Meminta dan menyetujui Florence Sihombing (Flo) dipenjara itu bukan masalah primordialisme, bukan karena egosentris, propinsialisme, arogansi, atau intoleran. Flo (26),mahasiswi asal Medan, Sumatera Utara yang sedang menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Pasca sarjana Kenotariatan di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut telah menistakan kota DIY dan seisinya.
"Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mautinggal Jogja,Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja" tulis Florence di akun Path (aplikasi jejaring social pada telepon pintar) miliknya.
Flo menyebut Kota Yogya, yang berarti penistaan tersebut ditujukan kepada Kota Yogyakarta dan seisinya. Flo bukan hanya menistakan Yogya dalam arti tempat, atau pemerintahan karena di dalam Kota Yogyakarta juga terdapat warga Yogyakarta, baik itu warga yang lahir dan besar di tempat itu, warga yang sekedar lahir di tempat itu,warga yang besar di tempat itu, maupun warga pendatang yang tinggal diYogyakarta. Wajar, jika seluruh atau sebagian warga Yogyakarta merasa ikut disebut miskin, tolol dan tak berbudaya. Wajar jika kemudian mereka sakit hati dan marah.
Mungkin, niat Flo sebenarnya hanya sekedar curhat kepada teman-temannya yang terhubung di akun path nya. Flo ingin berbagi rasa tidak nyamannya terhadap Kota yang saat ini menjadi tempat tinggalnya, tempat ia menimba ilmu. Flo, bisa jadi berpikiran bahwa karena penggunaan Path sebetulnya ditargetkan untuk menjadi tempat tersendiri untuk pengguna berbagidengan keluarga dan teman-teman terdekat( Fowler, Geoffrey A, 11 Maret 2011. "Path Gets “FriendRank” and a Revenue Stream". The WallStreet Journal, dalam Wikipedia). Hanya saja, Flo mungkin lupa bahwa di antara teman-teman di dalam Path nya tersebut terdapat warga Yogya, atau ada teman yang tidak menyukainya.
Publik yang tidak terhubung dengan akun Path milik Flo tidak akan mengetahui pesan Flo, jika tidak ada teman Path nya yang membagikan pesan tersebut. Tapi, benarkah Flo berniat sekedar curhat? Flo, di dalam pesan Path nya tersebut juga memprovokasi warga Jakarta dan Bandung agat tidak ke Yogya. Tindakan Flo ini semacam tindakan boikot juga. Flo sepertinya tidak sekedar ingin curhat, namun juga berusaha mempengaruhi publik, karena Flo memberikan ijin kepada teman Path nya yang ingin membagi-bagikan pesan Flo tersebut.
Flo,bahkan kemudian melanjutkan caci-makinya setelah ada teman Path nya yang bertanya lebih jauh.
“Orang Jogja Bangsat. Kakak mau beli Pertamax 95 mentang-mentang pake motor harus antri di jalur mobil terus enggak dilayani. Malah disuruh antri di jalur motor yang stuck panjangnya gak ketulungan…Diskriminasi…Emangnya aku gak bisa bayar apa. Huh.KZL,” jawab Florence.
Isi curhat Flo yang kedua tersebut justru lebih jelas menunjuk “Orang Jogja”, bukan tempat atau pemerintahan. Berdasarkan isi curhatan yang ke dua ini, wajar jika “Orang Jogja”meradang karena disebut bangsat, yang di dalam glosarium diartikan sebagai orang jahat, kepinding, atau kutu busuk.
Flo, melalui pesan path nya tersebut, berdasarkan paparan di atas ia jelas bermaksud menistakan warga Yogyakarta. Flo dengan jelas menyebut “Orang Yogya”, sehingga penistaannya bukan ditujukan kepada Yogyakarta dalam arti tempat atau pun pemerintahan. Flo bukan sekedar berniat curhat, namun juga melakukan provokasi dan tindakan boikot karena ia mengijinkan teman path nya mempublikasikan pesan Path nya tersebut. Tujuan Flo mengumpat di Path nya juga bukan untuk berpendapat atau mengkritik. Flo menghujat, mengumpat, dan menistakan warga Yogya sebagai “bangsat” yaitu orang jahat yang dapat dikonotasikan dengan kepinding dan kutu busuk.
Warga Yogya pantas marah, meradang, emosi, merasa terhina dan sakit hati karena tidak semua orang Yogya pernah merugikan ataupun menyakiti Flo. Bahkan, penistaan Flo terhadap warga Yogya ini dilakukan karena dia kesal terhadap petugas SPBU. Flo, mungkin merasa malu ketika itu karena selain ia merasa disepelekan oleh petugas SPBU,ia juga mungkin merasa malu oleh teguran TNI dan sorakan pengantri BBM di SPBU Lempuyangan waktu itu (Pengantri belum tentu terdiri dari warga Yogya secara keseluruhan).
Warga Yogya marah,bukan karena Flo adalah Sihombing. Warga Yogya marah karena mereka dinistakan atas kesalahan yang tidak mereka lakukan. Justru ulah Flo lah yang menjengkelkan. Wajar jika kemudian LSM Jangan Khianati Suara Rakyat (Jati Sura) kemudian ingin membela warga Yogya yang telah dilukai perasaannya oleh Flo. Mereka memilih jalur hukum.
Apakah Flo pantas dipenjara? Setelah melihat reaksi Flo atas tindakan pengguna media social,baik itu warga Yogyakarta maupun bukan, yang membalas Flo dengan hujatan bertubi-tubi, Flo malah meminta agar warga Yogya cerdas dan tidak terprovokasi.
"Saya berharap warga Yogya menghadapi persoalan ini dengan cerdas," kata Florence saat berbincang dengan detikcom via telepon, Jumat (29/8/2014).
Flo mengatakan hal tersebut bersamaan dengan ucapan permintaan maafnya kepada warga Yogya. Pembaca detik yang aktif menanggapi kasus Flo di media sosial,baik warga Yogya maupun bukan, semakin kesal mengetahui ungkapan Flo tersebut. Mereka menganggap Flo arogan, meminta maaf namun masih saja terus merendahkan warga Yogya dengan menyuruh mereka cerdas.
Salah satu komentar pembaca detik adalah sebagai berikut :
Kurang asem ni memang. Udah ngatain orang bodoh, eh sekarang minta orang yang dikatainitu bersikap cerdas. Itu artinya orang yogya dikatain bodoh dua kali. Apa menghina orang banyak karena marah pada bbrp orang dia anggap cerdas? Minta maaf pun diwakilkan, bahasanya pun asal. Sangat terasa, orang ini tak merasa bersalah dan hanya minta maaf karena terpojok.
Mungkin, karena komentar Flo tersebutlah yang membuat LSM Jati Sura tetap teguh dengan laporannya di Polda DIY. Flo tidak mempan dibuli secara massal di media sosial. Mungkin Flo harus merasakan penjara agar tahu bagaimana rasanya dinistakan, agar tahu bagaimana cara menghargai orang, agar bias mengakui kesalahan serta meminta maaf dengan penuh rendah hati kepada warga Yogya.
Benar bahwa banyak kasus semacam ini, bahkan lebih keterlaluan dari yang dikatakan Flo, tidak berakhir di meja hijau. Pelakunya bebas dari hukuman denda maupun penjara. Banyak pula pelaku kejahatan yang lebih bengis dari Flo juga tak tersentuh hukum. Namun memenjarakan Flo bukan persoalan diskriminasi. Hal ini karena ada pelapor yang serius mengurusi kasus ini. Logikanya bukan "kalau mereka bebas, kenapa Flo dipenjarakan", tetapi, "Jika Flo dipenjarakan, seharusnya mereka juga dipenjarakan".
Flo adalah seorang mahasiswa sekaligus sarjana, mewakili kaum intelektual yang semestinya tidak hanya produktif dengan karya dan ilmu namun juga mampu mengendalikan emosi dan tidak mudah menhina orang lain. Flo, dengan modal ijazahnya suatu hari nanti bisa jadi seorang pemimpin bangsa, penegak hukum, wakil rakyat, atau abdi Negara. Apa yang akan dilakukannya terhadap yang dibela, dipimpin, atau diwakilinya dengan modal karakternya itu?
Siapa bilang pendidikan moral dan etika hanya urusan orangtua dan guru? Betul, jika dia masih anak-anak atau remaja. Tetapi Flo adalah perempuan berusia 26 tahun dengan gelar Sarjana Hukum, ia adalah manusia dewasa. Flo sudah wajib bertanggung jawab dengan perbuatannya, dia seharusnya tahu dengan konsekwensi atas perbuatannya. Jika pendidikan di keluarga dan disekolah ternyata belum mampu menjadikan Flo sebagai sosok yang bermoral dan beretika, lingkungan sosial bisa membantunya. Namun sanksi sosial, yaitu melalui sikap pengguna media sosial terhadap flo (membuli) ternyata belum mempan untukmembuat Flo bisa menghargai orang lain.
Penjara tidaklah berlebihan untuk kasus Flo. Namun tidak harus dengan UU ITE dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Penjara untuk Flo bukan untuk hitungan bulan, bahkan tahun. Penjara sekedar cara memberikan terapi kejut untuk Flo, dan mencegah adanya kasus serupa. Penjara, bukan untuk memberangus kebebasan berpendapat karena yang dilakukan Flo bukanlah berpendapat, bukan mengkritik,bukan pula protes. Sasaran Flo bukanlah pemerintah atau pejabat publik, tetapi sesama rakyat kecil, warga Yogyakarta.
Flo sudah ditahan di Polda DIY. Penahanan Flo ini menuai pro dan kontra. Berdasarkan pengamatan penulis, berbagai pihak yang kontra terhadap penahanan Flo terdiri dari warga Yogyakarta yang tidak lahir di Yogya, pengguna media sosial yang bukan warga Yogyakarta, dan politikus. Mereka beralasan,banyak kasus yang sama, bahkan koruptor kakap yang kebal hukum (masalah diskriminasi),tidak setuju dengan UU ITE, kebebasan berpendapat, Flo rakyat kecil, dan wargaYogya yang berbudaya seharusnya arif dan pemaaf.
Sebagaimana ditulis detik, awalnya pihak Polda DIY tidak bermaksud menahan Flo. Hal ini (menahan Flo) terpaksa dilakukan setelah upaya mediasi gagal. Pihak penyidik kemudian menawarkan kepada Flo untuk membuat surat penyataan tidak melarikan diridan kooperatif.
Direktur Kriminal Khusus Polda DIY Kombes Kokot Indarto menyampaikan alas an penahanan Flo sebagai berikut :
"Tapi yang bersangkutan malah meminta BAP sebagai tersangka dicabut. Kalau dicabut kan artinya tidak ada kejadian itu, dan itu tawaran yang susah dipenuhi oleh penyidik, dan tidak mungkin,"
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Path_(jejaring_sosial)
http://news.detik.com/read/2014/08/30/081453/2676657/10/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H