4. Ulama Hanabilah
Menurut Ibnu Qudamah yang dikutip Sofyan Kau dalam Isu-Isu Fikih Kontemporer, berpendapat bahwa seorang wanita yang berzina tidak boleh bagi yang mengetahuinya untuk menikahinya, kecuali dengan dua syarat. Pertama, telah habis masa iddahnya yaitu setelah melahirkan anak.
Kedua, menyatakan penyesalan atas perbuatannya (taubat). Sebab setelah bertaubat, statusnya sebagai pelaku zina yang haram dikawini terhapus.
4. Bagaimana tinjauan secara sosiologis, religius dan yuridis pernikahan wanita hamil?Â
Secara sosiologis, perkawinan wanita hamil dapat dilihat sebagai refleksi dari norma-norma sosial dan budaya yang mengatur perilaku dan hubungan antarindividu dalam masyarakat. Fenomena ini mencerminkan bagaimana norma-norma tersebut mempengaruhi pilihan individu, interaksi sosial, dan struktur keluarga. Dalam banyak masyarakat, kehamilan di luar pernikahan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma sosial yang mengatur pernikahan dan kehidupan keluarga. Oleh karena itu, perkawinan wanita hamil sering dianggap sebagai cara untuk memperbaiki atau "mengatasi" situasi yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma tersebut.
Secara religius, pandangan terhadap perkawinan wanita hamil dapat bervariasi tergantung pada keyakinan dan ajaran agama yang dianut. Beberapa agama mungkin menekankan pentingnya pernikahan sebagai bagian dari ajaran moral dan etika agama, sehingga perkawinan wanita hamil dapat dilihat sebagai upaya untuk menegakkan nilai-nilai agama tersebut. Namun, dalam beberapa kasus, agama juga dapat menegakkan norma-norma yang ketat terkait dengan kehamilan di luar pernikahan, dan perkawinan wanita hamil mungkin diperlakukan dengan skeptisisme atau bahkan dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral.
Secara yuridis, perkawinan wanita hamil dapat diatur oleh hukum dan peraturan yang berlaku dalam suatu negara atau wilayah. Di beberapa yurisdiksi, kehamilan mungkin tidak memengaruhi sah atau tidaknya perkawinan, sementara di tempat lain, ada persyaratan atau aturan khusus yang mengatur perkawinan saat ada kehamilan terlibat. Misalnya, ada negara-negara yang memperbolehkan perkawinan saat wanita hamil, tetapi mungkin mengharuskan pihak yang terlibat untuk memberikan bukti bahwa perkawinan tersebut tidak dipaksa. Di sisi lain, ada yurisdiksi yang melarang perkawinan wanita hamil secara khusus, atau mungkin memiliki persyaratan tambahan yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dapat diakui secara sah.
Dalam tinjauan ini, interaksi antara dimensi sosiologis, religius, dan yuridis mencerminkan kompleksitas dan keragaman pandangan serta praktik terkait dengan perkawinan wanita hamil dalam masyarakat.
5. Apa yang seharusnya dilakukan oleh generasi muda atau pasangan muda dalam membangun keluarga yang sesuai dengan regulasi dan hukum agama Islam?Â
Islam dengan semua aspek ajarannya adalah agama yang Allah ridhoi dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umatnya, sebagai risalah kerasulannya, yang memuat inti ajarannya diawali dengan masalah aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, diantaranya masalah munakahat yaitu: hukum Allah yang mengatur tentang perkawinan atau pernikahan, termasuk di dalam yang mengatur kehidupan dan tuntunan cara berumah tangga yang baik dan benar. Hal ini tertuang penjelasannya dalam Al-Qur'an dan sunah rasul-Nya (Hadits), dan dikuatkan lagi penjelasannya dalam Undang-Undang Perkawinan RI Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Adapun cara melaksanakan berumah tangga menurut Undang-Undang Perkawinan RI Nomor 1 Tahun 1974 diantaranya termuat dalam penjelasan umum butir 4 Undang-Undang Perkawinan RI Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut: