Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rina Tertawa Sebelum Rudi Pergi

18 Juli 2021   19:13 Diperbarui: 18 Juli 2021   20:02 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tak pernah menyangka berada di detik ini, berdiri di antara ada dan ketiadaan. Ketika segalanya hancur berkeping-keping, aku disisakannya dan menjadi tuan seorang diri di sebuah rumah sederhana yang aku dan istriku lebih suka menyebutnya istana. 

Ia telah pergi sekarang, tampaknya pergi dari semalam sehabis mendengar curhatanku mengenai dipecatnya seorang karyawan gigih hanya karena meninju seorang klien tepat di muka. 

Klien itu seorang pejabat, tetapi mulut kotornya tak bisa kutoleransi lagi ketika ia mengomentari penampilanku yang acak-acakan. Dia tak pernah tahu, dua malam aku tak tidur demi mengurusi desain kampanyenya yang merepotkan. 

Awalnya ia bilang begini, tiba-tiba minta begitu, bagaimana aku tidak ngamuk. Seorang labil bajingan. Kini uang darinya aku tak dapat, istriku pun telah pergi meninggalkanku.

Malangnya aku, ia tak menyisipkan satu surat pun di bawah gelas kosong di meja kecil samping tempat tidur. Serta nomor teleponnya sudah tidak aktif. Aku tak tahu ia ada di mana. Aku tak tahu mengapa ia pergi.

Aku benar-benar merasa hampa sekarang. Kulihat lemari pakaian kosong separuh, ia hanya menyisakan kaus Ramones hitam terlipat rapi tepat di antara ruang-ruang yang telah kosong. 

Baju itu kupeluk dengan hati, aroma tubuhnya masih melekat di sana. Dunhill International, cairan es krim vanilla yang telah berkerak bercampur dengan keringatnya sehabis desak-desakan menonton konser musik punk dua bulan lalu.

Dipecatnya aku dari pekerjaan bukanlah apa-apa, aku tak pernah menyesal telah meninju wajah lelaki buncit itu. Namun di masa aku terpuruk, istriku tidak ada di sisiku, itulah yang membuatku duduk di kamarku berjam-jam memikirkan tentang menghabiskan waktuku di kamar mandi dengan sebilah pisau dan sebotol wine. 

Tapi tidak jadi setelah kupikir, ada harga yang harus dibayar atas kemalanganku ini. Dan Lelaki 55 tahun itu adalah harga yang pantas.

***

"Aku hanya ingin bersenang-senang,"

Rudi mengangguk, matanya tak membalas, sibuk melihat jalanan Moore Park yang ramai sore itu. Ramai sekali orang-orang berkaus hitam, beberapa di antaranya mengenakan kaus Iggy Pop & The Stooges yang akan manggung nanti malam di Houdern Pavilion. 

Begitupun aku, Joey Ramones dan kawan-kawan berpose di kausku lengkap dengan jaket hitam, jeans dan boost andalan. Dan Rudi mengenakan kaus Sex Pistols. Ia tak suka Ramones, bahkan ia membencinya. Katanya Ramones hanyalah sekumpulan orang-orang yang berpura-pura 'punk' demi popularitas. 

Lagu-lagunya pun tak mencerminkan punk yang sarat akan sindiran terhadap penguasa, selain cinta dan kegembiraan. "Punk macam apa itu!" katanya sambil tertawa, "Berbeda dengan Sex Pistols," mulainya, "mereka bermusik untuk menyadarkan orang-orang betapa tertindasnya kalangan bawah oleh sesuatu yang bernama sistem, dan penguasa yang hanya memikirkan dirinya sendiri sementara dunia sedang kacau pada saat itu".  

Aku tak membantah, karena memang benar, tetapi punk yang pada dasarnya hanyalah sebuah genre musik, pada akhirnya bertujuan untuk menghibur banyak orang. Dan aku suka punk bukan karena membenci pemerintah. 

Pemerintah buat apa dibenci, toh kita bukan siapa-siapa, dan aku tak melihat dampak apapun terhadap kehidupanku, kehidupan Rudi, dari lagu-lagu punk Indonesia yang menyindir pemerintah, mereka bahkan tak peduli.

Kami sering berdebat tentang itu, Ramones versus Sex Pistols. Dan tak satupun di antara kami saling mengalah, dan tujuannya pun sebenarnya bukan untuk mencari siapa yang lebih baik, melainkan hanya kesenangan kami saja sedari SMA. 

Tapi yang terpenting, ia telah meluluhkan aku di acara akhir sekolah kami dengan mengalah dan membawakan lagu 'I Wanna Be Your Boyfriend'-nya Ramones dengan teman-teman satu bandnya dulu. Dan itu membuat aku meleleh setengah mati, terlebih sebelum itu ia bilang lagu itu dibawakan khusus buatku.

Ketika turun dari mobil, kami langsung menyatu dengan keramaian. Orang-orang yang mengenakan kaus band yang sama saling menyapa. Kulihat Rudi sudah ditawarkan sekaleng bir oleh tiga orang anak muda berkaus Sex Pistols. 

Mereka berbincang-bincang agak lama, dan aku sedikit terasing, karena aku seorang yang mengenakan kaus Ramones, namun tampaknya tidak ada masalah, mereka asik-asik saja.

Setelah itu Rudi membelikanku Pepsi dan Hotdog, kami duduk di sebuah bangku panjang di tengah taman Moore Park sebelum orang-orang diperbolehkan masuk ke dalam aula. 

Ia lalu memberiku sebatang rokok, setelah melihatku tertunduk murung cukup lama. Ia benar, suasana hatiku benar-benar kacau saat itu, lantas aku menerimanya. Kami merokok berdua sambil menunggu.

Aku tak tahu, meninggalnya Ibu Bapak ternyata sangat berat rasanya, padahal aku sudah lama membenci mereka, terlebih ketika aku sudah tak diizinkan lagi berkumpul dengan anak-anak pecinta punk, apalagi berpacaran dengan salah satu di antara mereka.

Namun tampaknya bukan itu yang membuatku murung. Aku tak siap dinikahi olehnya lima belas tahun lalu, kini aku merasa berada pada puncak kegelisahan itu.  Seperti ada sesuatu yang kosong, cuma aku yang merasakannya, dan aku tak tahu apa yang harus diisi di sana.

Sepertinya aku hanya merindukan kehidupan masa mudaku dulu.

***

Ia tinggal di sebuah perumahan kelas atas, di mana banyak mobil-mobil mewah terparkir di halaman-halamannya. Pohon-pohon cemara mungil berjejer sepanjang jalan di kanan kiri, dan pagar-pagar rumahnya terbuat dari kayu mahal dipernis mengkilat, dan beberapa di antaranya ditumbuhi dengan tanaman yang menjalar, sungguh elegan. 

Kupandangi rumah pertama saja membuatku bisa memandangi, begitu hinanya aku menginjak jalanan ini dengan memakai kaus istriku dengan celana jeans yang bercorak tumpahan cat putih, serta sepatu boots hitam. Tapi mengapa aku harus merasa hina, sedang aku bukan siapa-siapa di sini.

505. kuulang kali melewati rumah itu. Sepi. Tak sekalipun kulihat ada kehidupan di sana hingga aku tak sengaja melihat seorang gadis baru saja turun dari kursi penumpang BMW biru dan mendadah-dadah seseorang di balik kaca hitam mobil itu, lalu masuk ke pekarangan rumah. 

Anaknya? Aku tak tahu, tetapi orang di dalam mobil BMW itu sudah pasti bukan lelaki itu. Karena ia kuamati selalu menggunakan mobil Pajero ketika bertemu denganku. Dan Pajero itu tak kunjung pulang ke rumahnya. Dan malam sudah datang, aku terpuruk sebab tak mendapatkan informasi apapun mengenainya, selain seorang gadis yang aku tak tahu dia siapanya lelaki itu.

Malam ini aku makan sendirian, tiga kursi lainnya kosong. Dan dapur terasa asing bagiku, bahkan keseluruhan bagian rumah ini terasa asing sekarang. Tidak ada lagi suara dentang-dentang menyebalkan di dapur, ruang tv yang sunyi dan benda-bendanya tertata rapi pada tempatnya. 

Piringan hitam tidak lagi memutar Ramones. Sungguh ruang-ruang di rumah ini  bukan seperti ruangan yang pernah kumiliki. Terlebih kamar tidur, tak ada kegiatan membaca buku atau menonton film sebelum tidur, sehingga satu bantal tak terpakai menjadi temanku berbicara. Berdebat dengan diriku sendiri tentang keberadaan Rina.

Orang tua Rina sudah meninggal sepuluh bulan lalu, dan rumah mereka sudah bukan kepunyaannya lagi. Langsung dijual sepekan setelahnya untuk menghibur diri menonton konser Iggy Pop di Sidney. Jadi aku tak punya clue apapun tentang keberadaannya.

Pernah terbesit di kepalaku suatu hari sebelum kemalangan ini hadir dalam hidupku, tentang keinginanku tinggal di istana ini seorang diri, di mana aku bisa menikmati kesunyian dengan diriku sendiri, tapi ternyata itu sungguh tak menyenangkan.

Oh Tuhan, aku bersumpah tak pernah menyakiti perempuan itu, selain dengan menamparnya dengan gaji yang pas-pasan.

***

Sudah dua malam aku bersembunyi di sini, di sebuah pondok yang jauh sekali dari keberadaan Rudi. Aku berdosa sekali padanya, seharusnya aku bersamanya saat ini. Istri macam apa aku ini. 

Tapi aku yakin Rudi tak akan berbuat hal bodoh hanya karena aku hilang sementara waktu. Dan kalau boleh jujur, aku benar-benar menikmati waktuku berada di sini, ramai orang-orang yang menyenangkan. 

Semalam aku diajak berkemah di samping danau bersama sebuah keluarga kecil, sepasang suami istri itu punya satu orang anak perempuan. Sepanjang malam, sehabis kami bakar-bakar sosis dan daging, kami berbincang-bincang dan bernyanyi di bawah bulan dan bintang. 

Danau itu persis seperti kumpulan permata. Di hadapan kami, api unggun bergoyang-goyang, seperti ikut bersenandung dengan lagu-lagu blues yang kami nyanyikan.

Jimi sudah tua, umurnya kurasa 53 sedangkan istrinya, Rosi, tampak lebih tua darinya. Tepat sebelum nyanyian malam kami sudahi, karena Jimi sudah mengantuk, aku dan Rosi berbincang-bincang. 

Sisa botol bir menghangatkan badan kami yang sudah ditutupi oleh jaket yang dirasa cukup tebal. Aku awalnya tak berbicara dan menikmati angin malam yang berhembus, suara percikan api pada kayu bakar begitu jelas terdengar tiap percikannya. Aku tak tahu apakah Rosi masih sadar atau tidak, tapi ia tiba-tiba bilang, "kau lebih baik pulang esok pagi,"

Aku masih terpaku menatap api unggun.

"Apa yang kau cari sebenarnya takkan pernah kau temukan, waktu terus berjalan, gadis kecil,"

Aku tersedak, lalu terkekeh.

Rosi menatapku, "itu benar hahaha, aku serius, percayalah aku telah melewati waktu-waktu sepertimu bersama Jimi."

Aku diam saja.

"Tiga puluh tahun lalu aku menangis, dua puluh menit tepat sebelum ijab kabul pernikahan kami akan dilaksanakan, aku masih tak siap. Ada banyak hal yang ingin kuraih, tapi aku takut Jimi tak mau lagi denganku bila aku menolaknya. 10 tahun pernikahan kami, tiada hari aku tiada menyesal, ada saja hal yang kusesali sebelum aku tidur. Sampai suatu hari, hadirlah putriku, Jinni. Ia yang membuatku sadar, betapa indahnya pernikahan kami." Mata Rosi memerah, bisa kupastikan ia tak berkedip dari 1 menit yang lalu. "Mungkin aku tak bisa memberimu kata-kata bijak, karena itu hanya bualan, tapi percayalah, anak bisa dibilang bunga dalam pernikahan, kau akan senang melihatnya setelah bosan menatap suamimu sepanjang hari, tapi kau tak pernah bosan menatapnya."

Setelah itu Rosi terdiam, menenggak cairan terakhir di dalam botolnya. Lantas berdiri, dan menekan bahuku dengan tangan kanannya seolah berkata, semua akan baik-baik saja. Kemudian masuk ke dalam tendanya.

Aku kembali meratapi api yang menyala-nyala. Beberapa balok kayu masih utuh di sana. Satu percikan besar membuatku berkedip. Aku menaruh botol bir yang masih tersisa setengah, lalu berdiri dan masuk ke dalam pondok tak jauh dari tenda Jimi dan Rosi.

Ia benar, tak ada yang bisa memperbaiki ruang kosong di dalam diriku tanpa sesosok Rudi. Esok pagi aku harus bergegas kembali.

***

Aku melihat tanganku bersimbah darah di kamar mandi, perlahan menghilang di sapu air pancuran. Baju kaus hitam yang berlumur darah sudah kubakar di halaman belakang bersama dedaunan kering dan kenangan yang ada padanya. Dendam terbayarkan sudah.

Lelaki itu terduduk mati di mobil Pajeronya tadi pagi pukul sepuluh sebelum ia berangkat kerja. Aku tak peduli barang bukti apa yang bisa polisi temukan di dalam sana, tidak ada saksi yang melihat, tidak ada apapun clue untuk polisi. Tidak ada yang tersisa, tampaknya begitu.

Menjelang siang tadi, aku terduduk di depan tv sambil makan roti lapis, masih dengan darah yang belum kucuci. Kulihat berita telah tersebar. Istrinya yang aduhai beserta anaknya yang cantik menangis di seberang layar. Semua stasiun TV menayangkan berita itu hingga sore. 

Aku sempat tertidur saking bosannya menonton TV. Hingga suatu saat, seseorang mengetuk pintu. Aku terjaga dan memilih mengabaikannya, lalu berjalan dengan tenang ke arah kamar mandi, membersihkan diri.

***

Sepanjang perjalanan pulang, semua radio membicarakan tentang terbunuhnya seorang pejabat. Namanya tak asing di telinga. Tapi, mengapa aku harus mendengar berita yang menyedihkan itu di saat aku akhirnya menemukan jawaban atas kegelisahanku. 

Lantas aku mematikan radio, dan memutar lagu David Bowie yang sarat akan kegembiraan dan harapan. Aku bernyanyi sambil berkendara, hatiku tak sabar mengatakannya kepada Rudi setibanya di sana nanti. Rudi pasti terkejut dan bergembira, pasalnya ia sudah lama menginginkan anak, dan aku selalu tidak siap.

Sesampainya di rumah, aku tak menemukan apa-apa selain mobil sedannya terparkir di halaman depan, sementara pemiliknya tak tahu ada di mana. Ketika pintu kubuka semuanya tertata rapi, kecuali di meja depan tv, ada satu piring yang berisi remahan roti, dan irisan timun yang sudah melebam. Di kamar mandi, terdengar bunyi air pancuran. Rudi tengah mandi tampaknya.

"Rudi, aku pulang,"

Aku tak mendengar balasan. Suara air terus memancur deras dari dalam sana. Kulihat dapur, sebilah pisau berlumur cairan berwarna merah berdiri tegap menancap meja makan kayu, sepertinya darah. Untuk sejenak aku tertawa, tak mungkin Rudi menyakiti dirinya sendiri karena aku menghilang sementara waktu.

Apalagi membunuh orang. []

Banda Aceh, 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun