berbagai penyakit, seperti kanker, dan penyakit kronis lainnya.

Penyakit-penyakit kronis ini dapat menyebakan kerugian bagi negara yang menyebabkan negara dan warga negara harus mengeluarkan biaya lebih untuk melakukan pengobatan, maka jangan heran ketika biaya kesehatan merupakan salah satu pengeluaran terbesar masyarakat Indonesia saat ini. 

Selain itu, potensi penyakit yang tercipta dari produk-produk kemasan dan instan di satu pihak adalah keuntungan bagi corporate yang bergerak di bidang kesehatan. 

Artinya bahwa terjadi peningkatan permintaan terhadap kesehatan (obat dll)  membuat coorporate dapat memanipulasi penawaran dengan ketersediaan yang di batasi sehingga menguntunkan bagi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun