"Waduh!" Pak RT yang tiba-tiba gabung, serta-merta tepuk jidat. "Apa tuh yang salah?"
    Hening. Mereka menoleh satu sama lain, saling mengangkat bahu. Dahi mereka mengernyit. Alisnya naik-naik.
    "Pak RT lehernya?" Mak Inem beranikan diri bertanya.
    "Kenapa leher saya?"
    "Anu... Masih bugar Pak RT?"
    "Oh, tentu dong!" Pak RT manggut-manggut bangga. Lalu, dengan gerakan ala-ala pemimpin zumba, kepala Pak RT ditunggingkan ke kanan dan ke kiri. Pinggul kerempengnya ikut bergoyang. "Tua-tua begini, badan saya masih fit! Segar dan berenergik! Itu karena bukan otak saya saja yang sehat! Tapi juga jasmani, rohani, semuanya lengkap!"
    Yang mendengar senyum-senyum, tapi bukan senyum turut bangga, mereka senyum tertahan. Senyum terpaksa.
    Pak RT masih melakukan senam emulasinya. "Memangnya kenapa? Ada apa dengan bapak-ibu sekalian?"
    Tidak ada yang menjawab. Mak Inem memilih masuk warungnya dengan masih berwajah kecut. Pak Saritem memilih balik badan dan pulang memberi pakan kambing-kambingnya. Begitupula yang lain. Mereka kembali melakukan aktivitas, meski dengan leher yang linu-linu. Gayanya tetap acuh tak acuh, meninggalkan Pak RT sendiri yang berlarut-larut dalam musik kesukaannya. Musik yang sering didengarnya dalam aula olahraga. Leher Pak RT digoyang-goyangkannya lebih keras, kepalanya sengaja diputar-putar seperti titiran pesawat.
    Hari ini, Pak RT sedang sangat bahagia. Dana bantuan sosial baru saja cair di rekeningnya.
***