Mohon tunggu...
Nusaibah Ayu Febriani
Nusaibah Ayu Febriani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

ur time is limited, don't waste it living someone else's life

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Skripsi "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tanggung Jawab Ayah Memberi Nafkah Anak Pasca Perceraian"

1 Juni 2024   11:09 Diperbarui: 1 Juni 2024   11:20 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kewajiban ayah dalam mencari nafkah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Menurut Undang-Undang Perkawinan, kedua orang tua memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak hingga anak tersebut menikah atau dapat berdiri sendiri, bahkan jika perkawinan antara kedua orang tua putus. Kompilasi Hukum Islam juga mengatur bahwa batasan usia anak yang dapat berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, kecuali jika anak tersebut memiliki cacat fisik atau mental, atau sudah menikah. Dengan demikian, aturan tersebut memberikan pedoman yang lebih jelas mengenai kewajiban nafkah, namun tetap menghormati berbagai pendapat ulama yang mendasarkan ijtihad mereka pada teks-teks agama.

E. Nafkah Anak Pasca Perceraian

Ketika terjadi perceraian, penting untuk memperhatikan tanggung jawab atas biaya nafkah anak yang mencakup semua kebutuhan mereka. Seorang ayah memiliki kewajiban untuk menjamin nafkah bagi anaknya, termasuk aspek kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan lainnya, tanpa terpengaruh oleh perceraian. Artinya, perceraian tidak boleh menghilangkan tanggung jawab ayah untuk menafkahi anak-anaknya hingga mereka dewasa atau mandiri.

Pasal 106 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa orang tua harus merawat dan mengembangkan harta anak yang belum dewasa. Jika orang tua tidak melaksanakan kewajiban ini setelah perceraian, seorang wali dapat mengajukan perwalian untuk merawat anak-anak tersebut hingga dewasa atau mandiri.

Tanggung jawab orang tua terhadap anak tidak berhenti setelah perceraian. Meskipun perkawinan telah berakhir, orang tua tetap memiliki kewajiban untuk mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. Hal ini juga diatur dalam Pasal 149 huruf d Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa bekas suami harus memberikan biaya kepada anak-anaknya yang belum mencapai usia 21 tahun setelah perceraian.

Berdasarkan hukum perdata, kekuasaan orang tua atas anak-anak mereka berakhir ketika anak mencapai usia dewasa atau menikah. Namun, kewajiban untuk menafkahi anak tetap ada, baik selama perkawinan masih berlangsung maupun setelah perceraian.

Dapat disimpulkan bahwa kewajiban orang tua terhadap anak adalah memelihara, mendidik, dan menafkahi mereka dengan sebaik mungkin, yang berlaku hingga anak-anak tersebut tumbuh dewasa atau mandiri. Kewajiban ini tetap berlaku meskipun kedua orang tua telah bercerai.

NAFKAH AYAH KEPADA ANAK PASCA PERCERAIAN DI DESA BINTOYO, KECAMATAN PADAS, KABUPATEN NGAWI

A. Tingkat Percerian di Desa Bintoyo

Tingkat perceraian di Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dari tahun 2019 hingga 2022. Pada tahun 2019, terdapat 19 kasus perceraian, yang kemudian mengalami peningkatan menjadi 25 kasus pada tahun 2020. Peningkatan ini terus berlanjut pada tahun 2021, di mana jumlah kasus perceraian mencapai 26 kasus, menandakan bahwa tren tersebut belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Puncak dari tren peningkatan tersebut terjadi pada tahun 2022, di mana tercatat sebanyak 31 kasus perceraian terjadi dalam satu tahun. Hal ini menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dalam dinamika sosial dan hubungan pernikahan di Desa Bintoyo selama periode yang diamati. Upaya pemahaman dan penanganan terhadap faktor-faktor penyebab perceraian menjadi semakin penting untuk dilakukan guna mengurangi angka perceraian di masa mendatang.

B. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Pasca Perceraian

Berdasarkan hasil penelitian yang melibatkan wawancara dengan ayah-anak yang terdampak perceraian, terdapat beberapa alasan yang diutarakan terkait dengan tanggung jawab ayah dalam memberikan nafkah pasca perceraian.

  • Bapak Sumarno mengungkapkan bahwa jika anak tidak tinggal bersamanya, ia merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada anaknya. Baginya, kedekatan fisik menjadi faktor penentu dalam memenuhi kewajiban tersebut.
  • Bapak Eko menyatakan bahwa karena anaknya tidak dekat dengannya sejak kecil dan hak asuh jatuh kepada ibunya setelah perceraian, ia tidak merasa bertanggung jawab memberi nafkah karena kesulitan ekonomi yang dialaminya. Hubungan yang kurang dekat dengan anak dan keterbatasan ekonomi menjadi alasan utama yang mempengaruhi persepsinya.
  • Bapak Minto memiliki keluarga baru yang tidak mengizinkannya memberikan nafkah kepada anak dari mantan istri, sehingga ia menganggap dirinya tidak bertanggung jawab terhadap nafkah anaknya. Faktor dinamika keluarga baru juga turut memengaruhi persepsinya terhadap kewajiban nafkah.
  • Bapak Teguh, yang mengalami kesulitan ekonomi karena pekerjaan yang tidak tetap, juga merasa tidak mampu bertanggung jawab memberi nafkah kepada anaknya. Faktor ekonomi menjadi hambatan utama dalam pemenuhan kewajiban nafkah bagi Bapak Teguh.
  • Bapak Pras, yang sudah tidak memiliki pekerjaan tetap sejak awal pernikahannya, sekarang tidak memberi nafkah kepada mantan istri dan anaknya setelah perceraian, karena tanggung jawab nafkah diambil alih oleh mantan istrinya. Perubahan dalam dinamika pernikahan dan tanggung jawab nafkah juga dapat mempengaruhi persepsi ayah terhadap kewajiban tersebut.
  • Ibu Sukemi, nenek dari pihak ibu sang anak, menyatakan bahwa hak asuh jatuh kepada ayah karena ibunya bekerja di luar negeri, tetapi biaya kebutuhan anaknya ditanggung oleh ibunya yang bekerja di luar negeri melalui sang ayah. Dinamika keluarga yang kompleks dan faktor keterlibatan anggota keluarga lainnya juga dapat memengaruhi pembagian tanggung jawab nafkah.

Dari hasil wawancara tersebut, terlihat beragamnya alasan yang menyebabkan ayah tidak merasa bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada anak pasca perceraian, mulai dari masalah hubungan dengan anak hingga masalah ekonomi. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang holistik dalam menangani isu kewajiban nafkah pasca perceraian, yang memperhatikan berbagai aspek yang memengaruhi persepsi dan kemampuan ayah dalam memenuhi kewajiban tersebut.


ANALISIS TANGGUNG JAWAB AYAH MEMBERI NAFKAH ANAK PASCAPERCERAIAN DI TINJAU DARI HUKUM ISLAM

A. Analisis Faktor-faktor yang menyebabkan Ayah tidak memberikan nafkah Anak pascaperceraian

Berdasarkan penelitian di Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, ditemukan bahwa kewajiban seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada anaknya pasca perceraian adalah penting dan diatur dalam ajaran agama Islam. Namun, dalam beberapa kasus, ayah tidak memenuhi kewajiban ini karena beberapa faktor. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman tentang hak nafkah anak menurut ajaran agama Islam. Banyak ayah yang tidak sepenuhnya mengerti bahwa nafkah anak merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, bukan hanya sebatas anjuran.

Selain itu, kondisi ekonomi yang sulit juga menjadi hambatan signifikan. Beberapa ayah menghadapi kesulitan finansial karena pekerjaan yang tidak tetap atau pendapatan yang rendah. Dalam situasi ekonomi yang tidak stabil, prioritas pemberian nafkah sering kali tergeser oleh kebutuhan pribadi atau keluarga baru. Kondisi ini diperparah jika ayah tersebut memiliki keluarga baru, di mana mereka lebih memilih untuk memberikan nafkah kepada anak dari pernikahan yang baru, meninggalkan tanggung jawab terhadap anak dari pernikahan sebelumnya.

Fenomena ini menunjukkan adanya penyimpangan dalam kewajiban seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada anak pasca perceraian. Penyimpangan ini memerlukan upaya untuk meningkatkan pemahaman agama, kesadaran ekonomi, dan kesadaran akan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak mereka, terlepas dari status perkawinan atau perceraian.

B. Analisa Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ayah yang tidak Memberikan Nafkah Anak pasca Perceraian

Perihal nafkah anak pascaperceraian di Desa Bintoyo, situasi umumnya menunjukkan bahwa anak yang merupakan hasil perkawinan yang sah akan tinggal bersama ibunya. Dalam konteks ini, tanggung jawab memberikan nafkah anak seringkali sepenuhnya ditanggung oleh ibu, meskipun dalam ajaran Islam, tanggung jawab ini seharusnya berada di pundak ayah. Ketidakmampuan atau kelalaian seorang ayah dalam memenuhi kewajiban ini merupakan pelanggaran terhadap ajaran Islam dan dianggap sebagai dosa.

Dalam kehidupan rumah tangga, konflik seringkali timbul dan dapat berujung pada perceraian. Namun, perceraian tidak membebaskan seorang ayah dari tanggung jawab untuk menafkahi anaknya. Hukum Islam yang diatur dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW menegaskan pentingnya memberikan nafkah kepada anak. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal-pasal terkait pemeliharaan anak dan nafkah dijelaskan secara rinci, menekankan bahwa kewajiban nafkah anak tetap berlaku meskipun orang tua telah bercerai.

Sayangnya, realitas di lapangan sering kali berbeda. Banyak ayah tidak memenuhi kewajiban nafkah kepada anaknya setelah perceraian, dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal, seperti argumen bahwa anak ikut ibunya, alasan ekonomi, atau kurangnya pemahaman tentang kewajiban nafkah anak. Beberapa ayah bahkan menggunakan alasan ini sebagai pembenaran untuk menghindari tanggung jawab mereka.

Pandangan para ulama, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Al-Syafi'i, dan Imam Ibn Hanbal, juga sejalan dengan prinsip bahwa kewajiban nafkah kepada anak tetap berlaku selama anak tersebut belum menikah, belum dewasa, dan belum memiliki penghasilan sendiri. Oleh karena itu, seorang ayah harus terus memberikan nafkah hingga anak mencapai kemandirian.

RENCANA SKRIPSI YANG AKAN SAYA TULIS

Rencana judul skripsi yang akan saya tulis adalah "Analisis Hukum Islam terhadap Peran Gender dan Keseimbangan Kekuasaan dalam Keluarga dengan Pendapatan Istri yang Lebih Tinggi". Judul tersebut sesuai dengan tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Metodologi Penelitian yang saya ambil. Memilih judul tersebut memiliki beberapa alasan yang sangat penting.

Pertama, perubahan sosial dan ekonomi dalam beberapa dekade terakhir telah mengakibatkan pergeseran peran gender di banyak keluarga. Semakin banyak perempuan yang berkarir dan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan suami mereka. Fenomena ini menimbulkan tantangan baru dalam struktur dan dinamika keluarga yang sebelumnya belum banyak diteliti dalam konteks hukum Islam. Oleh karena itu, analisis ini diperlukan untuk memahami bagaimana hukum Islam memandang perubahan peran gender ini dan bagaimana pengaruhnya terhadap keseimbangan kekuasaan dalam keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun