Sebagian orang percaya bahwa hujan membawa berkah. Namun, ketika liburan ke Jepang tahun 2017 lalu, saya tak menyangka bahwa hujan pada hari terakhir saya di Osaka akan menjadi drama yang berbuntut panjang.
Kejadiannya diawali dengan hujan cukup deras sejak pukul 9 pagi di kota kedua terbesar di Negeri Sakura itu. Tanpa menyia-nyiakan waktu menunggu di hostel hingga hujan berhenti, saya memutuskan untuk beranjak ke daerah pertokoan supaya mudah menemukan tempat berteduh, seperti di Dotonbori dan Shinsaibashi.
Tak ketinggalan, saya pun menelusuri berbagai toko, restoran, kafe, supermarket hingga department store di dalam Namba Station yang sangat luas dan berkelok-kelok, di mana saya butuh informasi lebih lanjut mengenai cara terbaik untuk menuju bandara di Tourist Information Center.
Akhirnya, saya dianjurkan untuk naik bis saja ke bandara karena pada hari itu semua kereta api Japan Rail (JR), termasuk shinkansen, sudah tidak beroperasi sejak pukul 5 sore. Subway pun hampir semua tidak jalan kecuali rute-rute tertentu yang diperpendek. Belum ada informasi lebih lanjut kapan kedua transportasi massal itu kembali melayani penumpang karena hujan masih saja mengguyur kota tanpa henti.
Harga tiket bis, atau Airport Limousine Bus, dari Namba Station menuju Kansai International Airport adalah 1050 Yen (Rp. 146.000) yang berangkat pukul 7 pagi keesokan harinya. Dengan perjalanan yang memakan waktu 1 jam, saya akan sampai pada pukul 8 pagi dan pasti cukup waktu untuk mengejar pesawat yang take off pukul 10 pagi.
Ketika mau kembali ke hostel sekitar pukul 9 malam, rute subway belum juga berjalan normal. Saya terpaksa hanya bisa naik subway untuk 2 pemberhentian, yang sisanya harus dilanjutkan dengan taksi.
Setelah lebih dari 12 jam, hujan masih deras yang ditambah angin kencang. Saya sebagai warga Jakarta terus terang sangat takjub bahwa tidak ada genangan air di jalan setitik pun apalagi banjir setelah hujan segitu lamanya. Bila sistem drainase berfungsi baik dan gorong-gorong bebas dari tumpukan sampah, bisa saja kondisi Jakarta sebaik di Osaka.
Kembali ke jalan raya di Osaka, saya tidak menemukan 1 taksi pun yang mangkal di pinggir jalan seperti biasanya. Setiap taksi yang lewat sudah dalam posisi terisi. Bahkan taksi yang lampu indikatornya menyala tetap tak mau berhenti ketika saya melambaikan tangan. Mungkin saja itu taksi pesanan orang lain. Tanpa berbekal kemampuan Bahasa Jepang, tidak mungkin saya bisa memesan taksi melalui telepon atau aplikasi khusus.
Akhirnya saya baru bisa dapat taksi setelah 1,5 jam menunggu. Perjalanan 10 menit menuju hostel saja argonya mencapai Rp 1,4 juta, alias 10.000 Yen! Maklum, taksi di Jepang memang sejak dulu terkenal menjadi salah satu yang termahal di dunia. Sudah lah, yang penting saya bisa sampai hostel dengan selamat dan melanjutkan pengepakan koper dan tas.
Pada hari keberangkatan menuju bandara, hujan ternyata belum reda juga. Untungnya subway terdekat dari hostel menuju Namba Station sudah beroperasi lagi.
Sesampainya di stasiun, alangkah kagetnya saya bahwa antrian sudah mengular hingga 3 lapis, padahal baru pukul 6.15 pagi. Setelah lewat dari pukul 7 pun belum ada satu pun bis yang muncul.Â
Para calon penumpang lain mulai nampak gelisah dengan pandangan mata terpaku pada parkiran bis yang masih kosong. Tak biasanya di Jepang ngaret. Ketika saya menoleh ke belakang, antrian sudah berkembang biak menjadi 2 kali lipat lebih banyak daripada di awal.
Sepasang turis yang mengantri tak jauh dari saya berbicara bahasa Kanton dengan ekspresi tegang dan panik. Satu-satunya kata yang saya pahami adalah, ".....taxi....taxi...." . Kemudian mereka bergegas keluar dari antrian. Saya jadi terpikir apakah saya harus naik taksi juga supaya tidak ketinggalan pesawat. Tapi, mengingat saya tidak punya cukup uang untuk membayar argo selangit, maka saya mengurungkan niat tersebut.
Tak lama lagi, beberapa armada bis berdatangan sekaligus. Hujan pun baru berhenti setelah hampir 24 jam tanpa mengakibatkan banjir sama sekali.
Setelah didahului ratusan penumpang lain di depan saya, barulah saya dapat tempat duduk di urutan bis ke-4 yang berangkat pukul 8.30. Bila semua lancar, saya akan tiba pukul 9.30. Kurang tahu juga nantinya apakah masih diperbolehkan check-in apalagi memasuki gate, namun saya masih optimis ketika situasi jalanan terlihat lancar sewaktu meninggalkan stasiun.
Namun kemacetan merajalela setelah bis keluar ke jalan raya utama, di mana semua kendaraan hanya bisa berjalan dengan kecepatan maksimal tak lebih dari 5 km / jam. Bahkan di ruas jalan tertentu benar-benar tidak bergerak selama hampir 1 jam penuh.
Dampak seluruh layanan kereta api yang belum kembali beroperasi memang luar biasa. Situasi ini memaksa semua orang menggunakan mobil pribadi, taksi dan bis menyebabkan tumpah-ruahnya kendaraan secara bersamaan yang mengakibatkan macet parah.
Terus terang jadi teringat akan kemacetan Jakarta menjelang jam masuk dan setelah bubaran kantor sebelum pandemi dan pemberlakuan PSBB atau PPKM. Ternyata, bila Osaka tidak punya jalur kereta api dan subway yang terintegrasi dengan baik, kadar kemacetannya tak beda banyak dengan Jakarta.
Waktu terasa berjalan begitu lambatnya sehingga saya yang tadinya was-was takut ketinggalan pesawat hingga pasrah seolah-olah masa bodoh dengan nasib saya nanti. Saya tak punya cukup uang untuk beli tiket baru bila tiket yang di tangan saya ini hangus, apalagi kartu kredit saya sengaja tinggalkan di rumah untuk menghindari kasus hackers dan phising.
Dengan perasaan campur aduk antara deg-degan dan pasrah, saya tak sengaja mencuri dengar percakapan telepon seorang pria Jepang yang duduk persis di belakang saya. Saya mendengar kata "Cathay Pacific" dan "delay".
Kebetulan Cathay Pacific adalah maskapai yang akan saya naiki. Dan apa betul delay? Seharusnya dari tadi saja saya cek jadwal dari situs resmi Kansai International Airport dengan smartphone saya. Ternyata, Cathay Pacific yang berangkat pukul 10 pagi menuju Hong Kong diundur 5 jam menjadi pukul 3 sore. Wah, alangkah leganya saya!
Setelah berjuang melewati kemacetan, akhirnya bis saya tiba pukul 12 siang. Selanjutnya, saya menemukan kata "typhoon" di beberapa papan pengumuman dalam bandara. Pada detik itu, barulah saya sadar bahwa penyebab utama kekacauan jadwal operasional transportasi umum, termasuk maskapai penerbangan, adalah angin taifun. Maka, hujan deras sejak kemarin adalah efek dari siklus angin taifun tahunan di Jepang, bukan musim hujan biasa!
Suasana dalam bandara begitu padat dan panas seperti pasar seakan-akan pendingin ruangan tidak bekerja maksimal. Untunglah saya masih sempat makan siang dan melihat-lihat cendera mata yang menggoda iman walaupun sebentaran saja. Karena sesudahnya saya harus menghadapi "kemacetan" kloter 2, alias bergabung dengan lautan manusia lainnya yang juga tergesa-gesa ke gate yang dituju.
Para staf bandara nampak sangat sigap menghadapi tumpah-ruahnya calon penumpang dengan membuka-tutup jalur antrian secara bergiliran supaya semua tidak saling berebut. Sederhananya, peran mereka mirip dengan polantas, hanya bedanya mengatur arus lalu-lalang manusia, bukan kendaraan.
Waktu menunjukkan pukul 14.35 ketika saya berhasil lepas dari kerumunan. Masih ada waktu 25 menit lagi hingga pesawat saya lepas landas. Tetapi, semua itu belum selesai karena masih harus naik monorail, tangga berliku hingga lari tancap gas di sepanjang koridor supaya tiba di gate 2 sebelum ditutup.
Sesampainya di gate 2, saya terperanjat nyaris pingsan ketika tidak ada 1 penumpang pun menunggu di dalamnya, kecuali seorang petugas keamanan yang sedang duduk-duduk dan petugas kebersihan yang sedang menyedot debu karpet dengan vacuum cleaner.
Dengan tampang kusut nan panik, saya menghampiri petugas yang duduk santai sambil menunjukkan boarding pass saya kepadanya. Setelah terdiam sejenak, ia menjawab dalam Bahasa Inggris yang patah-patah bahwa gate-nya sudah berpindah ke gate 4.
Tanpa pikir panjang, saya langsung bergegas menuju gate 4 yang untungnya hanya tak sampai 2 menit bila lari cepat. Kemudian, barulah saya lihat barisan penumpang berbondong-bondong mengantri memasuki pesawat. Fiuh!! Aman, tak jadi ketinggalan pesawat.
Selama penerbangan, sebagian besar waktu saya gunakan untuk tidur dan nonton film-film ex layar perak yang terprogram dalam in-flight movies dari maskapai. Semua berjalan lancar sampai saya menyadari bahwa connecting flight dari Hong Kong menuju Jakarta akan berangkat pukul 7 malam waktu setempat. Padahal, pada pukul 6.30 pesawat baru saja mendarat di Hong Kong International Airport (HKIA) dan perlu antri panjang hingga bisa keluar dari pesawat.
Sesudah saya keluar dari tangga belalai, saya disambut seorang pramugari yang sambil berulang kali menanyakan, "To Jakarta?" ke setiap penumpang.
Saya menghampirinya, lalu menjawab singkat, "Yes."
Kemudian, wanita tersebut memberikan boarding pass baru dengan nomor penerbangan Cathay Pacific CX 777, keberangkatan 24 Oktober 2017 pukul 9.20 pagi. Berarti secara halus saya diinformasikan bahwa saya sudah ketinggalan pesawat pukul 7 malam dan harus menginap di hotel atau ruang tunggu bandara bila mau gratisan hingga esok pagi.
Ngomong-ngomong, pihak maskapai sama sekali tidak memberikan fasilitas penginapan gratis walaupun saya tertinggal akibat bencana taifun di Jepang, bukan kecerobohan sendiri.
Saya memutuskan untuk menginap di Plaza Premium Lounge di south departure hall dalam HKIA yang dapat disewa untuk 1, 2, 5 hingga 12 jam. Karena harus menunggu semalaman, saya menyewa untuk 12 jam seharga US$ 100 (Rp. 1.400.000). Walaupun lebih mahal daripada hotel karena durasi menginapnya lebih pendek, saya lebih hemat waktu dan mengurangi resiko ketinggalan pesawat.
Secara menyeluruh, Plaza Premuim Lounge memiliki fasilitas yang lengkap, seperti buffet 24 jam, wi-fi, kamar mandi, televisi dan sofa-sofa yang nyaman untuk beristirahat.Â
Yang membedakan lounge dengan hotel adalah saya harus berbagi ruangan dengan pengunjung lain dan tidak ada fasilitas ranjang di lounge. Ternyata, hanya lounge tertentu yang menyediakan ranjang dan pastinya bukan di HKIA.Â
Memang agak kurang nyaman tidur dengan posisi duduk. Namun, akhirnya tertidur juga dengan berjalannya waktu dan rasa letih.
Saya bersyukur bahwa jadwal kepulangan pesawat di pagi berikutnya tidak ada perubahan sama sekali, boarding pukul 9.20 dan berangkat pukul 10.10. Jadi saya tidak harus lagi membuang waktu lebih lama atau melanjutkan tidur di kursi tunggu penumpang bandara. Pada pukul 2 siang, akhirnya saya tiba di Jakarta dengan selamat.
Sebetulnya bila ada uang lebih, saya akan dengan senang hati meluangkan waktu untuk jalan-jalan lagi di Hong Kong karena saya mendapatkan visa on arrival selama 6 hari setibanya saya di sana. Sayangnya, kenyataan mengatakan sebaliknya. Maka, mau tak mau saya batalkan niat tersebut di sementara waktu hingga kondisi keuangan saya membaik.
Pada pukul 2 siang, akhirnya saya tiba di Jakarta dengan selamat tanpa hambatan sama sekali. Wah, tak sangka saya mengalami badai taifun dan kemacetan parah di Negeri Sakura. Namun, bila saya berpikir ke belakang, hal ini akan menjadi kenangan seru yang tak terlupakan, menantang saya untuk problem solving di saat genting dan akhirnya saya menang dalam mengatasi badai secara mental di dalam diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H