Masih saja aku pandangi kursi itu. Duduk di atasnya. Perempuan tua nan cantik. Berkebaya putih. Mengenakan jarik motif parang rusak. Kesukaan beliau.
Di usia yang ke-78 tahun. Tak banyak keriput menghiasi wajahnya. Selalu saja senyum tipis menghias. Membalas sapaan siapa saja. Yang melintas di depan rumah. Seperti pagi ini.
"Ibu...," mulutku lirih berucap. Mataku tajam menatap.
"Ibu...," sekali lagi aku sebut.
Wajah pualam itu hanya terdiam. Melempar senyum terindahnya. Seperti pagi kemarin. Dan kemarinnya.
----------
"Kapan mas dan mbakmu datang Win?"
"Kurang tahu ya. Nyuwun ngapunten, Ibu kangen? Biar saya telepon ya."
"Nggak usah! Jangan! Mungkin mereka sibuk." Ada nada kekhawatiran saat saya lemparkan tawaran itu. Ibu yang tak mau merepotkan anak-anaknya. Ibu yang begitu paham. Bahwa jelang idul Fitri seperti ini, semua anaknya pasti sibuk. Mungkin hanya saya saja yang tidak sibuk.
Entah pertanyaan seperti ini sudah berapa kali aku lontarkan. Berapa kali pula ibu menjawab: jangan!
"Ibu sudah cukup senang. Bila anak-anakmu sudah pulang. Ibu hanya kangen dengan anak-anakmu."
Tak terasa. Bulir-bulir bening mengalir dari sudut mataku. Segera aku berhambur. Mendekap erat-erat tubuh itu. Sambil menciumi pipi. Serta kedua telapak tangan beliau.
"Maafkan saya, Bu. Belum bisa bahagiakan sampai saat ini". Tanpa terbendung. Tangisku pun pecah.
"Jangan nangis ah! Malu. Ibu tidak apa-apa kok. Masuk dulu. Belum shalat dhuha kan?" Satu pertanyaan wajib. Setiap aku pulang shift malam.
"Sudah, Bu. Tadi mampir ke masjid dulu. Ngepak kardus yang mau diambil petugas," kataku meyakinkan.
----------
"Assalamu'alaikum, Mi," sambil mataku memandang jauh ke pintu dapur.
"Mi..."
"Ya, Bi. Wa'alaikumussalam. Baru datang?"
"Nggak, Mi. Lumayanlah. Tadi sempat bicara dengan ibu di teras." Kemudian isteriku bergegas menghampiriku.
"Bi. Duduk dulu ya. Abi jangan marah!" Matanya nampak nanar menatapku. Kemudian aku hempaskan pantatku ke atas kasur.
"Aku cerita tentang ibu boleh?" Tanyanya penuh harap.
"Ibu Aisyah. Ibu Farihah?"Â
"Ibu Ais, Bi." Ibu Ais adalah sebutan untuk ibuku. Sementara ibu Ihah adalah mertuaku. Kebetulan keduanya berstatus janda.
"Kenapa dengan ibu," kepo juga akhirnya.
"Tumben-tumbennya ibu memakai baju itu. Perasaan sudah beberapa tahun baju itu tidak dikenakan. Terakhir kan saat mbak Icha acara perpisahan pondok." Aku hanya termangu. Sambil mengingat momen itu.
"Sepertinya ya, Mi. Terus..."
"Tadi sempat tanya ke aku. Ditelepon mbak-mbak dan mas-mas tidak? Aku jawab tidak. Aku gak berani bohong, Bi."
"Lalu..."
"Kemudian beliau diam. Berlalu menuju teras. Duduk di kursi itu. Hampir dua jam ini, Bi."
"Astaghfirullah!" Kaget. Reaksi spontanku membuat Ania, isteriku, ikut kaget. Tangannya bergetar memegang tanganku.
"Maafkan aku, Bi. Aku tak berani untuk membujuk beliau untuk masuk. Khawatir beliau tersinggung. Tahu sendiri ibu kan?"Â
"Ah, isteriku. Kamu begitu baik. Pantas ibu begitu menyayangimu. Terkadang aku kena damprat jika perang dingin denganmu." Lalu kuraih tubuh mungil itu.
"Nggak apa-apa, Mi. Abi saja akhir-akhir ini kurang perhatian kepada ibu. Abi pikir semua baik-baik saja. Abi coba bujuk untuk masuk ya?"
----------
Sudah dua minggu ibu tergolek lemah di pembaringan. Kata dokter Aziz, sebaiknya ibu bedrest di rumah sakit saja. Tapi beliau bersikeras menolak. Aku tahu, mungkin beliau tak mau merepotkanku. Juga isteriku.Â
Beberapa kali aku coba hubungi kakak-kakakku. Tapi sepertinya mereka repot semua. Aku tak tahu. Apa yang membuat repot. Sehingga belum sempat jenguk ibu.
Justeru ibu Ihah, bibi dan paman, serta adik-adik iparku yang datang. Bahkan sempat memarahi kami. Kenapa ibu tidak di bawa ke rumah sakit. Kemudian kami pun menjelaskan semua. Empat kali masuk rumah sakit. Mungkin itu membuat beliau trauma.
Ini stroke ke-empat. Kata dokter Aziz, kami harus siap dengan segala kemungkinan. Amat jarang penderita stroke kambuh sampai tiga kali. Demikian pesan beliau.
Memang yang kami rasakan demikian. Biasanya ibu tak mau didampingi saat sakit. Kini beliau begitu manja. Setiap mendengar suaraku. Beliau pasti langsung memanggil. Meski tak cukup jelas. Namun kami cukup hapal dengan panggilan itu. Panggilan yang disertai helaan nafas dalam.
"Ibu jangan dibawa ke rumah sakit ya! Ibu nggak mau rumah sakit". Berulang kali kalimat itu terucap. Kepadaku atau isteriku. Kami biasanya hanya mampu mengangguk. Sambil menahan pedih di hati.
"Ibu gak mau mati sendiri. Gak ada yang menemani. Gak ada yang menalqin. Kamu yang harus nalqin ibu ya?" Kalimat putus-putus. Terbata-bata mengucapkannya. Sebab sebagian badan ibu yang sebelah kanan 'sudah mati'.
Biasanya juga. Segera aku beranjak ke musala rumah. Bersembunyi dari tatapan nanar beliau. Menumpahkan segala beban di dada. Sebab hanya kepadaNya aku mampu mengeluh.
Idul Fitri kurang sehari. Tak juga kakak-kakak atau keponakan menjenguk ibu. Terbuat dari apa hati mereka? Sangkaku masih saja tak percaya.
Hingga dua hari lebaran berlalu. Kondisi ibu semakin drop. Meskipun sempat bersemangat minta duduk. Wajahnya berseri-seri. Tak menampakkan rasa sakitnya di pagi  Idul Fitri. Bahkan meminta aku, isteriku, dan anak-anak untuk pergi shalat 'id.
Pun saat para tetangga berdatangan. Untuk menjenguk sekaligus bermaaf-maafan. Beliau begitu bersemangat. Meski terkadang kami batasi. Nafas ibu pasti tersengal-sengal saat 'banyak' bicara. Hingga benar-benar kami tidak perkenankan. Ibu menerima para tamu.
Fitri yang kami nantikan. Kesucian yang kami harapkan. Mampu  meleburkan perasaan apatah. Diantara kami tujuh bersaudara. Ternyata belum mampu menembus batas-batas ego kami.
Hingga malam itu pun tiba. Sepulang shalat Isya' berjamaah di masjid. Isteriku menyambutku dengan terisak.
"Aku takut, Bi. Ibu terdiam sejak minta minum tadi. Ada apa dengan ibu, Bi?" Lalu aku pun segera menuju kamar ibu. Sambil berpesan agar tak seorangpun memasuki kamar.
Aku ucapkan salam. Nampak nafas ibu tersengal. Dari sudut kelopak mata. Bulir-bulir bening terjatuh. Mulut mengatup. Sementara cuping hidung pelahan-lahan menutup.
Segera aku bisikkan di telinga kanan beliau lafaz-lafaz talqin: Laa ilaa ha illallah. Sambil sesekali wajahku tak mampu aku tahan untuk menciuminya.
Hingga nafas panjang. Panjang sekali terembus. Dan benar-benar aku pastikan ibu telah meninggalkan kami semua. Memastikan bahwa aku telah menalqinnya. Sesuai keinginan beliau.
Maafkan aku ibu. Aku belum sempat membahagiakanmu.
----------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H