Ruang yang terang benderang terasa gelap, pengap dan sempit dimata Rembulan. Kembang desa itu merasa tak berdaya. Ia harus lepas dari semua ini. Ia melihat kesekeliling kamarnya dan mata sendunya membentur sebuah jendela. Ya .. jendela.. Inilah saatnya.  Â
     Diruangan yang lain mak Seruni tengah mepersiapkan segala kebutuhan suaminya. Pakaian, sepatu, aksesoris dan segala perlengkapan yang akan membuatnya terlihat gagah. Besok pagi adalah hari penting baginya dan segala sesuatunya harus dipersiapkan terlebih dahulu agar tidak mengundang malu.
     "sudah dipersiapkan semuanya?"
"iya sudah, tinggal mencocokkan saja antara pakaian saat resepsi pagi sore dan malam    hari".
"ya.. bagus kalau begitu.. jangan sampai acara bahagia ini akan berbuntut memalukan jika tidak dipersiapkan semuanya dengan baik".
     Mak Seruni hanya melihat gelagat suaminya tersebut dengan mata sendu akan tetapi berusaha untuk tegar.
     Disisi lain, Rembulan telah berhasil melompati jendela kamarnya. Hamparan hutan bakau membentang dihadapnya. Langit malampun seakan turut mewakili kesedihan Rembulan, titik-titik lembut mulai membelai rambut ikal mayangnya yang terlihat tak lagi terurus. Ia pun lari menembus pekat malam dan rimbun tumbuhan bakau. Menuju ke bukit karang.
"jika aku tidak ada pasti emak akan bahagia hidup bersama bapak, aku bukan   emak...emak bukan aku...aku adalah aku...aku adalah akuuUUU !!" suara Rembulan tertelan debur ombak yang menghantam bukit karang tepi laut. Ia telah berdiri disana.
"Rembulan....!!! sedang apa kau disini??"
Terdengar suara laki-laki yang ia kenal. Rembulan menengok dengan mata nanar yang menyimpan sejuta amarah.
     "Bayu?? Dari mana saja kau?? Mengapa kau baru datang ketika semuanya telah terjadi?? Mengapa tidak dari dulu kau ajak aku pergi bersamamu?? Mengapa??"