Di daerah Tounsaru, Tondano Selatan, Sulawesi Utara tanpa dinyana saya bertemu dan ngobrol dengan sejumlah penjabat tinggi Provinsi Sulawesi Utara di kediaman pribadi Gubernur Sulut Olly Dondokambey pada Selasa (24/9) malam.Â
Agenda saya datang ke Manado, Sulut yang ditemani Wartawan Senior J. Osdar dan dua tim lain sebenarnya ingin kembali menindaklanjuti rencana program kerjasama Kompasiana dengan Prov. Sulut setelah pada pertemuan pertama di kawasan perumahan Pondok Indah, Jakarta Pak Olly secara prinsip menyetujui program yang akan digagas Kompasiana.
Kami tiba di Bandara Sam Ratulangi, Kota Manado pada Selasa (24/9) pagi sekitar pukul 07.00 WITA setelah menempuh waktu penerbangan dari Jakarta selama hampir 3 jam 30 menit. Melakukan perjalanan udara di tengah malam memang enak dan kondusif, kemungkinan pesawat delay sangat kecil, apalagi selama di perjalanan bisa dimanfaatkan untuk tidur.
Tapi, sialnya selama di atas pesawat saya tidak bisa tidur, entah kenapa?! Alhasil, begitu sampai di Kota Manado terasa kelelahan dan mengantuk. Mas Osdar, yang membawa kami ke Manado untuk bertemu Pak Olly menawarkan untuk langsung menuju hotel agar bisa istirahat sejenak.
"Wah, lumayan nih bisa tidur sebentar," pikir saya.
"Nanti jam dua siang, kita langsung berangkat ke rumah Pak Olly di Kolongan, ya?," kata Mas Osdar saat tiba di hotel, sebelum kami memasuki kamar masing-masing.
Setelah istirahat di hotel, kami bergegas ke rumah pribadi Pak Olly di Kolongan, Maumbi, Minahasa Utara. Kebetulan saat kami datang, Pak Olly sedang menjamu para pendeta dan setelahnya harus pergi menuju ke Amurang, Minahasa Selatan untuk menghadiri peresmian Hunian Tetap (HuTap) masyarakat yang terdampak abrasi pantai di Amurang Barat.
Dari informasi yang saya dapat, Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw menghibahkan tanah miliknya untuk dijadikan hunia tetap tersebut.
Kami pun tidak jadi bertemu saat itu. Mas Osdar menyarankan untuk ke daerah Mangatasik, karena menurut informasi yang diterimanya, setelah acara peresmian itu, Pak Olly mampir ke resort milik keluarga yang ada di pesisir pantai Mangatasik, Minahasa.
Jarak tempuh dari Kolongan, Maumbi ke daerah Mangatasik sekitar 1 jam 30 menit dengan jarak hampir 40 km jika melalui jalan Trans Sulawesi. Tetapi, karena kami memilih melalui jalan Tomohon-Tondano waktu tempuh menjadi lebih lama. Untung saja perjalanan tidak membosankan karena kami disuguhkan pemandangan yang sangat indah dan sejuk selayaknya Jalan Raya Puncak di Jawa Barat.
Kami juga melintasi area makam Tuanku Imam Bonjol yang dimakamkan di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa. Pahlawan Nasional Imam Bonjol meninggal di Minahasa pada tahun 1884 setelah diasingkan Belanda pascaperang Padri di Sumatera Barat.
Sebelum turun ke daerah Mangatasik, saya sempatkan mampir ke SMA Lokon St. Nikolaus untuk menjemput Kompasianer Tri Lokon untuk ikut bersama kami ke Mangatasik. Pak Tri, panggilan Kompasianer Tri Lokon bekerja di SMA tersebut sebagai Manager HRD. Saya janjian dengannya sesaat sebelum berangkat dari Kolongan agar mau ikut dengan rombongan kami menemui gubernur.
Setelah dari SMA Lokon, untuk menuju ke Mangatasik kami melewati kawasan Desa Woloan, Tomohon Barat. Sepanjang jalan desa ini cukup unik karena terdapat deretan rumah panggung dengan berbagai ukuran. Terlihat masih baru tapi tidak berpenghuni.
Ternyata, rumah-rumah tersebut adalah etalase dagangan. Ya, rumah panggung yang dijajarkan di sepanjang Desa Woloan itu untuk dijual.
Kami sempatkan untuk turun dari kendaraan dan berbincang dengan salah satu penjual. Ukuran rumah sangat bervariasi dengan fasilitas yang berbeda juga.
Ada yang memiliki 4 kamar tidur, ada pula yang hanya terdapat dua kamar tidur. Untuk harga pun bervariasi. Untuk rumah dua lantai dengan 4-5 kamar tidur dibandrol mulai dari 350-375 juta sudah termasuk biaya kirim ke Jakarta. Ya, rumah yang berbahan dasar kayu ini bisa dibongkar-pasang (knock down).
Masyarakat Desa Woloan, Tomohon ini dikenal sebagai perajin rumah panggung khas Suku Minahasa. Menurut sejarah, pada tahun 1850 WR Van Hoevell, seorang peneliti dari Belanda mencatatkan adanya perubahan pada rumah adat yang digunakan Suku Minahasa yang mulanya membangun rumah dengan teknik ikat atau menempel pada pohon, lalu berubah menjadi rumah panggung yang eksis hingga sekarang.
Penjualan rumah panggung ini sudah tersebar ke beberapa negara. Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulut pada tahun 2020, rumah panggung dari Desa Woloan ini sudah dijual ke lebih dari 30 negara di Asia, Australia, Eropa hingga Amerika.Â
Kami pun melanjutkan perjalanan ke Mangatasik, namun sesaat sebelum sampai di Mangatasik, tiba-tiba mobil yang ditumpangi Mas Osdar putar-balik. Saya yang menumpang di kendaraan lainnya pun ikut mobil yang ditumpanginya.
"Lho, kok putar balik ya? padahal sudah mau sampai," kata Ardi, pengemudi mobil yang saya tumpangi.
"Mas Os, kenapa putar balik?," tanya saya ke Mas Osdar via whatsapp.
"Kita ke Tounsaru, Pak Olly gak jadi ke Mangatasik," jawabnya.
Ternyata karena ada perubahan agenda gubernur, kami akhirnya harus ke daerah Tounsaru yang artinya harus kembali menyusuri jalan yang sama namun ke arah sebaliknya.Â
Menurut Kompasianer Pak Tri Lokon yang semobil dengan saya, ia justru senang karena dekat dengan tempat tinggalnya yang berada di kompleks SMA Lokon.Â
"Aman, kalo gitu ya lebih enak pulang malam pun gak masalah," kata saya.
Setelah satu jam lebih perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah pribadi Pak Olly di Tounsaru. Teh hangat dan kue onde yang ditaburi kelapa parut langsung menemani kami sembari menunggu rombongan gubernur tiba yang katanya masih on the way dari Amurang. Setelah menunggu hampir 20 menit, akhirnya mereka tiba.Â
Ternyata gubernur tidak sendirian. Mereka masih didampingi oleh para pejabat pemprov. Di antara pejabat tersebut, hadir Wagub Steven Kandouw bersama Letjen TNI (Purn) Denny Tuedjeh yang akan mengikuti kontestasi politik, Pilkada 2024 sebagai calon wakil gubernur Prov. Sulut. Jendral TNI bintang tiga tersebut akan mendampingi Pak Steven yang maju sebagai calon gubernur. Nampak juga sejumlah bupati dan walikota di Prov. Sulut.
Suhu Tondano yang sejuk dan cenderung dingin karena habis diguyur hujan malam itu menjadi hangat ketika kami dihidangkan Coto Makassar yang ternyata lebih enak dibandingkan pengalaman saya ketika beberapa kali mencecap Coto Makassar langsung di Kota Angin Mamiri tersebut.
"Santai saja, Mas di sini kami sangat egaliter," kata Pak Steven spontan yang memecah kesunyian dan membuka obrolan menjadi sangat kasual.Â
Pak Olly yang duduk tepat di samping saya bercerita tentang kebiasaannya mengonsumsi porang sebagai pengganti nasi. Pun, Wagub Steven yang seringkali mengundang tawa dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos.
"Ini nasi porang, saya sudah lama makan ini," kata Pak Olly sembari memamerkan isi wadah yang berisi nasi porang tersebut.
Nasi Porang ini, katanya lagi, rasanya hambar tetapi lebih sehat dengan kadar gula yang sangat rendah.
Impresi pertama saya tentang Pak Olly dan Pak Steven adalah orang yang ramah. Mereka memperlakukan kami dengan sangat baik dan berusaha menghibur dengan guyonan khas.
Mereka juga bercerita terkait pencalonan Pak Steven dan Pak Denny Tuedjeh yang baru saja mendapatkan nomor urut 3 di Pilgub Sulut 2024. Pasangan ini mendapatkan dukungan penuh dari Pak Olly karena dianggap paslon yang paling paham dan berpengalaman serta tahu kemana arah pembangunan Sulut selanjutnya.
Obrolan kami yang berlangsung hampir satu jam itu harus diakhiri karena Pak Olly dan jajarannya harus menghadiri rapat yang cukup mendadak, padahal waktu sudah menunjukkan hampir jam 21.00 waktu setempat.Â
"Gak ada capeknya ya?!," pikir saya hehe....
Kami pun kembali ke hotel di Kota Manado.
Di hari berikutnya, saya dan Mas Osdar berniat untuk membuat rekaman video untuk mewawancarai Pak Olly di kediamannya di Kolongan. Makanya, sejak pagi hari sudah siap berangkat ke Kolongan.
Tiba pukul 09.00 di Kolongan, kami langsung diajak sarapan oleh Pak Olly dengan hidangan Tinutuan hangat atau Bubur Manado yang ditaburi bawang goreng beserta menu pelengkap lainnya, seperti tahu dan ikan goreng.Â
Tidak lupa buah semangka merah tanpa biji sebagai pencuci mulut.
"Ayo dicoba, ini tanam sendiri, tanpa biji dan manis," Kata Pak Olly seraya menawarkan semangka yang baru dikeluarkan dari lemari pendingin.
Di rumah pribadinya di Kolongan ini, Pak Olly senang berkebun. Salah satunya adalah kebun semangka yang dalam sekali panen bisa berton-ton beratnya. Hasil panen itu lalu dijual di bawah harga pasar ke masyarakat atau diberikan kepada para kerabat atau tamu yang menginginkannya.
Rencana wawancara Pak Olly harus tertunda karena beliau harus menghadiri acara dengan para pendeta di daerah pesisir Pantai Mangatasik.Â
"Nanti sore saja (wawancaranya), ya di Mangatasik atau besok jam 6 pagi di kebun sembari ngupas Kopra," kata Pak Olly.
"Wah, boleh Pak sembari jalan-jalan di kebun," jawab saya.
Mas Osdar pun menawarkan untuk ikut Pak Olly ke Mangatasik untuk melihat keindahan pantai dan pemandangan alam di sana.
"Siap, Mas Os," angguk saya.
Sesampainya di Mangatasik, saya sempatkan berkeliling kawasan pantai dan resort yang dimiliki oleh keluarga Pak Olly.
Kawasan pantai Mangatasik ini digadang-gadang memiliki taman bawah laut yang tidak kalah dengan pesona wisata Bunaken yang sudah lebih dulu populer dan dikenal luas secara nasional maupun mancanegara.
Kembali ke rencana wawancara, saya mendesak Mas Osdar untuk bilang ke Pak Olly agar wawancara dapat dilakukan sore ini setelah acara dengan para pendeta selesai.Â
Sebelumnya, Mas Osdar menyarankan untuk mewawancarai Pak Olly esok harinya saja di Kolongan sembari berkeliling kebun. Tapi, pikir saya waktu itu, daripada menunggu agenda besok pagi yang berpotensi kembali gagal, saya mendesak agar Pak Olly mau meluangkan waktunya sekitar 10-15 menit saja sore hari itu.
Alhamdulillah, Pak Olly manut-manut saja. Hehehe....
Saya pun berhasil mewawancarai Pak Olly dengan tema obrolan pencapaian Prov. Sulut dalam 8 tahun terakhir di bawah kepemimpinan Gubernur Olly dan Wagub Steven dan arah dukungan Pak Olly yang kurang dari 100 hari lagi akan melepaskan jabatan sebagai Gubernur Sulut setelah dua periode menjabat bersama Wagub Steven sebagai wakilnya.
Secara prinsip, dalam wawancara tersebut, Pak Olly mendukung Wagub Steven dalam pencalonan tahun ini yang berpasangan dengan Pak Denny Tuedjeh. Hasil wawancara lengkap sudah saya tulisan dalam artikel yang berujdul "Kepala yang Sakit, Pinggang yang Disuntik".Â
Memasuki hari ketiga keberadaan saya di Manado, saya manfaatkan untuk kembali ngobrol dengan Pak Olly. Kali ini sedikit berbeda suasana karena obrolan dilakukan di pagi hari sekitar pukul 07.00 sembari keliling kebun dan mengupas daging kelapa (kopra) di perkebunan di rumah pribadinya di Kolongan, Minahasa Utara.
Hampir setiap pagi, sebelum beraktivitas, Pak Olly memiliki kebiasaan berkeliling kebun dan mengupas kopra di kebunnya yang sangat luas yang areanya lebih besar dibandingkan dengan komplek olahraga Gelora Bung Karno di Jakarta seperti yang dikatakan salah satu staf gubernur.
Selain terdapat perkebunan kelapa, di area ini juga terdapat sekelompok rusa, sapi hingga beberapa ekor kuda poni yang didatangkan langsung dari Belanda.
Saat berkeliling, kami diajak untuk melihat perkebunan Vanili dan kolam mata air yang berada di area perkebunan tersebut sebelum kami singgah di sebuah rumah kecil yang berisikan kelapa yang sudah dikeringkan.
Di tempat itulah, kami ngobrol banyak soal potensi hortikultura atau hasil perkebunan di Provinsi Sulut. Kopra, cengkeh dan pala adalah komoditas yang paling banyak di Sulut ini. Bahkan, di wilayah Minahasa Utara sejak sepuluh tahun terakhir ramai dengan aktivitas penambangan emas.Â
Beberapa perusahaan tambang emas hingga warga memanfaatkan potensi alam ini dengan caranya masing-masing.
Namun, bagi Pak Olly sendiri, "emas" kelapa atau kopra yang menjadi komoditas terbesar di Sulut lebih berharga karena dapat diwariskan untuk anak cucu.
"Lebih bagus "emas" kelapa dibandingkan emas di bawah tanah ini, karena bisa kita wariskan untuk anak-cucu, sementara penambangan ini merusak," katanya sembari mengupas daging kelapa yang sudah diasap sela 2 hari tersebut.
Cerita potensi hasil alam di Sulut ini sudah saya dokumentasikan sebelumnya di Kompasiana dengan judul "Kopra, Emas dan Warisan untuk Anak Cucu".
Perjalanan saya di Sulut selama tiga hari atau tepatnya selama 58 jam ini meninggalkan kesan mendalam. Wilayah yang kaya dengan potensi alam dan hasil bumi ini dikelola dengan sangat baik oleh pemerintahnya dan dijaga dengan bijaksana oleh masyarakatnya yang juga dikenal sangat ramah dan egaliter.
"Torang Samua Ciptaan Tuhan", begitu prinsip yang dipegang teguh masyarakat dan pemimpin Bumi Nyiur Melambai ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H