Masih saja aku pandangi kursi itu. Duduk di atasnya. Perempuan tua nan cantik. Berkebaya putih. Mengenakan jarik motif parang rusak. Kesukaan beliau.
Di usia yang ke-78 tahun. Tak banyak keriput menghiasi wajahnya. Selalu saja senyum tipis menghias. Membalas sapaan siapa saja. Yang melintas di depan rumah. Seperti pagi ini.
"Ibu...," mulutku lirih berucap. Mataku tajam menatap.
"Ibu...," sekali lagi aku sebut.
Wajah pualam itu hanya terdiam. Melempar senyum terindahnya. Seperti pagi kemarin. Dan kemarinnya.
----------
"Kapan mas dan mbakmu datang Win?"
"Kurang tahu ya. Nyuwun ngapunten, Ibu kangen? Biar saya telepon ya."
"Nggak usah! Jangan! Mungkin mereka sibuk." Ada nada kekhawatiran saat saya lemparkan tawaran itu. Ibu yang tak mau merepotkan anak-anaknya. Ibu yang begitu paham. Bahwa jelang idul Fitri seperti ini, semua anaknya pasti sibuk. Mungkin hanya saya saja yang tidak sibuk.
Entah pertanyaan seperti ini sudah berapa kali aku lontarkan. Berapa kali pula ibu menjawab: jangan!