Mohon tunggu...
gahpraja
gahpraja Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Penulis muda cerpen dan karya sastra lainnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Menjadi Mobil

20 September 2023   09:00 Diperbarui: 20 September 2023   09:29 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Gambar yang kubuat masih terpasang di dinding kamar. Aku senantiasa berdoa di depannya, berharap pada Tuhan. Agar ia menjadi kenyataan, dan melihat ibu bahagia untuk pertama kalinya.

            Kondisi penyakit ibu kian memburuk. Adakalanya ia seperti orang-orang dengan penyakit pernapasan pada umumnya, batuk berdarah. Kejadian yang membuatku amat panik. Ditambah biaya rumah sakit yang mahal, semua pengobatannya. Sekali lagi aku bilang, kami ini orang miskin.

            Ibu tengah berbaring di atas kasur yang tak senyaman milik kalian yang membaca cerita ini. Aku kemudian melihat langit, mengamati setiap desiran alam. Mengingat bumi yang kami tempati saat ini, ia tengah sama sakitnya seperti ibu. Sayangnya, ia tak tahu harus berbaring kemana. Kasihan.

            Maka aku menginjak kembali perkotaan. Bersama orang-orang yang sadar, berkerumun dekat balai kota. Kami mengunjuk rasa pada awan yang selalu teduh, pada hujan yang jarang turun. Langit sedang demam. Dan mereka para borjuis selalu hanya mendapat perilaku dari kaum kami, lalu berkata, "Kita harus melakukan sesuatu."

            Awal aku menjadi penggiat lingkungan. Hitung-hitung mendapat makan gratis dan uang hasil derma masyarakat. Guna juga membantu kesehatan ibu pulih. Mendatangi serta menjelajahi berbagai tempat, membuatku melanglang buana. Yang kami senangi sebagai orang miskin ialah: gratis.

            Terdengar kabar ada pencemaran limbah dimana-mana. Ikan-ikan mati. Sungai beracun total. Aku diundang untuk menjadi ketua unjuk rasa dalam seminggu terakhir, dalam pikiranku yang pasti cuannya banyak.

            "Tidak ada uang belas kasih?" nadaku sedikit meninggi, lawan bicaraku tampak terkejut.

            Aku membanting pintu, meninggalkan ruangan tersebut, "Jangan panggil saya lagi! Kau kira teriak-teriak di tengah jalan tidak melelahkan?" teriakku dari kejauhan.

            Amarahku cukup meledak-ledak. Di perjalanan senja menurun. Bunyi derit pintu terbuka, membuka rumah. Aku pulang membawa amplop coklat, "Assalamualaikum..."

            "Waalaikumussalam..." ibu beranjak berdiri, tergopoh-gopoh tubuhnya berjalan.

            "Dari mana saja, Nak?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun