Badan-badan jalan,
Spanduk dan baliho-baliho kota
Semerbak bau sampah jadi manusia-manusia
Berilalang-ilalang, menggoyangkan kepala
Raga, dan jiwa yang bersemayam pada sekaleng
bir yang tertinggal di sudut-sudut kos murah
Banal dan betapa binal kota tua
Liar macam kerasukan dewa
Antar kota kucari keping-keping nama
Di samping-samping tikus jalanan dan anjing-anjing gila
Angkot-angkot berkebutan saling susul
Mulut beruncingan mengucap anjing
Aku tersenyum-senyum
Setiap kata adalah nama,Â
Nama yang dihalangi Selat Sunda yang berisik
Setiap daerah jadi berisik
Kecuali Cilegonku kan selalu harum
Bila darahku dapat tumpah jadi nama
Kubanjiri lautan dunia oleh darahku
Atau bila mungkin, Perumnas jadi sebuah kolam
Di tengah-tengah keramaian manusia, ada pulau berbentu hati dan cita-cita masa tua bersamanya
Andaikan aku telah pergi, orang datang mengunjungi kami, dan sepiring sate dan sup daging adalah artefak
Dua gelas es teh yang sedikit manis naskah lama berisi ludah-ludah perihal janji dan angan-angan
Dan sepotong senyum pemilik warung, adalah lukisan Da Vinci yang oenuh teka-teki saat ia mengetahui, aku dan dia tak pernah kembali.
Dia tak ada di batu nisan
Tak ada di museum
Melainkan di hari ini, esok dan yang pasti tiba
Derita tak kunjung sirna
Tapi oleh sebuah nama, ialah namamu
Deritaku jadi derita dan bahagiaku jadi bahagia
Aku gembira
Saat mata kubuka, ialah masa depan
Dan mata yang kututup adalah kecup di kening
Hati-hati di jalan, dan kenangan-kenangan yang akan datang, aku segera menyusul
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H