Kami juga melintasi area makam Tuanku Imam Bonjol yang dimakamkan di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa. Pahlawan Nasional Imam Bonjol meninggal di Minahasa pada tahun 1884 setelah diasingkan Belanda pascaperang Padri di Sumatera Barat.
Sebelum turun ke daerah Mangatasik, saya sempatkan mampir ke SMA Lokon St. Nikolaus untuk menjemput Kompasianer Tri Lokon untuk ikut bersama kami ke Mangatasik. Pak Tri, panggilan Kompasianer Tri Lokon bekerja di SMA tersebut sebagai Manager HRD. Saya janjian dengannya sesaat sebelum berangkat dari Kolongan agar mau ikut dengan rombongan kami menemui gubernur.
Setelah dari SMA Lokon, untuk menuju ke Mangatasik kami melewati kawasan Desa Woloan, Tomohon Barat. Sepanjang jalan desa ini cukup unik karena terdapat deretan rumah panggung dengan berbagai ukuran. Terlihat masih baru tapi tidak berpenghuni.
Ternyata, rumah-rumah tersebut adalah etalase dagangan. Ya, rumah panggung yang dijajarkan di sepanjang Desa Woloan itu untuk dijual.
Kami sempatkan untuk turun dari kendaraan dan berbincang dengan salah satu penjual. Ukuran rumah sangat bervariasi dengan fasilitas yang berbeda juga.
Ada yang memiliki 4 kamar tidur, ada pula yang hanya terdapat dua kamar tidur. Untuk harga pun bervariasi. Untuk rumah dua lantai dengan 4-5 kamar tidur dibandrol mulai dari 350-375 juta sudah termasuk biaya kirim ke Jakarta. Ya, rumah yang berbahan dasar kayu ini bisa dibongkar-pasang (knock down).
Masyarakat Desa Woloan, Tomohon ini dikenal sebagai perajin rumah panggung khas Suku Minahasa. Menurut sejarah, pada tahun 1850 WR Van Hoevell, seorang peneliti dari Belanda mencatatkan adanya perubahan pada rumah adat yang digunakan Suku Minahasa yang mulanya membangun rumah dengan teknik ikat atau menempel pada pohon, lalu berubah menjadi rumah panggung yang eksis hingga sekarang.
Penjualan rumah panggung ini sudah tersebar ke beberapa negara. Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulut pada tahun 2020, rumah panggung dari Desa Woloan ini sudah dijual ke lebih dari 30 negara di Asia, Australia, Eropa hingga Amerika.Â
Kami pun melanjutkan perjalanan ke Mangatasik, namun sesaat sebelum sampai di Mangatasik, tiba-tiba mobil yang ditumpangi Mas Osdar putar-balik. Saya yang menumpang di kendaraan lainnya pun ikut mobil yang ditumpanginya.
"Lho, kok putar balik ya? padahal sudah mau sampai," kata Ardi, pengemudi mobil yang saya tumpangi.