Kia dan Tata bergidik. Mata mereka mengisyaratkan untuk membuka nama yang tersimpan dalam pikiranku.
Aku melanjutkan, "Ada teman yang pernah aku benci, tapi sekarang tidak lagi. Karena aku harus menanggapinya secara dewasa. Aku paham semua orang menginginkan teman yang sempurna untuk bisa dijadikan panutan. Tapi aku bukanlah teman yang seperti itu. Aku memilih untuk mengalah, setelah sadar bahwa upayaku menjadi bagian dari hidupnya adalah sia-sia belaka."
Kia memajukan tubuhnya, dia seperti tertarik oleh jawabanku yang ngawur. "Siapa orang itu Yun?"
"Kamu."
Kia memundurkan tubuhnya dan menurunkan smartphone-nya. Temanku yang manis mulai memasang wajah seperti saat berhadapan dengan guru BK. "Aku? Kenapa?"
"Kamu lupa atau pura-pura lupa?"
Tata tersenyum simpul, "Yun, kamu gak bercanda kan? Kalau ada masalah mending cerita sekarang. Kita selesaikan bareng-bareng."
Suasana anjlok drastis, kami mengawali pertemuan dengan tawa bahagia, namun sekarang mendadak penuh ketegangan.
"Ta, kamu gak pernah punya masalah denganku. Tapi karena kamu lebih klop dengan Kia, sepertinya kamu juga tandinganku." Aku menarik nafas lagi, "Kita sudah kenal selama sepuluh tahun, semakin hari aku semakin bingung dengan posisiku di antara kalian. Aku merasa gak sebanding. Aku bodoh. Menganggap kalian sahabat sejatiku, tapi kalian gak pernah menunjukkan hal itu. Begitulah yang kurasa.."
Kia, seorang melankoli yang tidak tahan jika mendengar kalimat negatif, dia langsung berderai air mata.
Aku melihat plafon dan lampu gantung cafe yang estetik. Sayang jika kutinggalkan tempat ini lebih cepat. "Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk saling mengenal, kan?"Â