1. Mengapa perkawinan Wanita hamil terjadi dalam masyarakat?Â
Perkawinan wanita hamil dalam masyarakat merupakan hasil dari beragam faktor sosial, budaya, Salah satu alasan utama adalah adanya tekanan sosial dan budaya yang menekankan pentingnya pernikahan sebagai tanggapan atas kehamilan di luar pernikahan. Dalam banyak budaya, kehamilan di luar nikah dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan, sehingga pernikahan sering dianggap sebagai solusi atau cara untuk "mengatasi" situasi tersebut dan memberikan status yang sah bagi anak yang akan lahir.
Selain itu, tekanan dari keluarga, teman, dan masyarakat juga dapat memengaruhi keputusan untuk menikah saat hamil. Keluarga mungkin mendorong pernikahan untuk menjaga nama baik keluarga atau untuk menghindari stigma sosial yang terkait dengan kehamilan di luar nikah. Terkadang, individu merasa terdesak untuk menikah demi mendapatkan dukungan finansial atau sosial yang lebih stabil, terutama jika mereka merasa tidak siap untuk menghadapi kehamilan atau mengasuh anak sendirian.
Secara keseluruhan, perkawinan wanita hamil merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait.
2. Apa yang menjadi penyebab terjadi pernikahan Wanita hamil?Â
Ada beberapa faktor yang menjadi latar belakang terjadinya kehamilan pranikah dan kelahiran anak di luar kawin, antara lain:
1. Karena usia pelaku belum mencapai batas yang diizinkan untuk melangsungkan perkawinan.
2. Karena masih tidak memiliki kesiapan finansial untuk melangsungkan perkawinan.
3. Karena konsekuensi dari tindak pemerkosaan.
4. Karena tidak mendapatkan izin orang tua.
5. Karena laki-laki terikat perkawinan dengan wanita lain dan tidak mendapatkan izin untuk melakukan poligami.
6. Karena pergaulan seks bebas.
7. Karena prostitusi/perdagangan jasa seksual.
3. Bagaimana argumen pandangan para ulama tentang pernikahan wanita hamil?Â
Ada 4 pandangan ulama besar (madzhab) yang kita gunakan untuk menganalisa permasalahan ini, antara lain:Â
1. Ulama Syafi'iah
Mengutip Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh oleh Wahbah Az-Zuhaily, ulama syafi'iah berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikahinya itu lelaki yang menghamilinya ataupun yang bukan. Alasannya karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang haram untuk dinikahi.
2. Ulama Hanafiyah
Menurut Wahbah Az-Zuhaily yang dikutip oleh Memed Humaedillah dalam bukunya Status Hukum Akad Wanita Hamil dan Anaknya bahwa ulama hanafiyah berpendapat hukumnya sah menikahi wanita hamil bila yang menikahinya lelaki yang menghamilinya. Hal itu disebabkan, wanita hamil akibat zina tidak termasuk dalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi.
3. Ulama Malikiyah
Ibn al-Qasim dari ulama malikiyah berpendapat bahwa hukumnya diharamkan menikahi wanita pezina dalam keadaan hamil sampai wanita tersebut terbebas (istibra) dari akibat zina yaitu sampai melahirkan anaknya.
Ulama malikiyah juga berpendapat bahwa tidaklah sah bahkan haram menikahi wanita hamil karena zina walaupun dengan yang menghamilinya apalagi dengan yang bukan menghamilinya. Bila akad tetap dilangsungkan, maka akad nikahnya tidak sah dan wajib untuk dibatalkan.
4. Ulama Hanabilah
Menurut Ibnu Qudamah yang dikutip Sofyan Kau dalam Isu-Isu Fikih Kontemporer, berpendapat bahwa seorang wanita yang berzina tidak boleh bagi yang mengetahuinya untuk menikahinya, kecuali dengan dua syarat. Pertama, telah habis masa iddahnya yaitu setelah melahirkan anak.
Kedua, menyatakan penyesalan atas perbuatannya (taubat). Sebab setelah bertaubat, statusnya sebagai pelaku zina yang haram dikawini terhapus.
4. Bagaimana tinjauan secara sosiologis, religius dan yuridis pernikahan wanita hamil?Â
Secara sosiologis, perkawinan wanita hamil dapat dilihat sebagai refleksi dari norma-norma sosial dan budaya yang mengatur perilaku dan hubungan antarindividu dalam masyarakat. Fenomena ini mencerminkan bagaimana norma-norma tersebut mempengaruhi pilihan individu, interaksi sosial, dan struktur keluarga. Dalam banyak masyarakat, kehamilan di luar pernikahan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma sosial yang mengatur pernikahan dan kehidupan keluarga. Oleh karena itu, perkawinan wanita hamil sering dianggap sebagai cara untuk memperbaiki atau "mengatasi" situasi yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma tersebut.
Secara religius, pandangan terhadap perkawinan wanita hamil dapat bervariasi tergantung pada keyakinan dan ajaran agama yang dianut. Beberapa agama mungkin menekankan pentingnya pernikahan sebagai bagian dari ajaran moral dan etika agama, sehingga perkawinan wanita hamil dapat dilihat sebagai upaya untuk menegakkan nilai-nilai agama tersebut. Namun, dalam beberapa kasus, agama juga dapat menegakkan norma-norma yang ketat terkait dengan kehamilan di luar pernikahan, dan perkawinan wanita hamil mungkin diperlakukan dengan skeptisisme atau bahkan dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral.
Secara yuridis, perkawinan wanita hamil dapat diatur oleh hukum dan peraturan yang berlaku dalam suatu negara atau wilayah. Di beberapa yurisdiksi, kehamilan mungkin tidak memengaruhi sah atau tidaknya perkawinan, sementara di tempat lain, ada persyaratan atau aturan khusus yang mengatur perkawinan saat ada kehamilan terlibat. Misalnya, ada negara-negara yang memperbolehkan perkawinan saat wanita hamil, tetapi mungkin mengharuskan pihak yang terlibat untuk memberikan bukti bahwa perkawinan tersebut tidak dipaksa. Di sisi lain, ada yurisdiksi yang melarang perkawinan wanita hamil secara khusus, atau mungkin memiliki persyaratan tambahan yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dapat diakui secara sah.
Dalam tinjauan ini, interaksi antara dimensi sosiologis, religius, dan yuridis mencerminkan kompleksitas dan keragaman pandangan serta praktik terkait dengan perkawinan wanita hamil dalam masyarakat.
5. Apa yang seharusnya dilakukan oleh generasi muda atau pasangan muda dalam membangun keluarga yang sesuai dengan regulasi dan hukum agama Islam?Â
Islam dengan semua aspek ajarannya adalah agama yang Allah ridhoi dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umatnya, sebagai risalah kerasulannya, yang memuat inti ajarannya diawali dengan masalah aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, diantaranya masalah munakahat yaitu: hukum Allah yang mengatur tentang perkawinan atau pernikahan, termasuk di dalam yang mengatur kehidupan dan tuntunan cara berumah tangga yang baik dan benar. Hal ini tertuang penjelasannya dalam Al-Qur'an dan sunah rasul-Nya (Hadits), dan dikuatkan lagi penjelasannya dalam Undang-Undang Perkawinan RI Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Adapun cara melaksanakan berumah tangga menurut Undang-Undang Perkawinan RI Nomor 1 Tahun 1974 diantaranya termuat dalam penjelasan umum butir 4 Undang-Undang Perkawinan RI Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut:
1. Tujuan perkawinan membentuk keluarga bahagia dan kekal.
2. Sahnya perkawinan menurut agama dan dicatat.
3. Asas perkawinan adalah monogami.
4. Kematangan jasmani dan rohani pasangan untuk berumah tangga.
5. Keseimbangan hak dan kedudukan suami-isteri
Indra Rasya Kurniawan (222121046)
Hilda dyah hidayatul luthfiah (222121066)
Nusyaibah 'Ainun Mardhiyah (222121074]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H