Mohon tunggu...
Cerpen

Kambing Mbah Kakung

3 Januari 2018   10:03 Diperbarui: 3 Januari 2018   10:15 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja telah terhapus oleh malam. Bulan purnama bulat penuh memancarkan cahaya kuning menghapus gelap hitam malam ini. Dingin angin berhembus menampar tubuh kurusku. 

Baru kuingat malam ini adalah malam jumat. Ya, malam dimana MbahKakung(1) akan memulai ritualnya. Setiap malam jumat MbahKakung selalu mengunci diri di kamarnya seusai maghrib. Entah apa yang dilakukannya, yang kutahu setiap melalakukan ritualnya keluarlah bau bunga kantil, kemenyan dan asap dupa yang memekakkan syaraf olfaktori hidung seluruh orang yang ada di rumah. Kamarnya pun terkunci rapat agar tak ada yang mengganggunya. 

Yang lebih aneh lagi MbahKakung selalu membawa serta kambingnya yang diberi nama Paimin ke dalam ritualnya. Kambing buluk itu dimasukan ke dalam kamarnya.

Aku tak mengerti apa yang dipikirkan mbah kakung, membawa masuk kambing ke dalam kamar adalah suatu hal yang aneh. Bagaimana pun hewan tidaklah pantas dibawa masuk ke kamar. Ya, akan sangat menjijikkan apabila Paimin membuang kotoran di ranjang tidur atau lantai kamar. 

Jika hal itu terjadi ibulah yang membersihkan kotoran Paimin keesokan paginya seusai ritual keramat Mbah Kakung di malam jumat. Sudah berulang kali pula ibu marah-marah pada Mbah Kakung.

"Kambing itu tempatnya di kandang, bukan di kamar."

Itulah yang selalu dikatakan ibu tatkala emosinya sudah meledak-ledak. Semenjak ada Paimin di sini MbahKakung semakin aneh. Kegilaannya terhadap judi pun semakin menjadi-jadi. Keberadaan Paimin justru menjadi dongkrak pemacu semangatnya untuk berjudi.

Kini pagi telah menyingsingkan sinar mentari yang bertahta di bentangan langit. Tepat pukul enam pagi MbahKakung segera menghampiriku yang sedang sarapan pagi. Jika lewat dari pukul enam lebih lima belas menit pagi MbahKakung tak dapat lagi menemuiku di pagi buta karena aku harus berangkat ke sekolah.

 "Yanto, berapa angka yang keluar le(2)?" Tanyanya penasaran.

"55xxxx." Jawabku.

Mbahkakung segera pergi ke tempat penjual nomor keberuntungannya itu. Entah apa yang terjadi sejak adanya Paimin tepatnya dua tahun yang lalu aku selalu mendapat petunjuk nomor keberuntungan itu lewat mimpi. 

Tepatnya setelah Mbah Kakung selesai melalakukan ritual keramatnya. Dalam mimpiku itu aku melihat deretan angka bercahaya merah menyala terukir di dahi kambing bernama Paimin itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Entah itu suatu keajaiban atau apa yang jelas aku sangat membenci hal itu terjadi padaku. Mengapa harus aku yang bermimpi tentang angka keberuntungan MbahKakung? 

Mengapa bukan bapak, ibu atau kakakku saja? Mengapa harus aku? Yang jelas aku tak ingin menjadi manusia terkutuk hanya karena tindak kriminal perjudian yang dilakukan Mbah Kakung. Dan yang paling kubenci MbahKakung sangat menyanyangi Paimin melebihi keluarganya sendiri.

***

Siang yang begitu terik, tenggorokanku terasa ngilu karena terlalu kering setelah berjalan jauh dari sekolah ke rumah. Sesampainya di rumah segera kulepas sepatuku. Kulihat MbahKakungjuga baru saja datang. Ia pun menduduki kursi goyangnya di depan televisi sambil menyantap sebungkus nasi pecel. Aku berjalan menuju kamar, tetapi langkahku terhenti ketika kulihat ibu menangis di kamarnya. Tatapan mata ibu tampak sayu dipenuhi rasa kekecewaan mendalam. Kumasuki kamar ibu perlahan, lalu aku duduk tepat di sampingnya.

 "Apa yang terjadi bu?" Tanyaku.

"Ibu sudah muak dengan kelakuan MbahKakungle, para tetangga bilang kalau MbahKakung memperdayai suami mereka untuk ikut berjudi. Mereka bilang MbahKakungadalah propokator perjudian di desa ini le.

Kupeluk tubuh ibu erat-erat. Aku tak tega ibu sedih karena ulah Mbah Kakung. Karena itulah aku tak menceritakan kejadian aneh yang menimpaku. Aku selalu diam tak pernah membeberkan mimpi aneh itu kepada siapa pun karena Mbah Kakungsudah mengancamku secara halus. 

Aku sendiri pun sebenarnya sudah muak dengan kelakuannya. Semakin lama Mbah Kakung semakin aneh. Aku sangat benci apabila keluargaku mendapat caci maki tetangga gara-gara Mbah Kakung yang hobi berjudi.

Ingin rasanya kuhilangkan si kambing buluk itu agar kehidupan kami kembali seperti semula. Sebelum kambing itu datang Mbah Kakungtak pernah menyentuh judi. Mbah kakungtidak pernah melakukan ritual aneh dan keluarga kami tidak pernah menjadi sorotan gosip para tetangga. 

Namun, keinginan untuk menyingkirkan kambing itu selalu sirna tatkala teringat ancaman yang dilontarkan Mbah Kakung kepadaku. Ia mengancam jika kambing itu kusingkirkan atau aku menceritakan mimpi aneh itu, maka sebaliknya ia akan menyingkirkanku. Ancaman itu cukup membuat bulu kudukku merinding. Aku hanya anak SD yang tidak punya daya melawan orang dewasa.

Selama ini aku penasaran darimana Mbah Kakung mendapatkan kambing buluk itu. Dulu ketika kambing itu datang, ia hanya bilang kalau kambing itu adalah kambing keberuntungannya. Kambing bernama Paimin itu bukan kambing biasa. Hanya itu yang dikatakannya. Selebihnya darimana asal kambing itu tidak pernah ia katakan. Aku pun selalu berhipotesis macam-macam mengenai kambing aneh itu. Aku sangat membenci kambing buluk itu.

***

 Waktu terus bergulir, malam ini adalah malam Jumat. Seperti biasa Mbah Kakung melakukan ritualnya. Kambing buluk itu ia masukkan ke kamarnya. Kamarnya terkunci rapat, hanya aroma kemenyan dan kantil yang semerbak melewati ventilasi kamar dan menembus rongga hidungku. 

Sementara itu kulihat Mas(3) Anwar, kakakku yang sebelumnya asyik menonton televisi langsung menekan tombol off  pada remot televisi yang dipegangnya. Lantas masuk ke kamar karena tak tahan akan bau menyengat kantil dan kemenyan. Bapak dan ibu pun juga langsung menuju teras depan mencari udara segar yang terbebas dari aroma kantil dan kemenyan.

Aku pun juga langsung memasuki kamar menyusul MasAnwar. Ya, aku memang satu kamar dengan kakakku. Kubuka pintu kamar perlahan. Tampak MasAnwar sedang duduk terdiam di meja belajarnya. Buku Biologi kelas XI SMA yang ada dihadapannya pun tak dibacanya, hanya dipegang lalu sesekali diketuk-ketukkan ke meja belajar. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu.

"Mas, sampeyan(4)  kenapa?"

"Gak apa-apa Yan, aku cuma mikir bagaimana cara melenyapkan kambing buluk itu dari rumah ini."

"Tapi Mas,nanti kalau Mbah Kakungmarah gimana?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulutku.

"Biarkan saja Yan, aku sudah muak dengan kambing buluk itu. Gara-gara Paimin tingkah Mbah Kakungjadi seperti orang gila. Nama baik keluarga kita juga tercemar."

Melihat kakakku yang emosi aku langsung membaringkan badan di kasur.  Menutup mukaku dengan selimut tipis. Bersiap untuk tidur dan bersiap memimpikan nomor keberuntungan Mbah Kakung. Ya, lebih tepatnya nomor  togel yang akan dimenangkan Mbah Kakung.

***

Suara riuh pagi telah menggema di hari ini. Dingin angin sesekali membuatku malas untuk beranjak dari kasur. Dengung nyamuk pun sesekali masih tertangkap gendang telingaku. Membuatku semakin betah berada di balik selimut. Namun kewajibanku sebagai siswa tak bisa kulewatkan. Aku harus berangkat Seklah meski dingin masih enggan beranjak. Terpaksa aku langsung bangun dan mandi. 

Seragam pramuka yang disetrika oleh ibu sudah disiapkan di kamarku dan kakak. Usai mandi seragam itu lekas kupakai dan segera kumasukkan buku-buku pelajaran yang akan kugunakan hari ini. Anehnya hari ini MasAnwar sudah bersiap berangkat sekolah lebih pagi. Biasanya ia berangkat sekolah tepat pukul 06.30. Anehnya hari ini ia berangkat lebih awal pukul 06.00 pagi. 

Aku penasaran, mengapa ia berangkat lebih pagi? Ditengah kebingunganku itu tiba-tiba Mbah Kakung menghampiriku dan langsung bertanya nomor wahidnya.

"Berapa le?"

"19xxxxx Mbah."

"Matur nuwun ya le."

Sejenak Mbah Kakung mencari Paimin setelah ia mendapatkan informasi nomor wahid dariku. Namun tiba-tiba ia berteriak lantang memekakkan gendang telinga semua orang di rumah.

"Paimin hilang...Paimin hilang..."

Aku sangat terkejut mendengar kambing buluk itu telah hilang. Entah kemana tidak ada yang tahu. Sungguh aneh sekali kambing itu tiba-tiba hilang. Mbah Kakung langsung menyalahkan Bapak dan Ibu. Ia marah-marah, membanting perabot rumah, merusak tanaman di pekarangan dan sempat memaki tetangga sebelah rumah. 

Sebenarnya aku kasihan melihat Bapak dan Ibu menjadi sasaran amukan Mbah Kakung. Namun saat itu Ibu langsung menyuruhku berangkat Sekolah. Mungkin Ibu tak mau melihat anak kecil sepertiku menjadi korban psikologi keluarga yang sedang dilanda pertengkaran hebat. Tanpa pikir panjang aku pergi ke Sekolah. Aku tak mau berurusan dengan kambing buluk yang hilang itu. Aku benci dengan semua masalah yang disebabkan oleh Paimin si kambing buluk.

***

Siangnya ketika aku pulang Sekolah dan sampai di rumah, aku sangat kaget melihat Paimin yang sudah kembali. Terlihat wajah Mbah Kakungcerah mendapati kambing kesayangannya telah kembali. 

Ditambah lagi ia sangat senang karena nomor togelnya tembus sasaran. Sebenarnya aku lebih senang apabila kambing itu lenyap dari kehidupan keluarga kami. Dengan begitu Mbah Kakungtidak akan lagi gila judi. Sepertinya kakakku juga berpikiran sama denganku. Kuperhatikan sesekali MasAnwar mondar-mandir seperti orang kebingungan.

            "Kenapa Mas?"

            "Aku heran kenapa kambing itu bisa kembali lagi. Padahal tadi sudah kubuang di hutan desa sebelah."

            "Jadi kambing itu hilang karena sampean buang di hutan?"

            "Iya Yan, aku sengaja membuangnya ke hutan tadi pagi."

            "Jadi tadi pagi sampean berangkat lebih awal karena mau membuang Paimin?"

            "Iya, aku sudah gak betah lihat Paimin lama-lama di rumah ini."

            "Oalah...berarti kowe pelakune(5)?" Tiba-tiba Mbah Kakung datang di hadapan kami. Ternyata ia mendengar semua yang kami bicarakan barusan.

            "Kurang ajar koweWar!"

Mbah Kakungtanpa pikir panjang langsung mencengkeram tubuh MasAnwar. Tidak lama kemudian Mbah Kakung menghempaskan tubuh MasAnwar ke lantai dengan keras. Kemudian Mbah Kakung mencengkeram lagi tubuh MasAnwar. Ia membelit tubuh kurus kakakku layaknya seekor ular yang menangkap mangsa. Kakakku yang bertubuh kurus itu pun berusaha melawan cengkeraman Mbah Kakung. 

Namun ia tak berhasil melawan serangan Mbah Kakungyang bertubi-tubi. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Aku panik bukan main melihat pertarungan antara kakek dan cucu pertamanya itu. Aku berlari dan berteriak sekencang mungkin mencari Bapak dan Ibu.  

Mendengar teriakanku Bapak dan Ibu pun datang. Mereka berdua sangat terkejut melihat pertarungan antara Mbah Kakungdan MasAnwar. Dengan sigap Bapak langsung melerai pertarungan itu. 

Namun entah mengapa Bapak tidak bisa menghalau. Rasa heran langsung menyergapku, bagaiamana mungkin tubuh Bapak yang tambun bisa terhempas seketika oleh tangan Mbah Kakung? Padahal Mbah Kakung sudah cukup renta untuk menghempas tubuh seseorang yang lebih besar darinya. Parahnya ia tega melakukan semua itu hanya untuk kambing buluk bernama Paimin.  

Semua kejadian yang tampak di depan mataku itu membuatku tak bisa mengendalikan emosiku. Naluri kebencian terhadap Mbah Kakung dan Paimin pun semakin tumbuh membara dalam diriku. Sebuah bisikan lembut yang datang entah dari mana berhasil mempengaruhiku. Aku berdiri, berjalan perlahan menuju Paimin. Kubawa Paimin perlahan, namun kambing buluk itu melawan. 

Ia tak mau kubawa ikut denganku. Tenaga di dalam tubuhku kukumpulkan secara signifikan hingga akhirnya aku berhasil menyeret Paimin untuk ikut bersamaku. Pelan kakiku melangkah menuju sumur tua yang sudah tidak dipakai di belakang rumah. Tali yang terkalung di leher Paimin kukaitkan ujungnya di pohon trembesi dekat sumur. 

Kutali kencang hingga Paimin tidak bisa lepas. Kututup hidungku dengan kaos yang melekat di tubuhku. Lalu kubuka kayu lapuk yang menutupi sumur tua itu. Setelah kubuka penutup sumur, tali yang mencengkeram Paimin kulepaskan. Kuseret tubuh Paimin, kuangkat dan langsung kulempar ke dalam sumur tua.

 "Byuuuuurrrrrrr..............." Suara tubuh Paimin yang bergelut dengan air sumur terdengar nyaring.

Aku hanya terdiam membeku setelah melakukan hal bodoh itu. Aku telah lepas kendali karena kebencian yang selama 2 tahun merasuki jiwaku. Sementara Mbah Kakunglangsung menghentikan pertarungan dan berlari tunggang langgang ketika menyadari bahwa Paimin telah masuk ke dalam sumur.  Ia tampak panik bukan main melihat kambing kesayangannya jatuh ke dalam sumur.

 "Min....Paimin......"

Mbah Kakung terus berteriak panik memanggil-manggil Paimin. Kerut wajahnya terlihat sangat ketakutan. Ya, ia sangat takut kehilangan kambing buluk itu.

"Paimin...ojo(6) mati le."

Sekejap Mbah Kakunglangsung melompat masuk ke dalam sumur. Mungkin ia bermaksud untuk menyelamatkan kambing buluk itu. Entah apa yang ia pikirkan aku tak pernah tahu. Yang kutahu setiap makhluk hidup yang masuk ke dalam sumur itu tidak akan bisa bertahan hidup karena udara di dalam sumur itu beracun.  Itulah mengapa aku menutup hidung dengan kaos ketika membuka sumur tua itu.

Aku tak berani melihat Mbah Kakungtenggelam di sumur tua itu. Aku hanya mendengar suara rintihannya bergelut dengan air dan udara beracun. Aku hanya berlari menjauhi sumur beracun itu. Seketika aku langsung memeluk tubuh ibu. Kurasakan detak jantungku tak beraturan, keringat dingin juga meleleh dari tubuhku. Ibu pun juga memeluk erat tubuh dan mengelus-elus kepalaku dengan lembut.  

Sementara Bapak berlari mencari para tetangga untuk membantunya menolong Mbah Kakungyang masuk ke dalam sumur.  Meski demikian, kuyakin ketika Mbah Kakungberhasil diangkat keluar dari sumur pasti nyawanya sudah tak terselamatkan. Aku hanya bisa terdiam, meratapi apa yang telah kulakukan. Ini bukan salahku. 

Mbah Kakung sendiri yang memilih untuk menceburkan diri ke dalam sumur. Mbah Kakungsendiri yang lebih memilih kambing buluk itu daripada keluarganya. Seketika pula rasa kebencian yang tumbuh dalam diriku memaksaku untuk puas melihat kejadian yang ada di depan mataku ini. Sepertinya ini adalah akhir yang tidak buruk meski jiwa Mbah Kakung harus meninggalkan dunia ini. 

Hari-hari berikutnya tidak akan lagi ada ritual aneh, tidak akan ada lagi mimpi konyol tentang nomor togel dan tidak akan lagi ada caci maki dari tetangga. Keluaga kami akan hidup normal seperti semula.

"Selamat tinggal Mbah Kakungdan Paimin. Maafkan aku telah membuat akhir cerita yang tidak kalian harapkan. Maafkan aku yang telah mengakhiri kisah ini menjadi menyesakkan untuk kaliam. Semoga kalian bahagia di sana." Ungkapku dalam hati dengan perasaan bahagia yang tak bisa kusembunyikan.

***

Keterangan:

  • : panggilan kakek (dalam bahasa jawa).
  • : panggilan untuk anak laki-laki (dalam bahasa jawa).
  • : panggilan untuk kakak laki-laki (dalam bahasa jawa).
  • : kamu pelakunya
  • : kamu
  • : jangan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun