Mohon tunggu...
Obed Antok
Obed Antok Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Berminat Dalam Bidang Sosial, Iptek, dan Pendidikan, Pastoral Konseling.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka: Asa Dosen Mencari Kemerdekaan

14 Oktober 2024   08:48 Diperbarui: 14 Oktober 2024   12:49 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kurikulum Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar, yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, diusung sebagai langkah revolusioner dalam pendidikan tinggi. 

Kurikulum ini memberikan lebih banyak kebebasan kepada mahasiswa, dosen, dan institusi pendidikan dalam proses belajar-mengajar. 

Tujuannya untuk mendorong inovasi, keterbukaan, dan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan industri dan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, kurikulum ini menghadirkan dilema tersendiri, terutama bagi para dosen pengajar.

Tuntutan Bagi Dosen Untuk Berinovasi

Pada tataran mahasiswa, Kampus Merdeka menawarkan kebebasan untuk mengeksplorasi berbagai pengalaman di luar program studi utama. 

Melalui program magang, proyek independen, kewirausahaan, atau kesempatan belajar di luar negeri, mahasiswa diharapkan memiliki kesempatan untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan dunia kerja. 

Implementasi kebijakan ini masih menghadapi berbagai kendala, termasuk kesiapan institusi pendidikan dan kesenjangan antara teori yang diajarkan dan praktik di lapangan.

Bagi dosen, Kurikulum Merdeka menawarkan peluang untuk menerapkan metode pengajaran inovatif, lintas disiplin, dan berbasis teknologi. 

Dosen diberikan ruang untuk merancang program yang lebih relevan dengan kebutuhan industri, menyiapkan mahasiswa yang lebih siap kerja, dan berpartisipasi dalam kolaborasi dengan dunia usaha. 

Tantangan Infrastruktur

Namun, di balik kebebasan ini, banyak dosen merasa terbebani oleh tuntutan baru tanpa dukungan yang cukup, baik dari segi pelatihan maupun infrastruktur. Tidak semua dosen siap mengadopsi teknologi baru atau mendesain ulang mata kuliah mereka agar sesuai dengan kebutuhan industri yang dinamis. 

Banyak dosen senior masih terbiasa dengan metode pengajaran tradisional dan kesulitan beradaptasi dengan tuntutan teknologi yang cepat berubah. Di samping itu, pelatihan dan dukungan infrastruktur yang belum merata menjadi hambatan dalam memaksimalkan potensi Kurikulum Merdeka ini.

Kurikulum Merdeka juga memberikan otonomi lebih bagi institusi pendidikan untuk mengembangkan program-program inovatif. 

Di sisi lain, tidak semua perguruan tinggi, terutama yang berada di daerah terpencil atau memiliki keterbatasan sumber daya, mampu menyiapkan infrastruktur yang memadai untuk mendukung program ini. 

Tantangan seperti akses teknologi yang terbatas dan keterbatasan dana operasional menjadi hambatan besar bagi institusi dalam mewujudkan kebijakan ini.

Kualitas Pengajaran dan Kesejahteraan Dosen

Dosen yang terlibat dalam melaksanakan kurikulum ini dihadapkan pada dua dilema besar: pertama, bagaimana menjaga kualitas pengajaran dan adaptasi kurikulum agar sesuai dengan tuntutan baru; dan kedua, bagaimana memastikan kesejahteraan mereka di tengah meningkatnya tuntutan profesional. 

Tidak sedikit dosen yang merasa kurikulum ini justru menambah beban kerja mereka, tanpa ada peningkatan yang signifikan dalam kesejahteraan dan dukungan institusional.

Ironisnya, di saat dosen diharapkan menjadi pionir dalam memajukan pendidikan tinggi melalui Kurikulum Merdeka, banyak dari mereka justru menghadapi kesulitan dalam hal kesejahteraan. Masih banyak dosen yang berada di bawah naungan yayasan yang belum mendapatkan insentif dari pemerintah. 

Mereka melakoni hidupnya sebagai bentuk pengabdian, namun kesejahteraan ekonomi mereka kerap terabaikan. Kondisi ini diperburuk oleh realitas bahwa gaji yang mereka terima sering kali jauh dari memadai, bahkan setelah bertahun-tahun mengabdi.

Untuk dosen-dosen yang telah lama berkarir, memperoleh sertifikasi dosen menjadi jalan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui tambahan tunjangan. 

Dosen dan Sertifikasi 

Namun, proses untuk mendapatkan sertifikasi ini tidaklah mudah. Banyak dosen yang harus mengantri di antara ribuan dosen lainnya, menunggu giliran untuk mendapatkan kesempatan sertifikasi. Hal ini membuat mereka yang sudah lama mengabdi harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan hak mereka.

Selain itu, proses sertifikasi dosen bukan hanya soal administratif, tetapi juga memerlukan pemenuhan syarat akademik yang ketat. 

Banyak dosen yang terkendala dalam mendapatkan NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional) atau NIDK (Nomor Induk Dosen Khusus), yang menjadi syarat utama dalam proses sertifikasi. Sebagaimana diketahui, saat ini NIDN telah bermigrasi ke NUPTK.

Bagi dosen non-PNS, prosedur pengurusan NIDN sering kali tidak jelas dan memakan waktu yang lama, menambah beban administratif yang sudah berat. Bagi dosen yang baru memulai karir akademik, syarat jabatan fungsional minimal sebagai Asisten Ahli juga menjadi hambatan. 

Banyak dosen harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan kenaikan jabatan fungsional, yang merupakan prasyarat untuk melanjutkan proses sertifikasi. Tanpa jabatan fungsional yang memadai, sertifikasi menjadi semakin sulit dicapai.

Sertifikasi yang tidak Mudah

Proses pengajuan kenaikan jabatan juga tidak sederhana, karena memerlukan penilaian terhadap karya ilmiah, publikasi, dan kontribusi akademik lainnya. 

Sistem penilaian ini sering kali lambat, dan banyak dosen yang harus menunggu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk mendapatkan keputusan atas pengajuan mereka. Hal ini membuat proses sertifikasi semakin panjang dan melelahkan.

Bagi dosen yang berstatus PNS, proses kenaikan pangkat dan golongan ruang juga menjadi tantangan tersendiri. Proses birokrasi yang rumit dan memakan waktu lama sering kali menghambat kemajuan karir mereka. Di sisi lain, dosen non-PNS harus berurusan dengan SK Inpassing, yang pengurusannya sering kali sulit dan berbelit-belit.

Selain hambatan administratif, sertifikasi dosen juga menuntut integritas akademik yang tinggi. Setiap pelanggaran terhadap etika akademik, seperti plagiarisme, dapat berdampak serius terhadap kelulusan sertifikasi. Oleh karena itu, dosen dituntut untuk menjaga standar etika yang tinggi dalam karya dan aktivitas akademik mereka.

Dosen Perlu Dimerdekakan 

Kenyataan ini menegaskan bahwa proses sertifikasi dosen bukanlah perjalanan yang mudah.  Meski sertifikasi penting untuk meningkatkan kesejahteraan dan pengakuan profesional, banyak dosen yang merasa proses ini justru menambah beban administrasi dan memperlambat kemajuan karir mereka. 

Tanpa dukungan yang memadai, baik dari sisi pelatihan, infrastruktur, maupun kesejahteraan, sulit bagi dosen untuk memaksimalkan potensi mereka dalam melaksanakan Kurikulum Merdeka.

Dilema ini mencerminkan paradoks yang dihadapi oleh banyak dosen di Indonesia. Di satu sisi, mereka diharapkan menjadi agen perubahan dalam pendidikan tinggi, tetapi di sisi lain, mereka sendiri sering kali belum "merdeka" dalam aspek ekonomi dan profesional. 

Kurikulum Merdeka mungkin menawarkan banyak kebebasan dalam teori, tetapi dalam praktiknya, masih banyak yang perlu diperbaiki untuk benar-benar "memerdekakan" para dosen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun