Sesampainya di stasiun, alangkah kagetnya saya bahwa antrian sudah mengular hingga 3 lapis, padahal baru pukul 6.15 pagi. Setelah lewat dari pukul 7 pun belum ada satu pun bis yang muncul.Â
Para calon penumpang lain mulai nampak gelisah dengan pandangan mata terpaku pada parkiran bis yang masih kosong. Tak biasanya di Jepang ngaret. Ketika saya menoleh ke belakang, antrian sudah berkembang biak menjadi 2 kali lipat lebih banyak daripada di awal.
Sepasang turis yang mengantri tak jauh dari saya berbicara bahasa Kanton dengan ekspresi tegang dan panik. Satu-satunya kata yang saya pahami adalah, ".....taxi....taxi...." . Kemudian mereka bergegas keluar dari antrian. Saya jadi terpikir apakah saya harus naik taksi juga supaya tidak ketinggalan pesawat. Tapi, mengingat saya tidak punya cukup uang untuk membayar argo selangit, maka saya mengurungkan niat tersebut.
Tak lama lagi, beberapa armada bis berdatangan sekaligus. Hujan pun baru berhenti setelah hampir 24 jam tanpa mengakibatkan banjir sama sekali.
Setelah didahului ratusan penumpang lain di depan saya, barulah saya dapat tempat duduk di urutan bis ke-4 yang berangkat pukul 8.30. Bila semua lancar, saya akan tiba pukul 9.30. Kurang tahu juga nantinya apakah masih diperbolehkan check-in apalagi memasuki gate, namun saya masih optimis ketika situasi jalanan terlihat lancar sewaktu meninggalkan stasiun.
Namun kemacetan merajalela setelah bis keluar ke jalan raya utama, di mana semua kendaraan hanya bisa berjalan dengan kecepatan maksimal tak lebih dari 5 km / jam. Bahkan di ruas jalan tertentu benar-benar tidak bergerak selama hampir 1 jam penuh.
Dampak seluruh layanan kereta api yang belum kembali beroperasi memang luar biasa. Situasi ini memaksa semua orang menggunakan mobil pribadi, taksi dan bis menyebabkan tumpah-ruahnya kendaraan secara bersamaan yang mengakibatkan macet parah.
Terus terang jadi teringat akan kemacetan Jakarta menjelang jam masuk dan setelah bubaran kantor sebelum pandemi dan pemberlakuan PSBB atau PPKM. Ternyata, bila Osaka tidak punya jalur kereta api dan subway yang terintegrasi dengan baik, kadar kemacetannya tak beda banyak dengan Jakarta.
Waktu terasa berjalan begitu lambatnya sehingga saya yang tadinya was-was takut ketinggalan pesawat hingga pasrah seolah-olah masa bodoh dengan nasib saya nanti. Saya tak punya cukup uang untuk beli tiket baru bila tiket yang di tangan saya ini hangus, apalagi kartu kredit saya sengaja tinggalkan di rumah untuk menghindari kasus hackers dan phising.
Dengan perasaan campur aduk antara deg-degan dan pasrah, saya tak sengaja mencuri dengar percakapan telepon seorang pria Jepang yang duduk persis di belakang saya. Saya mendengar kata "Cathay Pacific" dan "delay".