Masih ingat kah anda pada kebahagian di masa-masa balita? Sangat menenangkan hati ketika kita flashback ke masa-masa tidak ada rasa stress, aktivitas hanya main, belajar baca tulis, makan, lalu kembali tidur. Bukankah akan lebih indah jika anda dapat menyulap hal-hal tersebut kembali terjadi di masa dewasa seakan-akan menghilangkan usia dewasa dalam hidup anda? Â Wah, tentu sangat mengerikan jika semua itu benar-benar terjadi.Â
Kemampuan baca tulis tentu sangat penting bagi semua orang khususnya bagi generasi saat ini. Tetapi apakah anda tahu diluar sana ada banyak orang-orang dewasa yang masih belum memahami betul cara menulis bahkan belum bisa membaca dengan benar.Â
Ya, orang-orang itu memang ada, dan kekurangan mereka inilah yang biasa disebut dengan buta aksara. Buta huruf/ buta aksara merupakan ketidakmampuan seseorang dalam baca tulis. Yang dimaksud dalam dapat baca tulis adalah dapat membaca dan mengerti kalimat; termasuk kalimat sederhana, juga huruf braile.Â
Ketidakmampuan yang disebut demikianawalnya terjadi pada masa penjajahan, karena pada saat itu para penjajah sengaja membiarkan rakyat Indonesia tidak berpendidikan dan terbelakang, bahkan mereka hanya menyekolahkan rakyat yang memiliki keturunan ningrat agar rakyat Indonesia lainnya tidak memiliki sedikitpun kesempatan untuk mencicipi dunia pendidikan.Â
Dan hal ini merupakan kerugian yang sangat besar bagi rakyat kita karena waktu demi waktu, penjajah makin menindas kebutuhan pokok maupun kebutuhan pendidikan rakyat Indonesia pada zamannya. Tapi bagaimana dengan penyebab buta aksara di zaman millennial ini?
Belum semua masyarakat daerah di Negara kita bebas dari buta huruf. Apakah anda percaya saat ini, ternyata jumlah angka buta aksara masih tersebar di beberapa provinsi, yaitu; Â Nusa Tenggara Barat (7,91%), Nusa Tenggara Timur (5,15%), Sulawesi Barat (4,58%), Kalimantan Barat (4,50%), Sulawesi Selatan (4,49%), Bali (3,57%), Jawa Timur (3,47%), Kalimantan Utara (2,90%), Sulawesi Tenggara (2,74%), Jawa Tengah (2,20%), tidak lupa yang terahir dan yang paling melunjak presentasenya, yakni Papua (28,75%). Jika dilihat dari perbedaan gender, tampak bahwa perempuan memiliki angka buta aksara lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki dengan jumlah, yakni 1.157.703 orang laki-laki, dan perempuan 2.258.990 orang.
Jadi, apa anda sudah menemukan jawaban mengapa pada zaman generasi micin ini masih banyak masyarakat yang masih mengalami buta aksara? Salah satu penyebabnya yaitu banyak orang-orang di daerah tersebut hanya dapat berbahasa daerah dan tidak mengerti bahasa Indonesia, bahkan mereka tidak diberikan sekolah atau tempat pendidikan yang lebih layak.Â
Mereka tentu memerlukan telepon, internet, dan teknologi lainnya agar mereka bisa tau lebih tentang kehidupan diluar daerah mereka. Yang kedua, masalah pada perkembangan zaman dan teknologi. Mayoritas dari orang yang memiliki ketidakmampuan ini merupakan generasi berusia lanjut yang hidup tanpa kenal dengan yang namanya teknologi.Â
Pada era ini, telah banyak materi pendidikan yang dipublikasikan lewat dunia cyber; e-book, platform online learning seperti quipper, ruangguru, zenius dan masih banyak lagi platform bimbingan belajar yang sangat bermanfaat untuk memberdayakan tingkat pendidikan generasi ini.Â
Alasan selanjutnya yaitu beratnya kondisi geografis Indonesia. Tidak hanya mindset, kondisi geofrafis negara kita ini juga memberikan pengaruh besar dalam banyak hal khususnya keadaan penduduk Indonesia; pekerjaan, pola pemukiman, juga termasuk perdagangan.Â
Tapi bagaimana dengan masyarakat yang tingkat ekonominya dibawah rata-rata? Mayoritas dari mereka pasti setidaknya memilii mindset atau pernah berfikiran untuk tidak memasuki dunia pendidikan. Â dibarengi dengan anggapan mereka bahwa pendidikan hanya akan membuang waktu dan uang, mereka lebih baik bekerja untuk membiayai kebutuhan pokok sehari-hari dibandingkan menginvestasikan ilmu yang berguna dalam dunia pekerjaan yang akan diinjaknya nanti.Â
Ini adalah sasaran yang paling krusial karena, efek penting nya adalah bukan hanya membuat mereka bisa baca tulis, tetapi juga mengasah kemampuannya sehingga terbentuk individu-individu yang produktif dan karakter yang lebih dewasa. Belajar membaca pun dapat membentuk karakter diri. Maka dari itu, sangat disarankan untuk banyak-banyak membaca buku agar mampu mengenal masalah dari berbagai macam sudut pandang.Â
Â
Hari Peringatannya
Sesuai dengan nama ketidakmampuannya, hal ini memiliki hari peringatannya tersendiri lho! Untuk merealisasikan apa yang dikatakan pemerintah, peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ke-53 di laksanakan oleh Kemendikbud pada tanggal 8 September 2018 berdasarkan gagasn UNESCO ditanggal 8-19 september 1965. Kegiatan ini berlangsung 4 hari dari tanggal 6-9 September 2018.Â
Tema internasional yang diadakan oleh UNESCO kali ini adalah "Literacy and Skills Development". Tema ini mendapatkan inspirasi dari komitmen dalam meningkatkan kualitas pendidikan aksara sebagai basis dari gerakan memberdayakan masyarakat, bukan hanya sekedar mengurangi presentase jumlah masyarakat yang masih buta aksara, melaikan juga untuk mengembangkan keaksaraan dalam arti lebih luas. Dan kegiatan ini dilaksanakan di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.Â
Disamping itu, Kabupaten Deli Serdang ternyata telah banyak meraih prestasi-prestasi di bidang pendidikan keaksaraan dan kesetaraan; Penghargaan Pengentasan Buta Aksara Nasional di Kabupaten Kerawang, Penerima Anugerah Aksara Tingkat Madya tahun 2015, dan Terbaik I Komitmen Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) tahun 2018.Â
Deli Serdang juga pernah meraih juara terbaik nasional instruktur TK pada tahun 2018. Selain memiliki prestasi dan komitmen, kabupaten ini sendiri juga memiliki sisa penduduk buta aksara hanya 0,07%. Â rangkaian acaranya akan awali dengan Festival Literasi Indonesia, Pameran Pendidikan dan Kebudayaan, simposium pendidikan kesetaraan, temu evaluasi program keaksaraan dan kesetaraan, workshop pengembangan pendidikan keaksaraan pada komunitas adat hingga pemberian anugerah aksara.
 Rangkaian Acara
Rangkaian acara peringatan ini diawali dari Festival Literasi Indonesia, Pameran Pendidikan dan Kebudayaan, simposium pendidikan kesetaraan, temu evaluasi program keaksaraan dan kesetaraan, workshop pengembangan pendidikan keaksaraan pada komunitas adat, pemberian anugerah aksara, pemberian penghargaan TBM Kreatif-Rekreatif, dan pemberian penghargaan pemenang lomba keberaksaraan, SPNF Berprestasi dan Perempuan Berprestasi.
Dihari ke-3, Firman Hardiansah selaku Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) membaca delapan rekomedasi; yang pertama, Menyesuaikan istilah "International Literacy Day" yang merupakan gagasan dari UNESCO yang diperingati pertahun pada tanggal 8 september dari "Hari Aksara Internasional" diubah menjadi "Hari Literasi Internasional".Â
Beliau juga mengumumkan bahwa Kemendikbud akan mempertahankan peningkatan program-program literasi yang telah dilaksanakan Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas Bersama Forum TBM; Gerakan Indonesia Membaca, Kampung Literasi, Residensi bagi pengelola TBM dan peggiat Literasi. Ia juga akan meningkatkan jumlah lokasi dan jumlah peserta residensi bagi pengelola TBM dan penggiat literasi untuk usaha peningkatan kapasitas dan pertukaran inspirasi dengan sesame pengelola TBM dan penggiat literasi.Â
Dibacakan juga bahwa Kemendikbud akan mengangkat aturan yang berhubungan dengan TBM dengan perumpamaan paying hokum dalam peningkatan perkembangan gerapa literasi di negara ini. Juga mewajibkan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di setiap provinsi dalam rangka penyelenggaraan kegiatan Festival Literasi di daerah dengan Forum TBM dan penggiat Letirasi pertahunnya. Juga memberikan penghargaan kepada kepala desa/kabupaten yang merupakan pihak dari perkembangan gerakan literasi pada daerahnya masing-masing.Â
Hal-hal ini disebutkan untuk memberi pengaruh dorongan dalam menciptakan ide-ide perkembangan gerakan literasi melalui kompetisi maupun kreasi, juga agar dapat mendorong adanya kolaborasi dari Gerakan Literasi Sekolah, Gerakan Literasi Keluarga dan Gerakan Literasi Masyarakat dengan tujuan melihat jenis keterampilan keaksaraan yang dibutuhkan dalam menavigasi masyarakat dan mengeksplorasi kebijakan keaksaraan yang efektif.Â
Tidak hanya Firman, Harris Iskandar selaku Dirjen telah mengatakan Peringatan HAI yang dirayakan seluruh warga dunia merupakan kesempatan bagi pemerintah dan seluruh masyarakat untuk menyoroti peningkatan tingkat melek huruf di dunia, dan merenungkan tantangan keaksaraan yang tersisa di dunia.Â
Ia juga menyimpulkan bahwa Kemendikbud telah meurumuskan upaya penuntasan buta aksara dengan memperioritaskan dalam hal; daerah-daerah merah (kabupaten/kota yang memiliki presentase buta aksara diatas 4%), Komunitas adat terpencil/khusus, juga daerah tertinggal, terdepan dan terluar (daerah 3T). Meningkatnya kapasitas juga kompetisi tutor pendidikan keaksaraan, memberikan layanan program melalui aplikasi daring sibopaksara.kemdikbud.go.id.Â
Pada akhir sambutannya, Kemendikbud melanturkan ucapan terima kasih kepada jajaran Pemerintah Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang yang telah bersedia menjadi tuan rumah dalam merayakan puncak peringatan Hari Aksara Indonesia (HAI) ke-53 tahun 2018.Â
Â
Literasi Budaya
Istilah literasi berakar kepada bahasan latin yang disebut sebagai Literatus yang artinya adalah orang yang belajar. Kemudian muncul banyak istilah baru yang bermunculan dari berbagai macam organisasi humanis seperti National Institute for Literacy yang lanjut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan literasi tersebut adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, dan memecahkan persoalan pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam kehidupan sosial di lingkungan pekerjaan, keluarga, dan masyarakat.
 Lebih lanjut lagi, UNESCO menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan literasi adalah seperangkat keterampilan yang nyata, khususnya keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks dimana keterampilan yang dimaksud diperoleh, dari mana keterampilan tersebut diperoleh, dan dengan cara apa keterampilan tersebut diperoleh.Â
Pemahaman seseorang mengenai literasi ini banyak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti kompetensi masing masing individu pada bidang akademik, konteks kenegaraan, serta nilai nilai budaya yang diadopsi masyarakat, serta pengalaman pada masing masing individu yang terkait.
Telah banyak juga klasifikasi dan jenis literasi yang tercipta, seperti contoh dibawah ini:
1. Literasi Kesehatan, yang merupakan kemampuan untuk memperoleh, mengolah serta memahami informasi dasar mengenai kesehatan,
2. Literasi Finansial, yaitu kemampuan dalam pembuatan penilaian terhadap informasi serta keputusan yang efektif pada penggunaan dan pengelolaan uang,
3. Literasi Digital, yang merupakan kemampuan teknis untuk menjalankan computer dan internet juga ditambah kemampuan berpikir kritis dan melakukan evaluasi pada media digital,
4. Literasi Data, yang merupakan kemampuan untuk mendapatkan informasi dari data dan lebih lanjut untuk memahami kompleksitas pada pengelolaan data,
5. Literasi Informasi, yang merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang di dalam mengenali kapankah suatu informasi diperlukan dan kemampuan untuk menemukan serta mengevaluasi, kemudian menggunakannya secara efektif dan mampu mengkomunikasikannya kedalam format yang mudah dipahami.
Dan masih banyak lagi jenis, klasifikasi, serta definisi yang bermunculan dalam topik Literasi Budaya.Â
Bangga berbahasa Indonesia
Kebanggaan dalam berbahasa Indonesia merupakan salah satu kunci yang sangat berpengaruh bagi berseminya kembali pemakaian Bahasa Indonesia. Sudah banyak gerakan yang dilaksanakan demi mengembalikan kedudukan sastra Indonesia di generasi kita.Â
Event seperti Kongres Bahasa Indonesia yang baru saja dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 2018 adalah salah satunya. Najwa Shihab selaku Duta Baca Indonesia, Direktur Jendral Kebudayaan Bapak Hilmar Farid, serta Peneroka Bahasa Indonesia Daring Ivan Lanin, dan Wakil Ketua Ombudsman La Ode Ida hadir dalam gelar wicara tersebut. Acara yang memiliki tujuan untuk memajukan bangsa Indonesia melalui bahasa dan sastra Indonesia ini menjadi salah satu pilar kebudayaan yang semakin lama terlupakan.Â
Identitas bangsa Indonesia yang dibangun melalui keberagaman dan diversitas yang padat seharusnya menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kaya akan budayanya dan tak lupa juga kaya akan peninggalan sejarahnya. Maka dari itu, berlandaskan kasus yang telah dipaparkan diatas, Kemendikbud mengggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Keunggulan daripada gerakan tersebut adalah keragaman penggeraknya.Â
Tidak didominasi oleh jajaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, melainkan banyak penggiat yang dating dari banyak berbagai latar belakang seperti pegiat literasi, akademisi, organisasi profesi, dunia usaha, dan kementrian atau lembaga terkait.Â
Dengan kegiatan GLN ini, pemerintah berharap meningkatnya jumlah pelatihan tentang literasi budaya dan kewargaan untuk jajaran staf dan akademisi di institusi-institusi pendidikan di Indonesia, juga meningaktnya intensitas penggunaan dan aplikasi literasi budaya dan kewargaan dalam pembelajaran yang pada akhirnya dapat melahirkan pembelajar yang mawas dan bangga berbahasa Indonesia.Â
Pada masyarakat sendiri, diharapkan adanya peningkatan kesadaran dan pemahaman akan nilai nilai budaya bangsa Indonesia. Selain adalah merupakan hak dan kewajiban sebagai warga negara, GLN juga ingin menopang perkembangan generasi muda menghadapi era global yang semakin menuntut kemawasan serta kedewasaan beraksara.Â
Kemendikbud telah mencanangkan dengan dilaksanakannya GLN ini akan meningkatkan medium belajar bahasa Indonesia di banyak segmen masyarakat. Salah satunya adalah dengan memperbaiki akses bahan bacaan di perpustakaan komunitas terdekat masyarakat, karena dengan meningkatnya tingkat membaca dan minat baca masyarakat akan menjadi fondasi bagi pembelajaran yang berkelanjutan.Â
GLN juga akan memaksimalkan fungsi media digital seperti internet, televise, dan medium lainnya untuk mendukung gerakan dengan pembatasan sesuai dengan yang telah disepakati oleh masyarakat. Yang tidak kalah pentingnya dengan rincian gerakan dari Kemendibud ini adalah akan dibiasakannya kunjungan dari masyarakat menuju tempat bersejarah dan tempat yang bernilai budaya lokal pada hari libur.Â
Selain dibutuhkannya keterlibatan pemerintah dalam gerakan ini, pemerintah sendiri juga berharap keterlibatannya orang tua untuk memaksimalkan fungsi program program pemerintah. Di sekolah contohnya, orang tua murid dapat memakai fasilitas yang ada dengan bantuan staf dan akademisi sekolah untuk mengadakan acara acara atau juga festival yang berdampak positif pada literasi budaya dan seni Indonesia.Â
Literasi budaya merupakan salah satu pilar yang semakin pudar di era modern dan globalisasi ini. Kontrasnya, kebutuhan akan literasi budaya semakin dibutuhkan demi membangun bangsa yang beridentitas kokoh dan berpengetahuan luas. Pengenalan, penerapan, dan peningkatan terhadap kemampuan literasi budaya harus dilakukan secara berkelanjutan untuk tercapainya Indonesia yang lebih mawas dan bangga beraksara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H