SUDAH hampir seminggu Barman tidak bisa tidur nyenyak. Bangun-bangun, lehernya selalu kesakitan seperti habis dijadikan samsak dan ditinju-tinju lengan kekar punya Muhammad Ali atau Tyson Fury. Rasanya nyeri meradang. Nyeri parah. Sudah berbelas-belas kali pula Barman minta lehernya dikerok dan dipijat, namun tetap saja hasilnya nihil. Tidak berasa. Kulitnya bahkan sampai memar-memar. Warnanya merah menyala.
       Di waktu yang sama, Barman terus mencari-cari posisi tidur yang betul menurut buku kesehatan dan saran dokter-dokter ortopedi. Lagi-lagi, itu tidak mempan. Lehernya masih pesakitan. Dikerok pakai pisau kurban juga kayaknya tidak. Barman kira, itu bukan kesalahan dari posisi tidurnya yang melenceng kesana-kemari. Ini lain musabab. Ini lain hal. Ini salah bantalnya. Bantal punya Barman tidak enak. Dia salah bantal.
      Meski Barman memang bukan seorang ahli designer atau kesehatan, tapi Barman tahu bantalnya tidak enak, jadilah lehernya sakit akut begitu. Sayangnya, dia juga tidak tahu kategori apa saja yang bisa dikatakan sebuah bantal itu termasuk enak. Entah apa. Tentunya selain bikin orang tidur nyenyak dan mengorok-ngorok hebat.
      Lagipula, semua jenis bantal di pasar tempat tinggalnya itu sama. Kainnya lembut-lembut. Ukurannya besar-besar dan gendut. Warnanya pula samar-samar cerah, tidak terlampau terang. Lalu, bantal macam apa yang harus dibeli Barman?
      Padahal bantal-bantal di tempatnya tergolong mahal. Harganya bisa di atas ratusan ribu. Itu karena merknya tidak sembarang. Tidak abal-abal. Wilayah Barman itu terkenal akan kelimpahan sumber daya pohon-pohon kapas dan produksi bantal-bantalnya yang mutakhir. Bisa dibilang Pusat Perbantalan Sedunia. Temperatur suhu yang rendah dan kecocokan iklim membuat tumbuhan-tumbuhan itu telah menemukan habitat ternyamannya. Tradisi turun-temurun soal jahit-menjahit dari zaman kerajaan adalah kunci utama mereka.
      Namun, masalah besarnya sekarang, berani-beraninya Barman bilang bantalnya tidak enak, sedang tempat tinggalnya sendiri merupakan satu-satunya titik produsen bantal paling besar sejagat raya?
     Oh, hal yang lebih mengejutkannya lagi, tidak hanya Barman yang merasakan itu. Pagi-pagi, tetangga-tetangganya sudah bikin ribut. Katanya, mereka kekalutan. Kepusingan.
     "Alamak jeng! Leherku seperti habis diinjak-injak genderuwo!" teriak Mak Inem berwajah kecut sambil mengelus-ngelus punggung lehernya yang sekarat.
     "Bujug buneng!" balas Pak Karmin. "Leherku malah kayak habis ditabrak truk pengangkut pasir! Hancur semua!"
     Mak Inem buru-buru keluar. Dia penasaran sama teman-temannya yang juga kesakitan. "Kok bisa, ya? Padahal, tidak biasanya begini. Bantal-bantal kita itu bagus. Selalu bagus. Atau jangan-jangan..." Mak Inem berfirasat. "Wah! Pasti ada sesuatu yang salah!"
    "Waduh!" Pak RT yang tiba-tiba gabung, serta-merta tepuk jidat. "Apa tuh yang salah?"
    Hening. Mereka menoleh satu sama lain, saling mengangkat bahu. Dahi mereka mengernyit. Alisnya naik-naik.
    "Pak RT lehernya?" Mak Inem beranikan diri bertanya.
    "Kenapa leher saya?"
    "Anu... Masih bugar Pak RT?"
    "Oh, tentu dong!" Pak RT manggut-manggut bangga. Lalu, dengan gerakan ala-ala pemimpin zumba, kepala Pak RT ditunggingkan ke kanan dan ke kiri. Pinggul kerempengnya ikut bergoyang. "Tua-tua begini, badan saya masih fit! Segar dan berenergik! Itu karena bukan otak saya saja yang sehat! Tapi juga jasmani, rohani, semuanya lengkap!"
    Yang mendengar senyum-senyum, tapi bukan senyum turut bangga, mereka senyum tertahan. Senyum terpaksa.
    Pak RT masih melakukan senam emulasinya. "Memangnya kenapa? Ada apa dengan bapak-ibu sekalian?"
    Tidak ada yang menjawab. Mak Inem memilih masuk warungnya dengan masih berwajah kecut. Pak Saritem memilih balik badan dan pulang memberi pakan kambing-kambingnya. Begitupula yang lain. Mereka kembali melakukan aktivitas, meski dengan leher yang linu-linu. Gayanya tetap acuh tak acuh, meninggalkan Pak RT sendiri yang berlarut-larut dalam musik kesukaannya. Musik yang sering didengarnya dalam aula olahraga. Leher Pak RT digoyang-goyangkannya lebih keras, kepalanya sengaja diputar-putar seperti titiran pesawat.
    Hari ini, Pak RT sedang sangat bahagia. Dana bantuan sosial baru saja cair di rekeningnya.
***
Dari Amirah, anak tunggal Pak RT -- Barman telah tahu satu hal. Ya, dan itu berhubungan dengan keblingsatan yang terjadi sekarang. Tapi, ini rahasia. Sungguh rahasia. Karena Barman tidak mau ketahuan banyak orang, apalagi tetangga-tetangganya, dia pindah sejenak. Pindah ke kota. Barman menginap di sebuah apartemen.
       Lain memang pikirannya, tapi itu betul-betul bermanfaat. Bermanfaat bagi Barman. Bermanfaat banyak bagi lehernya.
      "Bapakku itu punya bantal enak," kata Amirah bisik-bisik. "Bantal dia bisa bikin orang tidur nyenyak!"
      "Bisa bikin leherku sembuh?"
      "Bisa," jawab Amirah. "Bikin orang jadi tuli, buta, sombong, rakus, mata duitan, semuanya bisa!"
      Barman menelan ludah. Itu keluar dari konteks pembicaraan.
      "Bagaimana bantalnya? Ah, maksudku, bantal itu beli di mana? Merknya apa? Ciri-cirinya apa? Berapa harganya? Sudah pasti bukan di luar negeri, betul? Maksudku, bantal-bantal di luar itu murah. Mereka murahan. Tidak seperti bantal-bantal kita. Ya, kau tahu itu."
      "Bantal bapakku itu lain," bisik Amirah semakin pelan. Semakin mendekat.
      "Apa?" Barman tak sabar.
      "Bantal dia..." Amirah menghela napas.
      "Bantal dia, bantal pejabat negara!"
      Amirah sontak menutup mulutnya, takut suaranya terdengar oleh tetangga sekitar. Mereka memutuskan untuk berpisah, berpura-pura seakan-akan teman lama yang tidak sengaja berpapasan. Tinggal dari belakang, Amirah memberi isyarat: jangan pernah beritahu orang lain!
      Tepat setelah itu, Pak RT datang dengan kondisi bergoyang ria sambil menggandeng lengan putrinya. Pipi Pak RT kesemsem merah muda. Dia memandang putrinya dan tertawa-tawa girang. Amirah lalu senyum basa-basi, sorotan matanya tetap menghalau Barman untuk segera pergi.
     "Liburan kamu mau kemana rencananya? Korea? Mau ke korea? Korea utara? Atau kutub? Kutub antartika? Tenang, Bapak bisa bawa kamu kemana-mana!"
     "Kapan, Pak?"
     "Kapan saja!" kata Pak RT semangat. "Yang penting habis Bapak tidur siang dulu, ya!"
     "Tapi, bukannya Bapak ada rapat desa..." Lantas sambil berjoget, Pak RT mendahului putrinya. Dia menjauh. Terus menjauh. Dan seperti topeng monyet, di ujung jalan Pak RT berlenggak-lenggok, berjingkrak-jingkrak.
***
Gegas, Barman mendaftar suatu rencana. Rencana besar.
      Bedanya, ini bukan rencana besar untuk berdestinasi ke korea utara dan menemui Yang Mulia Kim Jong-un, lalu bersama-sama mendeklarasikan perang dunia ketiga, ataupun ke selat Antartika hanya untuk membeku dan menjadi es batu yang biasanya dibuat minuman dingin dalam kulkas warung Mak Inem. Ini lain cerita. Barman akan bergegas-gegas, bersiap-siap keluar dari zona nyamannya. Dia mau jadi pejabat negara.
      Dengar-dengar dari tukang pel apartemen, besok telah dijadwalkan persidangan kedua sebagai evaluasi atas keputusan putaran pertama pemilu kemarin, setelah merunut banyaknya penolakan dan isu-isu kecurangan. Namun, persidangan itu dilakukan secara tertutup. Barman tahu ada yang aneh. Mungkin, akan ada semacam negoisasi gelap atau drama-drama teatrikal politik seperti pada umumnya. Dan Barman harus mengungkap itu.
      Persidangan dilaksanakan tak jauh dari apartemennya. Barman beruntung. Segera, jam setengah sepuluh, Barman naik taksi. Sialnya, jalanan sedang macet. Macet total. Kendaraan-kendaraan seperti ular yang kekenyangan, kehabisan tenaga buat merayap. Tapi, dia tidak cepat menyerah. Barman lalu buka pintu, membayar sopirnya, dan pilih jalan kaki.
      Sialnya lagi, trotoar pula macet total. Pemicunya gara-gara ada yang berdemo. Barman kaget. Dilihatnya para pendemo-pendemo itu, lehernya aneh-aneh. Ada yang bengkok ke kanan, mengsol ke kiri, mencuat ke depan dan belakang, pun juga yang berbentuk zigzag. Samanya dengan Barman, mereka salah bantal.
      Rakyat tampaknya sudah tahu hal ini. Maka, diyakinkannya dalam hati, Barman bisa jadi pejabat negara. Dengan mengungkap tindakan kotor pejabat-pejabat negara yang sedang bersidang, barangkali Barman telah menyelamatkan negara. Telah menyelamatkan rakyat. Lalu, dengan segala hormat, Barman diangkat jadi pejabat negara. Dan diagung-agungkan, didewa-dewakan.
      Barman lari. Sampai di depan gedung pemerintahan, Barman tetap lari. Dia menyelinap di antara kerumunan demo yang semakin menggila itu. Barman kemudian naik tangga. Berusaha masuk ke dalam persidangan.
      Berkali-kali dia mencoba, polisi-polisi itu tidak mengizinkan Barman. Beberapa di antaranya memaki Barman, hingga memukul lehernya yang sudah retak-retak. Barman jatuh pingsan. Namun, tak lama kemudian dia sadar kembali, jatuh pingsan hanya akan membuatnya dibuang ke sungai dan disantap buaya. Barman pun beranjak, sedikit mengintip jendela persidangan, dan melihat di sana: banyak yang tidak hadir.
      Kursi-kursinya kosong. Sebagian besar dari mereka absen. Izin tidur siang.
      Leher Barman seketika berbisik, dia punya ide lain. Siasatnya, Barman bakal masuk ke salah satu kamar pejabat negara yang kebetulan sedang singgah dan menginap di apartemen yang sama. Barman putar balik. Dan layaknya perampok, Barman menerobos lewat atap. Atapnya bolong. Pejabat negara itu agaknya tengah mandi, berkemas-kemas buat istirahat. Sigap, dia memanfaatkan peluang tersebut.
      Lalu, Barman yang sudah pongah dan seolah-olah menjadi pejabat negara itu memilih tidur dengan bantal barunya. Ketika demo sedang gencar-gencarnya di luar, kemelut ada dimana-mana, Barman mengorok. Dia tidak peduli.***
Tentang cerpenis: Gagah Pranaja Sirat, penulis muda yang kini bersekolah di SMA Boash, ig: gahpraja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H