Sambil menjimpit paha Rani, Sinta mengalihkan pembicaraan.
"Ran, baiknya kau diam. Aku mau mabuk. Tadi kebanyakan minum es!" Kata Sinta sedikit berbisik pada Rani.
Bukannya Rani mau ngerti maksud Sinta, tapi dia malah makin ngaco ngeledek. Suaranya justru dikeraskan. Antara mangkel dan malu Sinta memberi kerdipan mata. Justru Rani kian ngoceh.
"Sin..., kalau aku melihatnya, pasti aku cakar. Sukanya mempermainkan perempuan."
Sinta bener-bener bereaksi. Dia menjimpit paha Rani. Rani menjerit. "Aduh, sakit Sin. Coba tanya Rio. Sakit ndak kalau dijimpit perempuan!"
Tampak Rio tersenyum. Namun wajahnya sedikit memerah, karena dia takut ketahuan mengambil novel itu. Padahal lewat novel itu dia ingin menitip sesuatu yang paling rahasia buat Sinta.
Suasana dalam bemo kemudian sepi.Tidak terasa Rio sudah sampai di depan rumahnya. Sopir bemo sudah hapal betul dengan rumah-rumah siswa karena hampir tiap hari dia antar jemput. Setelah membayar ongkos, Rio bergegas turun dari bemo.
"Hai, Rani dan teman-teman. Aku duluan ya."
"Kok, sebut namaku saja? Sapa dong Sinta!"
Rani menggoda. Dan Rio hanya senyum-senyum saja.
Tak berselang lama Sinta berucap dengan suara tidak terlalu keras. "Ran, kamu keterlaluan deh hari ini. Kamu kerjain aku habis-habisan. Aku malu Ran."
"Buat apa menutup peti? Lebih baik letakkan memanjang. Buat apa menutup hati? Lebih baik berucap sayang." Rani langsung jawab dengan pantun.