Ketika orang melafalkan kalimat “amin”, dimaknai sebagai dukungan atas pasangan Capres dan Cawapres ini. Biasanya diteriakkan dalam acara-acara yang dihadiri orang banyak, seperti kampanye.
Karena ada kekhawatiran setiap melafal “amin” dimaknai sebagai sebuah bentuk dukungan, maka ada guyonan bahwa “amin” dalam solat pun akan dimaknai demikian.
Namun, sekonyol-konyolnya orang, tidak akan memaknai bahwa kalimat “amin” dalam solat adalah sebuah bentuk dukungan. Apalagi orang sekelas aktifis partai. Uwatu komo Ketua Umum partai politik mah.
Namun karena sedang dalam masa kampanye tadi, sensitivitas orang mendadak menjadi lebih terasah. Zulhas yang sejatinya sedang berkelakar, lalu dimaknai dengan serius.
Akibatnya dia menuai tuduhan sedang menistakan agama dan karenanya perlu diusut dan dilaporkan kepada pihak berwenang. Bahkan Adhi Massardi menuduh, pernyataan Zulhas sebagai cerminan rendahnya iman pendukung Prabowo.
Padahal, guyon ala Zulhas dalam konteks tertentu kerap dilakukan dan sudah menjadi kelaziman bahkan di kalangan para dai atau penceramah.
Kita kerap mendengar seorang kiai atau ustadz yang dalam rangka agar penyampaian tausiyah tidak membosankan, kerap menggunakan perkara sakral menjadi bahan guyonan.
Seorang penceramah kadang mempelesetkan rangkaian ayat dalam surat At-Tin “illalladzina amanu wa ‘amilusholihati”, nyeberang ke “watawa sau bil haq”. Lalu karena lucu, jamaah kemudian terbahak.
Walaupun -sekali lagi- saya sendiri tidak setuju dengan guyonan ala demikian. Tapi karena sudah menjadi kelaziman maka lambat laun dianggap sebagai kaprah.
Guyonan ala Zulhas sejatinya tidak berbeda dengan kelakar para penceramah diatas mimbar. Menjadi bermasalah karena diucapkan oleh tokoh politik di masa kampanye menjelang Pemilu.
Padahal kalau kita mau adil dan setara dalam merespon sebuah persoalan, bukankah pada saat yang berbeda hal yang sama juga dilakukan oleh Anies Baswedan ketika berbincang dengan Abdul Somad?