Mohon tunggu...
Roy Octara
Roy Octara Mohon Tunggu... lainnya -

Segala tentang fiksi, misteri, horor dan humor

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Gadis Bertopi Fedora Hitam

14 Desember 2015   12:28 Diperbarui: 14 Desember 2015   15:36 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="favim.com"][/caption]

Aku senang, sungguh. Akhirnya rumah milik Natan dan Mary menemukan calon pembeli. Asal tahu saja, Rumah bergaya french country itu sudah 12 tahun tak berpenghuni. Bukan karena tak menarik atau harganya yang mahal, tapi gara-gara cerita kelam yang senantiasa melekat pada sisi-sisinya. Termasuk cerita yang paling dipercayai warga tentang penampakan hantu gadis bertopi fedora hitam. 

Pagi tadi Natan dan Mary memintaku turut membantu merapikan isi rumah. Natan dan Mary adalah pasangan pemilik rumah ini. Kami mengganti semua perabotan lama dan yang sudah rusak dengan yang baru. Aku juga meminta Natan mengerahkan petugas kebersihan untuk merapikan pekarangannya yang cukup luas. Rumput-rumput yang tumbuh secara liar diratakan. Pohon-pohon kecil yang berdiri bersilangan ditebang lalu dibuang. Apa yang kami lakukan lumayan berhasil. Rumah ini tampak lebih bersih dan terang. Kami memang harus buru-buru merapikannya karena calon pembeli akan datang melihat-lihat esok lusa. 

Disekitar sini udaranya sejuk. Banyak pohon-pohon rindang tumbuh menjulang. Burung-burung bersukaria mendirikan sarang. Tapi tahukah kamu? Dulu mereka tak pernah bersuara. Ya, burung-burung itu. Tak ada satupun kicauan yang keluar dari mulut-mulut lancip mereka meski silau mentari pagi begitu hangat menelisik sisi dedaunan. Meskipun angin telah berhembus pelan mengharap sebuah perayaan atau nyanyian. Mereka memilih diam. Takut bersaksi atas sebuah kekuatan hitam. 

Tapi kini semuanya sudah jauh berbeda. Segerombolan burung gereja berdendang bak paduan suara. Masing-masing mereka bersahut-sahutan mencari perhatian pipit betina. Anginpun berhembus bak maestro lagu-lagu klasik. Jelas saja rumput-rumput kini bergoyang, riang, lantas menari-nari. 

Seminggu yang lalu rumah ini disterilkan. Si hantu gadis bertopi fedora hitam kini tak akan pernah lagi kelihatan. Semuanya berawal saat Natan dan Mary mengundang Shania untuk jamuan makan malam. Shania adalah sahabat mereka yang sekaligus seorang paranormal. Saat itu kudengar obrolan mereka selepas makan siang. Sebenarnya aku ingin menanyakan langsung pada mereka perihal kedatangan Shania. Tapi aku lebih suka menebak-nebak. Dan aku rasa ini tak terlalu sulit. Pasti mereka akan meminta bantuan Shania untuk menyingkirkan si gadis fedora hitam. 

Natan dan Mary sendiri sebenarnya tak pernah percaya rumah itu berhantu. Ia memanggil seorang cenayang hanya demi menumbuhkan minat pembeli. Sekaligus tentu untuk membuat para warga melupakan cerita hantu yang menurut mereka sangat konyol. Meski banyak kesaksian yang meyakinkan bahwa sosok itu benar-benar ada. 

Dihari pertamanya, Shania hanya mengitari pekarangan rumah. Dari pengamatanku, usianya mungkin mendekati kepala tiga. Penampilan dan tutur katanya terkesan jauh dari seorang paranormal. Wajahnya putih bersih, bulu matanya lentik, bibirnya merah menyala. Cantik sekali. Dirinya jauh berbeda dari gaya khas cenayang murahan yang kerap wara-wiri di acara TV. 

Tak ada ritual. Atau mungkin belum saatnya. Pagi ini Shania hanya melihat-lihat sambil sesekali pandangannya menerawang kelangit. Mungkin ia tertarik dengan pohon-pohon besar yang tumbuh berkeliling bagai pagar raksasa mengitari sebuah kastil. Natan dan Mary tampak memandunya sembari terus bercerita perihal hantu yang ditakuti orang-orang. 

Melihat kepribadian Shania, aku lama-lama tertarik padanya. Kata penduduk sekitar, Shania sangat ramah namun sedikit pendiam. Setelah dua hari tinggal di sini, banyak pemuda yang mulai mencoba mencuri hatinya. Termasuk Bardon, seorang teknisi tampan yang terkenal suka main wanita. Aku harus menunggu dan mencari waktu yang tepat untuk berkenalan dengan Shania. Aku beruntung karena Shania justru tak menginap di rumah tinggal Natan dan Mary. Ia memilih tinggal di rumah berhantu itu. Kebetulan aku dan adikku sering bermain dan memancing di kolam tak jauh dari sana. Mungkin akan ada kesempatan untuk berbincang-bincang dengannya. 

Aku bukannya tak pernah bertemu langsung dengan Shania. Pernah suatu ketika aku berpapasan dengannya jelang senja, saat pancing adikku ketinggalan di kolam. Yang saat itu kusadari, Shania punya sorot mata yang amat tajam dibalik wajah cantiknya. Aku mengangguk dan memberi senyum dan ia hanya nembalasnya sedikit. Ya sedikit saja bibir tipisnya itu melengkung. Tapi sungguh, ketika diterpa kemilau senja, Shania berkali-kali lipat tampak lebih mempesona. Lebih dari senja itu sendiri. 

Entah apa yang membuatku tak berani menghampiri Shania dengan sengaja. Tak kusadari akhir-akhir ini aku sering mengendap-endap mengintipnya. Mengikuti kemanapun dia pergi. Aku bahkan menyelinap ke dalam rumah saat Shania lengah. Dirinya seperti magnet, sedangkan aku bagaikan besi tua yang tiada daya terjerat oleh medannya. Aku tiba-tiba saja selalu memikirkannya. 

Hari yang dinanti akhirnya tiba. Shania malam itu akan melakukan ritual pemanggilan dan pengusiran. Tepat pukul sepuluh malam, Shania beserta Natan dan Mary mempersiapkan segala sesuatunya. Kulihat Natan dan istrinya lebih dulu masuk ke dalam rumah. Sementara Shania berkeliling ke sekitar pekarangan. Aku terus mengendap-endap di balik pepohonan. Sekuat mungkin berhati-hati agar Shania tak menyadari kehadiranku. 

"Hei! Apa yang kau lakukan di sana!?"

Aku terkejut. Shania tiba-tiba saja menghardik. Namun aku bertahan dalam posisiku. Aku sempat berpikir, siapa yang ditanyainya? Aku atau mungkin dia tengah melihat hantu?

"Dasar penakut," sungutnya. Shania lalu berjalan sedikit tergesa masuk ke dalam rumah. 

Aku sedikit ragu. Tapi ada semacam dorongan besar yang memaksaku untuk terus mengikuti Shania. Kukumpulkan segala keberanian dan diam-diam ikut masuk melewati pintu utama. 

"Kemana dia?" Pikirku. Kudapati ruangan yang remang yang sepi. Hanya lampu dinding saja yang menyala. Tak kudengar langkah kaki Shania meski harum tubuhnya masih tercium. 

"Kau menyukaiku?" Shania terseyum. Tiba-tiba saja dia berdiri dihadapanku. Ah rupanya dia menjebakku. Tapi tak apa karena senyumnya jauh lebih lengkung dari senja itu.

"Ah. Ehm.. Maaf, Shania," ucapku gugup.

"Tidak apa-apa. Kenapa kau selalu mengikutiku? Jangan kau pikir selama ini aku tidak tahu."

"Oh bukan apa-apa kok. Oh ya, kemana mereka?" Basa basiku. Dia bahkan tak bertanya aku siapa.

"Natan dan Mary? Mereka ke lantai atas. Aku akan mengerjakan seseuatu di sana. Kau ikut saja dengan kami. Tidak apa-apa." Shania kembali tersenyum kemudian berpaling dan melangkahkan kakinya menuju tangga. Aku mengikutinya dari belakang sembari terus berharap Shania menanyai namaku. 

Rumah ini berlantai tiga. Seluruh temboknya bewarna abu-abu muda. Ditiap sudut ruangan pasti ditemui perabotan antik yang menguatkan kesan klasik desainnya. Shania terus mengitari lantai demi lantai tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya. Akupun tak berani bertanya atau memulai berbincang. Entah apa yang membuatku seakan utuh takluk padanya. 

Sesampainya dilantai atas Shania menarik nafas panjang. Entah apa pula yang sedang ia pikirkan. Pandangannya menembus tirai kaca jauh ke tengah-tengah malam. Sementara Natan dan Mary tampak sibuk menggelar sebuah meja. Menutupnya dengan kain hitam sebagai alas dan beberapa buah lilin berwarna merah. Mungkin untuk keperluan ritual. 

"Wah pemandangan di atas sini bagus juga ya," bisik Shania padaku. Aku hanya bisa mengangguk tanpa tahu harus berkomentar apa. Kulihat ke luar jendela, tak ada yang menarik kecuali bulan yang penuh membulat. 

"Duduklah," pinta Shania sembari menarik salah satu bangku mempersilahkanku. Meja itu tak terlalu besar tapi juga tak terlalu kecil. Mirip meja untuk jamuan dengan 10 orang tamu. Setelah kuteliti, Alasnya kainnya tak sepenuhnya hitam. Ada corak keemasan dengan empat belas lilin menyala. 

Shania memintaku untuk menunggu sebentar. Ia mendekati Natan dan Mary. Entah apa yang mereka bicarakan. Sekilas kulihat Natan dan Mary melirik kearah dudukku. Ah, apa mereka kesal karena aku datang tiba-tiba? Tak lama, merekapun turun ke bawah lalu meninggalkan kami saja rumah ini.

"Kemana mereka? Apa mereka tidak ikut menyaksikan ritual? Tanyaku.

" Oh. Ritualnya dibatalkan. Malam ini aku ingin mengobrol denganmu. Aku sudah bicarakan dengan mereka. Tak apa-apa."

Aku sedikit heran meski sebenarnya hatiku senang bisa berduaan dengan Shania.

"Tunggulah, aku ambilkan minuman," lanjutnya.

Tak lama Shania kembali dengan secangkir minuman. Kutebak saja itu wine lagi pula aku tidak peduli. Kuteguk setengahnya, ah ini bukan wine. Aku tak tahu tapi rasanya lumayan.

"Apa?" Tanyaku heran. Dari tadi Shania hanya senyum-senyum ke arahku. Kujentikan jemari pada gelasku yang kini sudah kosong.

"Kau cantik sekali," bisik Shania.

"Ah tidak, kaulah yang cantik," balasku memuji.

" Tapi kau sungguh lebih cantik, mungkin karena fedora itu," pujinya lagi.

Aku hanya tersipu, ingin kulepas fedora hitamku tapi Shania mencegahnya.

" Kau tak terlihat seperti paranormal." Aku berbasa-basi memberai gugupku.

"Kau juga. Kau tak terlihat seperti hantu," balasnya. Kami berdua kemudian sama-sama tertawa kecil.

"Kau terlihat sangat baik. Aku tidak mengerti kenapa mereka ingin mengusirmu dari rumah ini," lanjut Shania.

"Aku tak tahu. Tapi selama ini tak ada yang berhasil mengusirku kan?" 

Lama mengobrol, aku merasa aneh. Aku mencoba menajamkan penglihatanku. Sekujur tubuhku tiba-tiba terasa lain. Kepalaku agak pusing. Pandanganku sedikt berkunang-kunang. Kulihat Shania memandangiku. Senyumnya semakin lebar. Aku melihat gelagatnya mulai berubah. 

"BRAKK!!" 

Tubuh atasku terhempas ke atas meja. Kurasakan lemas yang luarbiasa. Aku berusaha untuk terus tersadar. Shania menggotong tubuhku ke atas meja. Ia lalu menelanjangiku. Aku terbaring layaknya hidangan kalkun panggang di hari thankgiving. Kulirik lagi Shania, ia memakaikan jubah hitam ketubuhnya dengan kalung-kalung yang tak jelas kulihat rupanya. Yang kuyakini dikedua tangannya tergenggam sepasang belati emas. Kini Shania terlihat seperti layaknya paranormal-paranormal sebelumnya yang pernah datang ke rumah ini. 

"Apa yang kau lakukan?" Aku menjerit.

"Meracunimu untuk ritual. Malam ini aku akan memusnahkanmu," jawabnya datar.

"Kau.. Kau.." Aku tercekat. Lidahku seolah-olah menyumpal masuk ke tenggorokan. Aku terbatuk sejadi-jadinya.

"Kau sebetulnya bukan roh yang kuat. Hanya paranormal-paranormal itu saja yang bodoh. Aku datang seperti seorang kawan dan kau terlena. Kini apa dayamu?" Ucap Shania dengan nada tinggi. 

Aku tak mampu berbicara lagi. Shania kini telah berdiri disisi kanan meja. Ia mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya. Masih kulihat sisi tajam sepasang belati itu berkilauan terbias sinar lampu-lampu. 

"BRUUUKK!!!" 

Shania terhempas jatuh kelantai. Adikku Sabila tiba-tiba saja melesat cepat menembus jendela lalu menghantam tubuh Shania. Sabila lalu meyentuh dadaku dengan kedua telapak tangannya. Kurasakan sejumlah aliran energi membuat tubuhku semakin membaik tiap detiknya. 

Kulihat Shania tak berdaya. Sisi kiri kepalanya penuh aliran darah. Kuraih jubahnya. Kutelanjangi dia. Kuangkat tubuhnya ke atas meja persis seperti apa yang ia lakukan terhadapku. 

Shania menjerit, meronta lalu meludahiku. Tak kuabaikan sumpah serapahnya. Kuyakinkan Sabila memeganginya kedua kakinya dengan kuat. 

"Selamat jalan Shania." Sapaku, sebelum kucengkeram leher putihnya. Lebih kuat dan lebih kuat lagi hingga bibir merahnya kini membiru. Kurasakan rohnya menggelepar, berhamburan, lalu terbang menembus langit-langit. 

Kubelai rambut Shania. Kuelus pipinya. Jasadnya masih saja cantik dan mempesona. Kurenggangkan lagi katup bibirnya. Kucium lalu kurasakan ringan sekujur tubuhku. Kini kubiarkan mulutku memagut mulutnya sampai benar-benar terlumat seluruh rohku kedalam raganya. 

Entah berapa lama aku tak sadarkan diri sampai kurasakan Sabila menepuk-nepuk pipiku. Pandanganku sedikit gelap dan kabur. Namun makin lama, aku bisa menguasai tubuhku. Jasad ini terasa begitu hangat kurasakan, begitu nyaman kini. Diluar tampak masih gelap. Aku turun dari meja lalu kupeluk erat Sabila. 

"Fedoramu kak." Sabila menjulurkan tangannya, namun kutepis.

"Buang saja. Dan mulai sekarang panggil aku Shania," pintaku.

"Kau cantik sekali kak. Hmm.. kak Shania." Gadis kecil itu merayuku. 

Tak kujawab pujiannya. Kudekati sebuah jam dinding besar dengan kayu ukiran naga. Kulihat diriku dipantulan kacanya diantara jarum dan angka. Ah benar, Cantik sekali. 

Jelang pagi, kutemui Natan dan Mary. Kuceritakan bahwa ritualnya berhasil. Mereka senang bukan kepalang. Kini tak ada lagi hantu gadis bertopi fedora. Yang ada hanya aku, Shania, si cantik yang mempesona. 

TAMAT

 

 

@OctaraRoy

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun