Pernah terbesit di kepalaku suatu hari sebelum kemalangan ini hadir dalam hidupku, tentang keinginanku tinggal di istana ini seorang diri, di mana aku bisa menikmati kesunyian dengan diriku sendiri, tapi ternyata itu sungguh tak menyenangkan.
Oh Tuhan, aku bersumpah tak pernah menyakiti perempuan itu, selain dengan menamparnya dengan gaji yang pas-pasan.
***
Sudah dua malam aku bersembunyi di sini, di sebuah pondok yang jauh sekali dari keberadaan Rudi. Aku berdosa sekali padanya, seharusnya aku bersamanya saat ini. Istri macam apa aku ini.Â
Tapi aku yakin Rudi tak akan berbuat hal bodoh hanya karena aku hilang sementara waktu. Dan kalau boleh jujur, aku benar-benar menikmati waktuku berada di sini, ramai orang-orang yang menyenangkan.Â
Semalam aku diajak berkemah di samping danau bersama sebuah keluarga kecil, sepasang suami istri itu punya satu orang anak perempuan. Sepanjang malam, sehabis kami bakar-bakar sosis dan daging, kami berbincang-bincang dan bernyanyi di bawah bulan dan bintang.Â
Danau itu persis seperti kumpulan permata. Di hadapan kami, api unggun bergoyang-goyang, seperti ikut bersenandung dengan lagu-lagu blues yang kami nyanyikan.
Jimi sudah tua, umurnya kurasa 53 sedangkan istrinya, Rosi, tampak lebih tua darinya. Tepat sebelum nyanyian malam kami sudahi, karena Jimi sudah mengantuk, aku dan Rosi berbincang-bincang.Â
Sisa botol bir menghangatkan badan kami yang sudah ditutupi oleh jaket yang dirasa cukup tebal. Aku awalnya tak berbicara dan menikmati angin malam yang berhembus, suara percikan api pada kayu bakar begitu jelas terdengar tiap percikannya. Aku tak tahu apakah Rosi masih sadar atau tidak, tapi ia tiba-tiba bilang, "kau lebih baik pulang esok pagi,"
Aku masih terpaku menatap api unggun.
"Apa yang kau cari sebenarnya takkan pernah kau temukan, waktu terus berjalan, gadis kecil,"