Mohon tunggu...
Nusaibah Ayu Febriani
Nusaibah Ayu Febriani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

ur time is limited, don't waste it living someone else's life

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review Skripsi "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tanggung Jawab Ayah Memberi Nafkah Anak Pasca Perceraian"

1 Juni 2024   11:09 Diperbarui: 1 Juni 2024   11:20 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.suaramuhammadiyah.id

SKRIPSI "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TANGGUNG JAWAB AYAH MEMBERI NAFKAH ANAK PASCA PERCERAIAN

(STUDI KASUS DI DESA BINTOYO, KECAMATAN PADAS, KABUPATEN NGAWI)"

Karya MOCHAMAD ARIF SHOLEH HIDAYAT 

Tahun 2023

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

PENDAHULUAN

Perceraian adalah sebuah fenomena sosial yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat. Ketika sebuah pernikahan berakhir, berbagai konsekuensi harus dihadapi oleh kedua belah pihak, terutama yang berkaitan dengan anak-anak. Salah satu isu utama yang muncul adalah tanggung jawab ayah dalam memberikan nafkah kepada anak-anaknya pasca perceraian. Dalam konteks hukum Islam, kewajiban ini diatur secara jelas dan tegas. Namun, implementasi di lapangan sering kali berbeda dengan ketentuan yang ada, sehingga perlu dikaji lebih dalam. Menurut hukum Islam, nafkah anak adalah hak yang harus dipenuhi oleh ayah. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa seorang ayah bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan anak-anaknya, termasuk setelah perceraian terjadi. Pemenuhan nafkah ini mencakup kebutuhan dasar anak seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan. Ketidakmampuan atau kelalaian ayah dalam memenuhi kewajiban ini dapat berdampak negatif pada perkembangan anak baik secara fisik, mental, maupun emosional.

Namun, kenyataan di lapangan sering menunjukkan adanya berbagai kendala dalam pemenuhan kewajiban ini. Salah satunya adalah faktor ekonomi. Tidak jarang, ayah yang telah bercerai mengalami kesulitan finansial yang membuatnya tidak mampu memberikan nafkah yang layak untuk anak-anaknya. Selain itu, ada juga kasus di mana ayah dengan sengaja menghindari tanggung jawabnya, baik dengan alasan pribadi maupun karena adanya konflik dengan mantan istri. Kondisi ini tentu saja memperburuk situasi anak-anak yang menjadi korban utama dari perceraian tersebut.

Di sisi lain, peran hukum dan peraturan yang ada juga sangat penting dalam memastikan bahwa kewajiban nafkah ini dapat dilaksanakan dengan baik. Pemerintah dan lembaga terkait harus mampu menegakkan aturan dengan tegas dan memberikan sanksi yang berat bagi ayah yang lalai dalam memenuhi kewajibannya. Selain itu, perlu adanya mekanisme yang efektif untuk memantau dan mengevaluasi pemenuhan nafkah anak, sehingga hak-hak anak dapat terlindungi dengan maksimal. Selain dari sisi hukum, pendekatan sosial dan psikologis juga sangat dibutuhkan dalam menangani masalah nafkah anak pasca perceraian. Dukungan dari keluarga besar, masyarakat, dan lembaga sosial dapat membantu meringankan beban yang dihadapi oleh anak-anak dan ibu mereka. Konseling dan bimbingan psikologis juga penting untuk membantu anak-anak mengatasi trauma akibat perceraian orang tua mereka, serta untuk memastikan bahwa mereka tetap mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang mereka butuhkan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Di masyarakat pedesaan seperti di Desa Bintoyo, pengetahuan dan pemahaman tentang hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan kewajiban nafkah pasca perceraian, masih bervariasi. Beberapa ayah mungkin sepenuhnya memahami dan memenuhi kewajiban mereka, sementara yang lain mungkin menghadapi berbagai kendala dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut.Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan kewajiban nafkah ini antara lain kondisi ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, kesadaran hukum, dan dukungan dari lembaga masyarakat atau lembaga hukum. Kondisi ekonomi yang lemah sering kali menjadi alasan utama mengapa beberapa ayah tidak dapat memenuhi kewajiban nafkah mereka. Selain itu, kurangnya pendidikan dan pemahaman tentang hukum Islam juga dapat menyebabkan kelalaian dalam memenuhi tanggung jawab ini. Dalam beberapa kasus, tidak adanya penegakan hukum yang tegas dan efektif juga dapat memperburuk situasi.

ALASAN MEMILIH JUDUL

Perceraian merupakan fenomena sosial yang semakin meningkat dalam masyarakat modern, termasuk di Indonesia. Konsekuensi dari perceraian, khususnya terkait tanggung jawab orang tua terhadap anak, menjadi isu penting yang perlu dikaji lebih dalam. Judul ini dipilih untuk menyoroti urgensi memahami dan menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dari fenomena perceraian, terutama dalam hal pemberian nafkah anak oleh ayah. Hukum Islam secara tegas mengatur kewajiban ayah dalam memberikan nafkah kepada anak-anaknya, bahkan setelah perceraian terjadi. Namun, implementasi aturan ini seringkali menemui berbagai kendala di lapangan.

Dengan memilih judul ini, penulis bertujuan mengkaji bagaimana hukum Islam diterapkan dalam konteks tanggung jawab ayah terhadap anak pasca perceraian serta mengidentifikasi hambatan-hambatan yang ada. Judul ini dipilih karena memiliki potensi untuk memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum keluarga Islam. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pemahaman mengenai kewajiban nafkah anak pasca perceraian serta memperkaya literatur akademik yang ada.

Pemenuhan nafkah anak memiliki dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan anak dan keluarganya. Dengan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pemenuhan kewajiban ini, penelitian diharapkan dapat memberikan rekomendasi praktis yang meningkatkan kesejahteraan anak-anak yang orang tuanya bercerai. Selain itu, penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan wawasan bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan yang lebih efektif dan berpihak pada kepentingan anak.

PEMBAHASAN REVIEW

Skripsi ini mengkaji tanggung jawab ayah dalam memberikan nafkah kepada anak-anak mereka setelah perceraian, dalam konteks hukum Islam. Fokus khususnya adalah pada studi kasus di Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi. Tujuan utamanya adalah menganalisis bagaimana prinsip-prinsip hukum Islam diterapkan dalam memastikan bahwa ayah memenuhi kewajibannya pasca perceraian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan studi kasus dan wawancara dengan pemangku kepentingan yang relavan, termasuk ayah yang bercerai, ibu, anak-anak, dan otoritas agama setempat

HAK NAFKAH ANAK PASCAPERCERAIAN

A. Nafkah Menurut Tinjauan Hukum Islam

Nafkah dalam perspektif hukum Islam adalah suatu kewajiban yang ditetapkan bagi suami untuk menyediakan kebutuhan hidup, termasuk makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan perhatian bagi istri dan anggota keluarganya. Pengertian nafkah secara etimologis berasal dari kata Arab "nafaqa" yang berarti "belanja untuk kepentingan hidup", sedangkan secara terminologi, mencakup segala kebutuhan yang diberikan seseorang kepada orang lain di bawah tanggung jawabnya.

Dasar hukum nafkah dalam Islam dapat ditemukan dalam ketentuan Nash (Al-Qur'an dan Hadis) serta Ijma' (kesepakatan para ulama). Suami bertanggung jawab penuh untuk menyediakan nafkah bagi istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan ekonomi yang dimiliki. Hal ini dijelaskan dalam kesepakatan para fuqaha bahwa suami harus berusaha semaksimal mungkin untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.

Adapun perbedaan pendapat mengenai nafkah antara anak laki-laki dan perempuan menjadi perhatian khusus dalam diskusi hukum Islam. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada perbedaan dan semua individu, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak yang sama dalam menerima nafkah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan ekonomi. Pendapat ini menegaskan bahwa kewajiban memberikan nafkah tidak harus dibedakan berdasarkan jenis kelamin, melainkan lebih pada kapasitas ekonomi dan kebutuhan yang spesifik.

Namun, pendapat lain mengemukakan adanya perbedaan dalam pemberian nafkah, terutama terkait dengan situasi dan kondisi tertentu. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa anak perempuan berhak menerima nafkah sampai dia menikah, sementara anak laki-laki hanya sampai dia dewasa atau mampu mencari nafkah sendiri. Pendapat ini juga mengaitkan nafkah dengan kondisi fisik, seperti sakit-sakitan.

Meskipun terdapat perbedaan pendapat, prinsip utama yang dipegang teguh dalam hukum Islam adalah keadilan dan keseimbangan dalam memberikan nafkah. Suami diharapkan memenuhi kewajibannya sesuai dengan kemampuan ekonomi, sementara hak-hak istri dan anggota keluarga lainnya dijamin dan dijaga dengan baik dalam sistem hukum Islam.

B. Macam-Macam Pemberian Nafkah

Sebagian besar ulama juga menyepakati bahwa anak memiliki hak untuk menerima nafkah dari ayahnya, dengan mempertimbangkan beberapa syarat yang ditegaskan sebagai berikut:

1. Ayah yang mampu mencari nafkah atau memiliki pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan diwajibkan untuk memberikan nafkah kepada anak-anaknya.

2. Namun, ayah tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada anak yang sudah memiliki penghasilan sendiri atau memiliki pekerjaan tetap.

3. Menurut mazhab Hanbali, anak-anak yang memiliki agama yang sama dengan ayahnya harus dinafkahi. Meskipun demikian, mayoritas ulama menyatakan bahwa perbedaan agama tidak boleh menghalangi pemberian nafkah kepada anak.

C. Sebab Wajib Memberi Nafkah

Nafkah dalam konteks pernikahan dan hubungan keluarga didasarkan pada beberapa sebab yang menjadi landasan hukum dalam ajaran Islam. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai nafkah dalam berbagai konteks tersebut:

  • Nafkah bagi Istri:

Kewajiban memberikan nafkah kepada istri merupakan salah satu tanggung jawab utama suami dalam pernikahan. Ini mencakup kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan perawatan kesehatan. Tingkat ketaatan istri kepada suami dapat mempengaruhi haknya atas nafkah. Jika istri tidak taat atau nusyuz (membangkang tanpa alasan syar'i), dia tidak berhak menerima nafkah dari suami. Namun, suami tetap berkewajiban memberikan nafkah dengan cara yang baik dan adil, sesuai dengan kemampuan finansialnya.

  • Nafkah bagi Anak:

Orang tua, terutama ayah, memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Ini mencakup pendidikan, kesehatan, makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Kewajiban ini tetap berlaku hingga anak mencapai usia dewasa atau mampu mandiri secara finansial. Ajaran Rasulullah SAW menegaskan pentingnya kewajiban ini, sehingga istri yang tidak menerima nafkah secara jelas dari suaminya berhak mengambil dari harta suami untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sesuai dengan kebutuhannya yang wajar.

  • Perlakuan terhadap Budak:

Dalam konteks sejarah, seseorang yang memiliki budak wajib memberikan makanan, pakaian, dan perawatan yang layak kepada budaknya. Rasulullah SAW menekankan bahwa seorang budak tidak boleh diberikan beban yang melebihi kemampuannya dan harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi. Meskipun konsep perbudakan tidak lagi relevan dalam konteks modern, prinsip perlakuan yang baik dan adil terhadap semua individu tetap dipegang teguh dalam ajaran Islam.

D. Batas Usia Pemberian Nafkah Anak

Dalam al-Qur'an dan hadits, tidak secara tegas dijelaskan kapan masa pemberian nafkah kepada anak berakhir, namun terdapat isyarat-isyarat yang mengarah pada hal tersebut. Para ulama melakukan ijtihad berdasarkan isyarat-isyarat ini untuk menentukan batas pemberian nafkah kepada anak. Menurut berbagai madzhab, seperti Imam Hanafi dan Maliki, pemberian nafkah kepada anak gugur ketika anak telah dewasa dan sehat. Sedangkan menurut Imam Syafi'i, batasan pemberian nafkah untuk anak laki-laki hingga ia bermimpi (baligh) dan untuk anak perempuan hingga ia haid. Sementara menurut Imam Hanbali, nafkah anak tetap menjadi tanggungan ayah jika sang anak tidak memiliki harta atau pekerjaan. Meskipun demikian, tidak ada kesepakatan yang tegas mengenai batasan pemberian nafkah berdasarkan usia anak.

Kewajiban ayah dalam mencari nafkah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Menurut Undang-Undang Perkawinan, kedua orang tua memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak hingga anak tersebut menikah atau dapat berdiri sendiri, bahkan jika perkawinan antara kedua orang tua putus. Kompilasi Hukum Islam juga mengatur bahwa batasan usia anak yang dapat berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, kecuali jika anak tersebut memiliki cacat fisik atau mental, atau sudah menikah. Dengan demikian, aturan tersebut memberikan pedoman yang lebih jelas mengenai kewajiban nafkah, namun tetap menghormati berbagai pendapat ulama yang mendasarkan ijtihad mereka pada teks-teks agama.

E. Nafkah Anak Pasca Perceraian

Ketika terjadi perceraian, penting untuk memperhatikan tanggung jawab atas biaya nafkah anak yang mencakup semua kebutuhan mereka. Seorang ayah memiliki kewajiban untuk menjamin nafkah bagi anaknya, termasuk aspek kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan lainnya, tanpa terpengaruh oleh perceraian. Artinya, perceraian tidak boleh menghilangkan tanggung jawab ayah untuk menafkahi anak-anaknya hingga mereka dewasa atau mandiri.

Pasal 106 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa orang tua harus merawat dan mengembangkan harta anak yang belum dewasa. Jika orang tua tidak melaksanakan kewajiban ini setelah perceraian, seorang wali dapat mengajukan perwalian untuk merawat anak-anak tersebut hingga dewasa atau mandiri.

Tanggung jawab orang tua terhadap anak tidak berhenti setelah perceraian. Meskipun perkawinan telah berakhir, orang tua tetap memiliki kewajiban untuk mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. Hal ini juga diatur dalam Pasal 149 huruf d Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa bekas suami harus memberikan biaya kepada anak-anaknya yang belum mencapai usia 21 tahun setelah perceraian.

Berdasarkan hukum perdata, kekuasaan orang tua atas anak-anak mereka berakhir ketika anak mencapai usia dewasa atau menikah. Namun, kewajiban untuk menafkahi anak tetap ada, baik selama perkawinan masih berlangsung maupun setelah perceraian.

Dapat disimpulkan bahwa kewajiban orang tua terhadap anak adalah memelihara, mendidik, dan menafkahi mereka dengan sebaik mungkin, yang berlaku hingga anak-anak tersebut tumbuh dewasa atau mandiri. Kewajiban ini tetap berlaku meskipun kedua orang tua telah bercerai.

NAFKAH AYAH KEPADA ANAK PASCA PERCERAIAN DI DESA BINTOYO, KECAMATAN PADAS, KABUPATEN NGAWI

A. Tingkat Percerian di Desa Bintoyo

Tingkat perceraian di Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dari tahun 2019 hingga 2022. Pada tahun 2019, terdapat 19 kasus perceraian, yang kemudian mengalami peningkatan menjadi 25 kasus pada tahun 2020. Peningkatan ini terus berlanjut pada tahun 2021, di mana jumlah kasus perceraian mencapai 26 kasus, menandakan bahwa tren tersebut belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Puncak dari tren peningkatan tersebut terjadi pada tahun 2022, di mana tercatat sebanyak 31 kasus perceraian terjadi dalam satu tahun. Hal ini menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dalam dinamika sosial dan hubungan pernikahan di Desa Bintoyo selama periode yang diamati. Upaya pemahaman dan penanganan terhadap faktor-faktor penyebab perceraian menjadi semakin penting untuk dilakukan guna mengurangi angka perceraian di masa mendatang.

B. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Pasca Perceraian

Berdasarkan hasil penelitian yang melibatkan wawancara dengan ayah-anak yang terdampak perceraian, terdapat beberapa alasan yang diutarakan terkait dengan tanggung jawab ayah dalam memberikan nafkah pasca perceraian.

  • Bapak Sumarno mengungkapkan bahwa jika anak tidak tinggal bersamanya, ia merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada anaknya. Baginya, kedekatan fisik menjadi faktor penentu dalam memenuhi kewajiban tersebut.
  • Bapak Eko menyatakan bahwa karena anaknya tidak dekat dengannya sejak kecil dan hak asuh jatuh kepada ibunya setelah perceraian, ia tidak merasa bertanggung jawab memberi nafkah karena kesulitan ekonomi yang dialaminya. Hubungan yang kurang dekat dengan anak dan keterbatasan ekonomi menjadi alasan utama yang mempengaruhi persepsinya.
  • Bapak Minto memiliki keluarga baru yang tidak mengizinkannya memberikan nafkah kepada anak dari mantan istri, sehingga ia menganggap dirinya tidak bertanggung jawab terhadap nafkah anaknya. Faktor dinamika keluarga baru juga turut memengaruhi persepsinya terhadap kewajiban nafkah.
  • Bapak Teguh, yang mengalami kesulitan ekonomi karena pekerjaan yang tidak tetap, juga merasa tidak mampu bertanggung jawab memberi nafkah kepada anaknya. Faktor ekonomi menjadi hambatan utama dalam pemenuhan kewajiban nafkah bagi Bapak Teguh.
  • Bapak Pras, yang sudah tidak memiliki pekerjaan tetap sejak awal pernikahannya, sekarang tidak memberi nafkah kepada mantan istri dan anaknya setelah perceraian, karena tanggung jawab nafkah diambil alih oleh mantan istrinya. Perubahan dalam dinamika pernikahan dan tanggung jawab nafkah juga dapat mempengaruhi persepsi ayah terhadap kewajiban tersebut.
  • Ibu Sukemi, nenek dari pihak ibu sang anak, menyatakan bahwa hak asuh jatuh kepada ayah karena ibunya bekerja di luar negeri, tetapi biaya kebutuhan anaknya ditanggung oleh ibunya yang bekerja di luar negeri melalui sang ayah. Dinamika keluarga yang kompleks dan faktor keterlibatan anggota keluarga lainnya juga dapat memengaruhi pembagian tanggung jawab nafkah.

Dari hasil wawancara tersebut, terlihat beragamnya alasan yang menyebabkan ayah tidak merasa bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada anak pasca perceraian, mulai dari masalah hubungan dengan anak hingga masalah ekonomi. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang holistik dalam menangani isu kewajiban nafkah pasca perceraian, yang memperhatikan berbagai aspek yang memengaruhi persepsi dan kemampuan ayah dalam memenuhi kewajiban tersebut.


ANALISIS TANGGUNG JAWAB AYAH MEMBERI NAFKAH ANAK PASCAPERCERAIAN DI TINJAU DARI HUKUM ISLAM

A. Analisis Faktor-faktor yang menyebabkan Ayah tidak memberikan nafkah Anak pascaperceraian

Berdasarkan penelitian di Desa Bintoyo, Kecamatan Padas, Kabupaten Ngawi, ditemukan bahwa kewajiban seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada anaknya pasca perceraian adalah penting dan diatur dalam ajaran agama Islam. Namun, dalam beberapa kasus, ayah tidak memenuhi kewajiban ini karena beberapa faktor. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman tentang hak nafkah anak menurut ajaran agama Islam. Banyak ayah yang tidak sepenuhnya mengerti bahwa nafkah anak merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, bukan hanya sebatas anjuran.

Selain itu, kondisi ekonomi yang sulit juga menjadi hambatan signifikan. Beberapa ayah menghadapi kesulitan finansial karena pekerjaan yang tidak tetap atau pendapatan yang rendah. Dalam situasi ekonomi yang tidak stabil, prioritas pemberian nafkah sering kali tergeser oleh kebutuhan pribadi atau keluarga baru. Kondisi ini diperparah jika ayah tersebut memiliki keluarga baru, di mana mereka lebih memilih untuk memberikan nafkah kepada anak dari pernikahan yang baru, meninggalkan tanggung jawab terhadap anak dari pernikahan sebelumnya.

Fenomena ini menunjukkan adanya penyimpangan dalam kewajiban seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada anak pasca perceraian. Penyimpangan ini memerlukan upaya untuk meningkatkan pemahaman agama, kesadaran ekonomi, dan kesadaran akan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak mereka, terlepas dari status perkawinan atau perceraian.

B. Analisa Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ayah yang tidak Memberikan Nafkah Anak pasca Perceraian

Perihal nafkah anak pascaperceraian di Desa Bintoyo, situasi umumnya menunjukkan bahwa anak yang merupakan hasil perkawinan yang sah akan tinggal bersama ibunya. Dalam konteks ini, tanggung jawab memberikan nafkah anak seringkali sepenuhnya ditanggung oleh ibu, meskipun dalam ajaran Islam, tanggung jawab ini seharusnya berada di pundak ayah. Ketidakmampuan atau kelalaian seorang ayah dalam memenuhi kewajiban ini merupakan pelanggaran terhadap ajaran Islam dan dianggap sebagai dosa.

Dalam kehidupan rumah tangga, konflik seringkali timbul dan dapat berujung pada perceraian. Namun, perceraian tidak membebaskan seorang ayah dari tanggung jawab untuk menafkahi anaknya. Hukum Islam yang diatur dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW menegaskan pentingnya memberikan nafkah kepada anak. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal-pasal terkait pemeliharaan anak dan nafkah dijelaskan secara rinci, menekankan bahwa kewajiban nafkah anak tetap berlaku meskipun orang tua telah bercerai.

Sayangnya, realitas di lapangan sering kali berbeda. Banyak ayah tidak memenuhi kewajiban nafkah kepada anaknya setelah perceraian, dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal, seperti argumen bahwa anak ikut ibunya, alasan ekonomi, atau kurangnya pemahaman tentang kewajiban nafkah anak. Beberapa ayah bahkan menggunakan alasan ini sebagai pembenaran untuk menghindari tanggung jawab mereka.

Pandangan para ulama, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Al-Syafi'i, dan Imam Ibn Hanbal, juga sejalan dengan prinsip bahwa kewajiban nafkah kepada anak tetap berlaku selama anak tersebut belum menikah, belum dewasa, dan belum memiliki penghasilan sendiri. Oleh karena itu, seorang ayah harus terus memberikan nafkah hingga anak mencapai kemandirian.

RENCANA SKRIPSI YANG AKAN SAYA TULIS

Rencana judul skripsi yang akan saya tulis adalah "Analisis Hukum Islam terhadap Peran Gender dan Keseimbangan Kekuasaan dalam Keluarga dengan Pendapatan Istri yang Lebih Tinggi". Judul tersebut sesuai dengan tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Metodologi Penelitian yang saya ambil. Memilih judul tersebut memiliki beberapa alasan yang sangat penting.

Pertama, perubahan sosial dan ekonomi dalam beberapa dekade terakhir telah mengakibatkan pergeseran peran gender di banyak keluarga. Semakin banyak perempuan yang berkarir dan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan suami mereka. Fenomena ini menimbulkan tantangan baru dalam struktur dan dinamika keluarga yang sebelumnya belum banyak diteliti dalam konteks hukum Islam. Oleh karena itu, analisis ini diperlukan untuk memahami bagaimana hukum Islam memandang perubahan peran gender ini dan bagaimana pengaruhnya terhadap keseimbangan kekuasaan dalam keluarga.

Kedua, dalam konteks hukum Islam, situasi di mana istri memiliki pendapatan lebih tinggi dari suami menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana prinsip-prinsip tersebut diaplikasikan dalam konteks modern. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pandangan hukum Islam mengenai peran gender dan kekuasaan dalam situasi tersebut, serta memberikan interpretasi yang relevan dengan kondisi zaman sekarang. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya akan memperkaya literatur akademis tetapi juga memberikan panduan praktis bagi keluarga Muslim dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam.

Ketiga, meningkatnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja membawa dampak signifikan tidak hanya pada perekonomian keluarga tetapi juga pada dinamika kekuasaan dalam rumah tangga. Analisis ini berusaha mengeksplorasi bagaimana hukum Islam dapat menyeimbangkan antara pemberdayaan ekonomi perempuan dan keseimbangan kekuasaan dalam keluarga. Hal ini penting karena meskipun Islam memberikan hak-hak yang signifikan kepada perempuan, penerapannya dalam konteks modern sering kali menjadi perdebatan.

Dengan alasan-alasan tersebut, judul ini saya pilih karena relevansinya dengan dinamika sosial-ekonomi kontemporer, pentingnya pemahaman yang lebih dalam mengenai hukum Islam, serta dampak praktis yang signifikan bagi masyarakat Muslim.

PENULIS: 

NUSAIBAH AYU FEBRIANI

NIM. 222121o33

HKI 4A

Fakultas Syariah

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

#hukumperdataislamdiindonesia #muhammadjulijanto

#prodiHKI #fasyauinsaidsurakarta #uinsurakarta2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun