Mohon tunggu...
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Ocit Abdurrosyid Siddiq Mohon Tunggu... Guru - Warga Biasa

Penikmat kopi, penyuka film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jari dan Amin Dalam Solat

23 Desember 2023   11:30 Diperbarui: 23 Desember 2023   11:32 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekarang ini orang lagi pada sensitip. Eh, sensitif. Maklum orang Sunda, hehe. Kata orang, orang Sunda mah tidak bisa mengucap huruf F, atau V. Enak aja! Itu mah namanya pitnah!

Sensitif yang saya maksud adalah ketika orang-orang mendadak baperan karena persoalan sepele, sederhana, dan sejatinya telah menjadi kelaziman selama ini. Sudah biasa. Sudah kaprah.

Tapi bagi saya sendiri, walaupun lazim, namun bila hal itu merupakan perkara yang kurang baik, yang kemudian dibiasakan, tetap saja hal itu tidak baik.

Karena lazim, lalu dianggap biasa, dan tidak menjadi masalah. Namun karena sensitif tadi, yang lazim kini bisa menuai persoalan.

Mengapa orang-orang mendadak sensitif? Karena menjelang Pemilu, untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden. Apalagi sekarang sudah masuk masa kampanye.

Orang-orang mengkampanyekan calonnya, ternyata tidak cukup dengan menyajikan kehebatan sang calon. Namun juga menunggu kesalahan yang dilakukan calon lain dan pendukungnya.

Kesalahan itu kemudian dijadikan sebagai mesiu, untuk menyerangnya, menyalahkannya, dan menjadi alasan untuk tidak mendukungnya dan memilihnya.

Seperti halnya beredar viral belakangan ini. Zulkifli Hasan yang adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional, pendukung Koalisi Indonesia Maju, pengusung Prabowo-Gibran.

Dalam satu acara, Zulhas nama panggilannya berkelakar tentang adanya fenomena orang solat yang tidak mau mengucap “amin” usai imam membaca Al-Fatihah.

Kalimat “amin” yang biasa dilafalkan oleh makmum solat berjamaah usai imam membaca Al-Fatihah, merupakan bagian dari rangkaian pelaksanaan solat yang sakral.

Sebagaimana diketahui, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, menggunakan akronim “amin” untuk keduanya.

Ketika orang melafalkan kalimat “amin”, dimaknai sebagai dukungan atas pasangan Capres dan Cawapres ini. Biasanya diteriakkan dalam acara-acara yang dihadiri orang banyak, seperti kampanye.

Karena ada kekhawatiran setiap melafal “amin” dimaknai sebagai sebuah bentuk dukungan, maka ada guyonan bahwa “amin” dalam solat pun akan dimaknai demikian.

Namun, sekonyol-konyolnya orang, tidak akan memaknai bahwa kalimat “amin” dalam solat adalah sebuah bentuk dukungan. Apalagi orang sekelas aktifis partai. Uwatu komo Ketua Umum partai politik mah.

Namun karena sedang dalam masa kampanye tadi, sensitivitas orang mendadak menjadi lebih terasah. Zulhas yang sejatinya sedang berkelakar, lalu dimaknai dengan serius.

Akibatnya dia menuai tuduhan sedang menistakan agama dan karenanya perlu diusut dan dilaporkan kepada pihak berwenang. Bahkan Adhi Massardi menuduh, pernyataan Zulhas sebagai cerminan rendahnya iman pendukung Prabowo.

Padahal, guyon ala Zulhas dalam konteks tertentu kerap dilakukan dan sudah menjadi kelaziman bahkan di kalangan para dai atau penceramah.

Kita kerap mendengar seorang kiai atau ustadz yang dalam rangka agar penyampaian tausiyah tidak membosankan, kerap menggunakan perkara sakral menjadi bahan guyonan.

Seorang penceramah kadang mempelesetkan rangkaian ayat dalam surat At-Tin “illalladzina amanu wa ‘amilusholihati”, nyeberang ke “watawa sau bil haq”. Lalu karena lucu, jamaah kemudian terbahak.

Walaupun -sekali lagi- saya sendiri tidak setuju dengan guyonan ala demikian. Tapi karena sudah menjadi kelaziman maka lambat laun dianggap sebagai kaprah.

Guyonan ala Zulhas sejatinya tidak berbeda dengan kelakar para penceramah diatas mimbar. Menjadi bermasalah karena diucapkan oleh tokoh politik di masa kampanye menjelang Pemilu.

Padahal kalau kita mau adil dan setara dalam merespon sebuah persoalan, bukankah pada saat yang berbeda hal yang sama juga dilakukan oleh Anies Baswedan ketika berbincang dengan Abdul Somad?

Dalam satu acara yang mempertemukan keduanya, Somad  berkata “Sekarang di beberapa kantor, itu ghoiril maghdhubi alaihim wa ladholin, sudah takut bilang amin”.

Somad melanjutkan, “Jangan-jangan tasyahud pun begini”, sembari memperagakan adegan dengan menempatkan tangannya dalam posisi mengepal diatas lututnya. Lalu terdengar jamaah terbahak bersama.

Anies kemudian menimpali, “Masa tangannya keluar dua”, sembari memperagakan dengan mengacungkan dua jari membentuk format V, yang adalah simbol pasangan calon Presiden nomor urut 2. Jemaah kembali riuh terbahak dibuatnya.

Bila guyon dimaknai sebagai sebuah cara untuk menghidupkan suasana, saya sepakat. Karena dengan begitu suasana menjadi lebih terasa asik. Urat saraf bisa mengendur.

Perkara sakral yang dijadikan bahan guyonan, sejatinya tak masalah. Faktanya sudah lazim dilakukan oleh para dai dan penceramah. Asal kita mencecapnya secara proporsional, takkan menuai masalah.

Baik Zulhas maupun Anies dan Somad, mereka sejatinya sedang mentertawakan kehidupan. Menjadikan kekonyolan kita sendiri sebagai bahan guyonan.

Bila ditinjau dari perspketif lain, sejatinya fenomena mentertawakan diri sendiri merupakan bagian dari otokritik atau muhasabah. Menjadi evaluasi bagi diri sendiri untuk perbaikan.

Bahwa yang sakral tidaklah elok dijadikan bahan guyonan, saya juga sepakat. Namun bila tokoh agama pun larut dalam kelakar model begitu, apalagi kita yang kurang menguasai pemahaman keagamaan.

Walapun sejatinya itu tidak lantas menjadi justifikasi bahwa menjadikan perkara sakral  bahan guyonan membuat kita permisif. Memilah yang sakral untuk tidak dijadikan guyonan merupakan bagian dari adab dalam beragama.

Andai pun ada pembelaan dari para pendukungnya bahwa apa yang dilakukan Anies dan Somad konteksnya berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Zulhas, alasan itu terasa sebagai sikap ngeles.

Terasa ada standar ganda untuk menjustifikasi bahwa apa yang dilakukan oleh sang calon yang didukung sebagai sikap yang benar, sementara hal yang sama dilakukan oleh calon yang tidak didukung dituduh salah.

Alasan seperti ini membuat saya semakin yakin dan percaya bahwa sejatinya sumber daya alam yang tidak akan pernah habis itu bukan hanya sinar matahari, tapi juga ngeles yang ketersediaannya begitu berlimpah!

Zulhas sedang apes. Bercanda ketika tahapan kampanye sedang berlangsung. Ditengah suasana kompetisi Pilpres yang sedang memanas, mendramatisasi kesalahan lisan bisa menjadi alat provokasi.

Andai bukan di masa kampanye, candaan yang sejatinya kaprah dilakukan oleh para penceramah ini, takkan menjadi seriuh ini.

Wallahualam
***


Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun