"Aku habis membelikan ibu sesuatu," amplop coklat itu kubuka perlahan, "Insya Allah, selanjutnya uang yang terkumpul akan kubelikan ibu mobil. Cita-cita aku dulu, Bu."
      Ibu mengernyitkan dahi, "Uang dari mana ini, Sun?"
      "Uang dari beberapa kegiatan, Ibu."
      "Jadi selama ini kau menjadi aktivis meminta bayaran!?" ibu tampaknya marah, baru kali ini aku melihat wajahnya memerah.
      "Kau tidak ikhlas membela mereka, hewan-hewan yang mati itu, dan tumbuhan yang layu? Apakah bumi pernah meminta bayaran padamu untuk hidup, Sun?"
      "Bb-bukan seperti itu, Bu..."
      "Sungguh ibu kecewa denganmu, Nak," air mata ibu meleleh. Berlinang di pelipisnya, "Ibu tak pernah menyangka jika kamu menjadi gila harta seperti ini."
      Aku mencoba membujuknya kuat, "Tapi semua itu demi kesehatan ibu."
      "Kesehatanku sungguh tak berarti jika rumah yang kutempati saja sedang sakit," ibu membalikkan badan, membelakangiku, "Lebih baik kau menjadi pemulung! Daripada kau mengambil kesempatan di atas huru-hara kerusakan dunia."
      Ibu menamparku. Dengan kata-katanya yang meninggalkan bekas dalam kalbu. Aku mengambil amplop coklat yang dibuangnya di meja ruang tamu. Amat sakit. Rasanya percuma aku susah payah menerjang terik matahari yang membara. Membual membela akan pencemaran lingkungan. Poster-poster yang kubuat hanya hanyut di sungai, mencekik binatang air tawar.
      Apalagi tanda-tanda musim kemarau terlihat. Untungnya rumah kami tersedia sumur tua. Panjang umurnya. Mampu menyediakan air bersih yang selalu dinikmati ibu. Ia senang dengan kondisi air kami di rumah yang menurutnya bahkan lebih sehat dari air di kampung.