Bapak bingung sekali, nak. Gimana tidak, tiga tahun lamanya setelah kamu masuk kuliah, bapak benar-benar tidak berpenghasilan. Hidup susah bersama ibukmu dirumah. Jangankan untuk memberimu uang saku, untuk makan pun sudah beruntung. Tapi, alhamdulillah.. kamu dapat beasiswa dari sekolah. Jujur, nak.. kami bangga sekali.
Ibukmu jatuh sakit kemarin. Itulah puncak ke-stressan bapak. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan bapak bertahan merawat ibuk. Mencari kerja serabutan. Seringkali meninggalkan rumah, meninggalkan ibukmu sendiri. Itu karena bapak harus mencari kerja, memberi makan ibuk.
Ya.. bapak harus bagaimana lagi, nak? Apakah bapak harus diam dirumah, membiarkan ibuk tidak makan? Tidak. Terpaksa bapak harus pergi bekerja. Mencari uang untuk membeli obat.
Tapi bapak tahu. Itu semua kesalahan bapak. Ibuk tidak membiarkan bapak untuk memberi tahumu. Kamu wajar marah, itu hak-mu. Menyalahkan bapak atas meninggalnya ibuk, itu juga hak-mu.
Tapi, bapak mohon untuk yang terakhir kalinya. Maafkan bapak. Maafkan kelalaian bapak.
Bapak
Air mata bagai hujan petir yang bergemuruh ditubuhku, tak henti dan tak kuat untuk menahannya. Melunturkan tinta hitam di kertas.
Lengang.
Buk.. Sekarang aku benar-benar sendiri. Tak tahu, kemana lagi diri ini akan mengadu sesak.
Baca kisah sebelumnya : Panggilan Terakhir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H