Entah apa yang membuatku tak berani menghampiri Shania dengan sengaja. Tak kusadari akhir-akhir ini aku sering mengendap-endap mengintipnya. Mengikuti kemanapun dia pergi. Aku bahkan menyelinap ke dalam rumah saat Shania lengah. Dirinya seperti magnet, sedangkan aku bagaikan besi tua yang tiada daya terjerat oleh medannya. Aku tiba-tiba saja selalu memikirkannya.Â
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Shania malam itu akan melakukan ritual pemanggilan dan pengusiran. Tepat pukul sepuluh malam, Shania beserta Natan dan Mary mempersiapkan segala sesuatunya. Kulihat Natan dan istrinya lebih dulu masuk ke dalam rumah. Sementara Shania berkeliling ke sekitar pekarangan. Aku terus mengendap-endap di balik pepohonan. Sekuat mungkin berhati-hati agar Shania tak menyadari kehadiranku.Â
"Hei! Apa yang kau lakukan di sana!?"
Aku terkejut. Shania tiba-tiba saja menghardik. Namun aku bertahan dalam posisiku. Aku sempat berpikir, siapa yang ditanyainya? Aku atau mungkin dia tengah melihat hantu?
"Dasar penakut," sungutnya. Shania lalu berjalan sedikit tergesa masuk ke dalam rumah.Â
Aku sedikit ragu. Tapi ada semacam dorongan besar yang memaksaku untuk terus mengikuti Shania. Kukumpulkan segala keberanian dan diam-diam ikut masuk melewati pintu utama.Â
"Kemana dia?" Pikirku. Kudapati ruangan yang remang yang sepi. Hanya lampu dinding saja yang menyala. Tak kudengar langkah kaki Shania meski harum tubuhnya masih tercium.Â
"Kau menyukaiku?" Shania terseyum. Tiba-tiba saja dia berdiri dihadapanku. Ah rupanya dia menjebakku. Tapi tak apa karena senyumnya jauh lebih lengkung dari senja itu.
"Ah. Ehm.. Maaf, Shania," ucapku gugup.
"Tidak apa-apa. Kenapa kau selalu mengikutiku? Jangan kau pikir selama ini aku tidak tahu."
"Oh bukan apa-apa kok. Oh ya, kemana mereka?" Basa basiku. Dia bahkan tak bertanya aku siapa.