Mohon tunggu...
Nia Febriana
Nia Febriana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cerpen - Cerbung - Review - Daily

hihihi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerbung Friendshit Episode 7 (Tamat) - Endgame

6 Juli 2022   07:35 Diperbarui: 6 Juli 2022   07:49 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/photos/perempuan-buku-harian-jurnal-865110/

Pertemuan ini menjadi yang terakhir, aku hendak menutup tahun dan buku diariku yang suram. 

"Apa?" Tanyaku dengan nada memuncak kala Denis mengatakan pernyataan yang menggantung.

"...hanya saja, jika kamu ingin berhenti, lalu, mencari sahabat sejati yang lain, aku mendukungmu." Denis menamatkan kalimatnya.

"Entahlah, gak semudah itu. Aku justru trauma untuk mencari sahabat yang lain, bahkan sekadar memulainya."

"Akhirnya, benar kan dugaanku? Kamu terjebak dalam toxic friendship. Omong-omong kapan mau keluar dari sana? Gak bosan selalu diabaikan?"

Dua bulan kemudian tahun 2022. Bohong kalau sejak percakapanku dengan Denis tidak terjadi apa-apa. Aku lebih sering migrain, asam lambung naik tak tentu waktu. 

Selain itu, belakangan aku jadi perenung andal. Air mata bisa jatuh tiba-tiba. Aku berpikir apa aku salah jika ingin berteman dengan Kia dan Tata? Sebenarnya selama sepuluh tahun ini mereka menganggapku apa?

Akhir tahun 2022.

Lama sekali aku menata hati untuk bersiap menghadapi tragedi persahabatanku. Aku sekarang bingung membedakan sahabat dan teman, persahabatan dan pertemanan. Karena kami terlalu dekat untuk disebut teman, tapi terlalu asing untuk disebut sahabat.

Aku, Tata dan Kia selesai melahap camilan-camilan porsi besar. Perutku terasa penuh. Kalau sedang kekenyangan aku bisa terkena penyakit dadakan. Penyakit malas gerak, ngantuk, dan tidak bisa berpikir.

Kia mengurut smartphone sambil memukul perutnya sampai mengeluarkan suara dug...dug..., "Main game yuk! Gabut."

"Oke!" Jawab Tata menampilkan senyum cantik dalam segala situasi. Wajahnya selalu begitu. Itulah mengapa Kia selalu ingin nempel dengan Tata. Supaya kecipratan aura dewi.

Aku bertanya, "Game apa nih?"

"Truth or Dare yuk! Kita belum pernah main game ini." Sahut Kia. "Suit dulu!"

Kami mengocok kepalan tangan sebelum mengeluarkan kode suit andalan. Gunting, batu, kertas. Skak! 

Skak!

"Yuna pertama!" Tata antusias sambil mengacungkan jari padaku.

Wah, aku tertantang sekali. Bagaimana bentuk pertanyaan yang harus kujawab ya? Setahuku pola pertanyaan permainan itu hanya seperti 'Siapa orang yang sedang kamu taksir?' atau 'apa yang membuatmu bahagia?'

Kia menyetel fitur game dari instagram dan mengarahkan kamera belakang pada wajahku, "Pertanyaan pertama. Apakah kamu pernah membenci temanmu?"

Aku menarik nafas, kemudian menahannya karena sesak. Kenapa pertanyaan itu menjurus kepadaku? Apakah ini pertanda aku harus mengakui semuanya? Itu berarti, malam ini waktunya endgame.

"Pernah!" Jawabku lugas.

Kia dan Tata bergidik. Mata mereka mengisyaratkan untuk membuka nama yang tersimpan dalam pikiranku.

Aku melanjutkan, "Ada teman yang pernah aku benci, tapi sekarang tidak lagi. Karena aku harus menanggapinya secara dewasa. Aku paham semua orang menginginkan teman yang sempurna untuk bisa dijadikan panutan. Tapi aku bukanlah teman yang seperti itu. Aku memilih untuk mengalah, setelah sadar bahwa upayaku menjadi bagian dari hidupnya adalah sia-sia belaka."

Kia memajukan tubuhnya, dia seperti tertarik oleh jawabanku yang ngawur. "Siapa orang itu Yun?"

"Kamu."

Kia memundurkan tubuhnya dan menurunkan smartphone-nya. Temanku yang manis mulai memasang wajah seperti saat berhadapan dengan guru BK. "Aku? Kenapa?"

"Kamu lupa atau pura-pura lupa?"

Tata tersenyum simpul, "Yun, kamu gak bercanda kan? Kalau ada masalah mending cerita sekarang. Kita selesaikan bareng-bareng."

Suasana anjlok drastis, kami mengawali pertemuan dengan tawa bahagia, namun sekarang mendadak penuh ketegangan.

"Ta, kamu gak pernah punya masalah denganku. Tapi karena kamu lebih klop dengan Kia, sepertinya kamu juga tandinganku." Aku menarik nafas lagi, "Kita sudah kenal selama sepuluh tahun, semakin hari aku semakin bingung dengan posisiku di antara kalian. Aku merasa gak sebanding. Aku bodoh. Menganggap kalian sahabat sejatiku, tapi kalian gak pernah menunjukkan hal itu. Begitulah yang kurasa.."

Kia, seorang melankoli yang tidak tahan jika mendengar kalimat negatif, dia langsung berderai air mata.

Aku melihat plafon dan lampu gantung cafe yang estetik. Sayang jika kutinggalkan tempat ini lebih cepat. "Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk saling mengenal, kan?" 

"Apa kami separah itu?" Ujar Tata.

"Apa kalian gak bisa memahaminya sendiri?" Aku balas bertanya.

"Kenapa kamu jadi seperti ini?" Kia mulai bisa mengontrol tangisnya yang sesegukan.

"Sebenarnya, aku sengaja meminta kalian datang untuk membahas ini. Tapi aku gak tahu harus mulai darimana. Ketika game itu dimulai dan pertanyaannya tepat dengan kondisiku, aku berpikir 'oh, inilah saatnya' seperti benang merah bukan?"

"Aku masih gak paham apa maksudmu. Kenapa aku yang kamu benci?"

"Aku malas mengulas kisah masa lalu. Terlalu jauh untuk diingat kembali. Yang pasti, jujur saja sampai sekarang hatiku masih sakit karena ulahmu. Entah apa yang akan kamu jelaskan kalau saat itu aku memberimu kesempatan bicara."

"Maaf kalau aku ada salah. Tapi aku gak tahu apapun." Secara harfiah, Kia tidak mengakui kesalahannya, dia hanya menggiring opini seolah sedang dizolimi.

"Aku sudah lelah. Sepuluh tahun kita bersama, terpisah karena tempat pendidikan yang berbeda, rupanya apapun bisa menggerus persahabatan kita. Bukan, persahabatan kalian dan aku-yang berharap bisa menjadi sahabat kalian. Entah bagaimana harus kuakhiri, tapi memang harus berakhir sampai di sini. Aku gak akan lagi memaksa kalian untuk mendengarkan celotehanku, membantu tugasku, atau mempedulikanku. Aku sadar, selama ini ada gap di antara kalian dan aku. Namun, selalu kupaksa agar bisa masuk ke dalam lingkaran persahabatan kalian. Aku hanya seorang penyusup, pengacau, yang mestinya gak pernah ada sejak awal."

Tata menyangkal, "Kita gak pernah menganggapmu begitu."

"Hmm... aku rasa waktunya gak akan cukup untuk bercerita dari a sampai z supaya kalian mengerti. Jangan khawatir. Semua benar-benar sudah kumaafkan, dan akupun akan benar-benar pergi dari kehidupan kalian. Terima kasih atas pengalaman berharga sepuluh tahun ini." 

Untung aku sempat menyesap cokelat hangat yang baru diantar oleh pelayan meski hanya setengah cangkir. "Ah, tagihan makanan ini sudah kubayar semua, kalian gak perlu repot-repot membuka dompet, menghitung pembagian bill beserta pajak, dan memutuskan siapa yang maju ke kasir. Aku pergi ya!"

Ada payung yang menahan rintik hujan dari kepalaku. Payung hitam. Sedikit beruntung karena bukan orang asing yang membawanya, melainkan Denis.

"Urusan di dalam sudah selesai?"

"Sudah"

Aku dan Denis berjalan pelan meninggalkan cafe, menyusuri trotoar sambil menikmati rintik hujan yang mereda dengan cepat. Seakan kesedihan tak bertahan lama untukku.

"Hebat! Kamu hanya perlu menerima kalau gak semua orang yang kita anggap sahabat bisa menganggap kita sebagai sahabat pula. Buktinya ada pepatah air susu dibalas air tuba."

"Kamu benar, selama ini aku seperti pengemis. Memohon kepada mereka agar menerima kehadiranku."

"Gimana reaksi mereka?"

"Kaget." Aku tertawa sinis setelah beberapa menit wajahku menegang, "Sekarang aku gak punya sahabat lagi. Gak tahu juga harus cari dimana."

"Eits ... kali ini kamu gak perlu menawarkan diri atau cari sahabat sendiri. Ada aku."

Aku berhenti sejenak, menyipit kepada Denis yang malah tersenyum geli padaku. 

"Wah, rasanya cepat sekali lukaku terobati. Terima kasih Denis."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun