Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Arus Balik Nagari

18 November 2018   13:46 Diperbarui: 18 November 2018   14:42 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Makalah ini pernah dipresentasikan dalam Simposium Masyarakat Adat Kedua : Gerakan Masyarakat Adat dan Pembaruan Hukum dengan judul "Arus Balik : Babaliak Ka Nagari" di Universitas Pancasila, Jakarta, 16-17 Mei 2016.

A. Pendahuluan

Gerakan pembaruan hukum masyarakat adat mendapatkan momentum terbaiknya sejak desentralisasi kekuasaan lahir (Nurjaya 2012). Sentralisme kekuasaan pemerintah pusat di masa rezim orde baru dianggap sebagai penyebab utama "kematian masyarakat adat."  

Rezim orde baru menyumbat ekspresi identitas adat dan peminggiran hak-hak masyarakat adat dalam skala luas dan memakan korban yang tidak sedikit. Pemaksaan identitas tunggal negara terjadi dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat adat, terutama dalam bidang sumber daya alam dan otonomi masyarakat adat.

Hak ulayat dan otonomi masyarakat adat seperti sisi mata uang yang saling melengkapi. Otonomi masyarakat adat dibangun dalam pelaksanaan adat (hukum adat) oleh masyarakat adat melalui struktur asli yang mensejarah. Di garis yang lain, "Negaraisasi" hadir untuk menekan penanda eksistensi tersebut pada titik yang paling nadir. 

Inkuiri Nasional Masyarakat Adat KOMNAS HAM telah merumuskan secara detil pola "negaraisasi" ini sebagai penghilangan secara sistematis dan terstruktur ikatan-katan historis masyarakat adat dengan sumber daya alam dan struktur aslinya melalui teritorialisasi kekuasaan negara secara sepihak (baca; Kawasan Hutan Negara) atas wilayah adat (Tim Inkuiri Nasional KOMNAS HAM 2016).

Dalam konteks ini, hak-hak masyarakat adat atas wilayah adat (hak ulayat) dan relasinya dengan otonomi masyarakat adat adalah atribut yang paling banyak disebut-sebut dalam hal perlindungan masyarakat adat. 

Resonansi tentang pentingnya perlindungan hak masyarakat adat di bidang sumber daya alam kemudian disalurkan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil dari level kampung, lokal, nasional dan bahkan internasional secara konsisten. 

Dengan relasinya dengan negara, gerakan masyarakat adat kemudian melahirkan sebuah diktum "Pengakuan Masyarakat Adat" sebagai tujuan yang hendak dituju dari gerakan ini, yang selaras dengan pembaruan hukum untuk memastikan tujuan-tujuan tersebut dilaksanakan.  

Makalah ini mengajak pembaca untuk melihat arus pengakuan masyarakat adat dalam arena daerah. Lokus ini dipilih sengaja oleh penulis untuk melihat relasi negara dan masyarakat adat dalam proses aktualnya di lapangan yang sejalan dengan arus pergeseran kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah melalui desentralisasi. 

Desentralisasi merubah konfigurasi relasi politik pemerintah pusat -- daerah yang menyebabkan produksi hukum menyebar dari sentrum kekuasaan di Jakarta ke daerah - daerah (Savitri 2011). Khususnya dalam hal pengakuan hukum masyarakat adat, pemerintah daerah menjadi satu-satunya otoritas yang dimandatkan oleh hukum untuk pengakuan, sehingga pemerintah daerah menjadi aktor utama dalam agenda pengakuan masyarakat hukum adat (Andiko dan Firmansyah 2014, Savitri dan Uliyah 2014).

Fokus kajian makalah ini terbatas pada nagari sebagai entitas masyarakat adat di Provinsi Sumatera Barat, namun tidak ditutup kemungkinan sebagai pembelajaran bagi masyarakat adat yang lain. 

Penulis akan menyajikan dinamika sosial, politik dan hukum tentang masyarakat adat nagari dan arena politik dan legislasi daerah (khususnya Pemerintah Provinsi) dalam pengaturan nagari dan menelusuri rute pengakuan masyarakat adat melalui UU Desa sebagai titik fokus. UU Desa memiliki arti penting bagi nagari untuk menemukan batas-batas relasinya dengan negara, yang dalam sejarahnya selalu mencari titik keseimbangan dari kontestasi sekaligus integrasi terus menerus dalam relasi tersebut (Abdullah 1984, Hadler 2010). 

Karakter nagari sebagai kesatuan masyarakat adat sekaligus unit pemerintahan menjadi landasan konseptual sekaligus praktik yang menyebabkan nagari tidak bisa memisahkan dirinya dari struktur negara, khususnya pemerintahan desa (Naim 2002 dan Eko 2004).

B. Nagari yang Hybrid 

Desa adat telah muncul sebagai nomenklatur kesatuan masyarakat adat sejenis nagari dalam UU Desa 2014. Desa adat memungkinkan nagari untuk masuk dan terlibat dalam kerangka pengakuan masyarakat adat dalam struktur negara. 

Secara konseptual, desa adat berkeinginan untuk memperkuat reorganisasi desa berakar adat yang muncul sejak desentralisasi, terutama dalam hal kedudukan desa adat sebagai badan hukum publik (subjek hukum) yang memiliki kewenangan berdasarkan hak asal usul, termasuk hak ulayat (Zakaria 2016). Di Sumatera Barat, reorganisasi desa berakar adat sendiri bangkit sejak aksi kolektif "Baliak Ka Nagari" tahun 1998. 

Aksi ini berupaya memulihkan nagari akibat dampak pemberlakukan UU Desa 1979 (F dan K Von Benda Beckmann 2014). Perda Provinsi Sumatera Barat 9/2000 tentang Nagari adalah hasil aksi "Baliak Ka Nagari" dengan mengembalikan nagari kepada batas teritorial awal sebelum UU Desa 1979 berlaku (F dan K Von Benda-Beckmann 2014).

UU Desa 2014 mengkhususkan desa-desa berakar adat (desa adat) dengan desa-desa biasa (desa administratif) karena pelaksanaan kewenangan hak asal usul yang terdiri dari pertama, pelaksanaan kehidupan masyarakat desa berdasarkan adat, kedua, pengelolaan wilayah adat (asset desa) dan ketiga, Pelaksanaan desa adat berdasarkan struktur asli. Selain juga melaksanakan kewenangan yang sama dengan desa biasa sebagai unit pemerintahan administratif di tingkat desa.

Kesamaan wilayah adat dengan wilayah desa secara administratif menjadi prasyarat utama penetapan desa adat, disamping prasyarat lain yang fakultatif. Secara konsep, desa adat ini mirip dengan karakter nagari sebagai kesatuan masyarakat adat teritorial-geneologis yang digabungkan dengan kepentingan negara untuk melahirkan kejelasan batas unit pemerintahan desa sebagai penjabaran fungsi local self-government. 

Artinya, konsep desa adat adalah menciptakan batas kewenangan berdasarkan hak asal -- usul berdasarkan batas territorial (adminitratif) yang jelas. Dalam konteks hak, kejelasan subjek, hubungan hukum dan objek (wilayah) teraktualisasi dalam konsep ini.

Secara kelembagaan, Nagari paska Orde baru adalah komposisi yang memiliki format hibrida, dengan lembaga adat (Kerapatan Adat Nagari) dan beberapa lembaga lain yang ditambahkan dalam sistem wali nagari dan badan perwakilan desa yang dipilih secara demokratis. Kehadiran lembaga keagamaan yang secara ideologi sangat berpengaruh pun berkontribusi dalam menciptakan keseimbangan kekuatan dalam nagari (Vel dan Bedner 2016). 

Format hibrida nagari sendiri telah lama terbentuk sebagai hasil institusionalisasi tatanan norma yang saling bersaing sekaligus mengakomodasi antara adat, islam dan negara serta menjadi semacam konsensus sosial (Taufik Abdullah 2010).[1] 

Ketiga tatanan normatif itu melembaga dalam "tigo tali sapilin" dengan representasi tiga kepemimpinan klasik Minangkabau, penghulu, ulama dan cadiak pandai (F dan K Von Benda Beckmann 2006). Dalam konteks ini, pencarian "keaslian adat" atau kembali kepada tatanan lama yang asli adalah sia-sia yang dihadapkan kepada kenyataan "adat yang hybrid," yaitu adat yang baru dari hasil relasi dinamis dengan islam dan negara.

Dalam sejarahnya yang termutakhir, dukungan tiga eksponen adat, islam dan negara adalah kunci kesuksesan "Baliak Ka Nagari" yang diputuskan melalui Perda 9/2000 untuk kembali pada teritorial nagari sebelum pemberlakukan UU Desa 1979 (F dan K Von Benda-Beckmann 2014). 

Kembali pada teritorial sebelum UU Desa 1979 adalah kunci mengembalikan Nagari berakar adat dalam arus "Baliak Ka Nagari," yaitu format kelembagaan hybrid dengan landasan-landasan adat dalam kesatuan teritorial adat-administratif. Proses penggabungan desa-desa kembali ke nagari terjadi melalui prakarsa nagari dan dukungan resmi Pemerintah Daerah kabupaten (F dan K Von Benda-Beckmann 2014).[2] 

Alih-alih memperkuat adat, nagari baru ini malah memperkuat hibridasi dengan memantapkan tiga kepemimpinan klasik Minangkabau (panghulu, alim ulama, dan cadiak pandai)  dan dua kelompok sosial fungsional baru (Pemuda dan Perempuan Adat) ke dalam lembaga legislatif Nagari di samping Wali Nagari sebagai representasi eksekutif Nagari. Format ini mengikuti model modern tentang pemerintahan dan memperkuat pengaruh adat kedalam legislatif nagari. 

Ambivalensi muncul dalam sistem nagari baru ini dengan mempertahankan KAN sebagai lembaga adat yang diatur sebagian fungsinya diatur oleh Perda, yaitu terkait penyelesaian konflik adat.[3] 

KAN menjadi  lembaga adat berisi pemimpin-pemimpin suku (Klan) bersifat semi-informal. Akibatnya, pengembalian kekuasaan aset nagari, termasuk ulayat nagari ke Pemerintah Nagari dihambat oleh KAN yang menganggap dirinya sebagai representasi adat. Situasi ini melahirkan ketegangan antara nagari dengan KAN yang melahirkan konflik dan juga akomodasi. Terlepas dari ketegangan itu, pemahaman yang sama muncul dalam pemahaman masyarakat nagari, bahwa aset nagari, termasuk ulayat nagari mesti dikembalikan ke nagari yang saat ini sebagian besar telah dikuasai oleh negara melalui kawasan hutan dan konsesi-konsesi (F dan K Von Benda-Beckmann 2014). 

Sistem nagari paska "Baliak Ka Nagari" bukanlah hasil yang baku, namun proses dinamis untuk menciptakan nagari berakar adat. Sejak diberlakukannya sistem anggaran desa baru berbasis unit desa dari Pemerintah Pusat di tahun 2005, "Baliak Ka Nagari" tidak lagi menarik (Vel dan Bedner 2016). 

Pemerintah Daerah Kabupaten-Kabupaten mulai kembali membelah nagari menjadi nagari-nagari baru dan memberlakukan KAN sebagai lembaga yang mempunyai otoritas atas wilayah adat yang terpisah dari wilayah nagari (secara administratif).[4] Dalam konteks ini, hibridasi bukan lagi "berakar pada adat" dengan batas wilayah adat dan adminitratif yang sama dalam kelembagaan yang hybrid,[5] namun hibridasi yang memisahkan otoritas adat dengan pemerintahan desa secara tegas (dualistik) seperti model desa orde baru. 

Proses ini terus berlanjut sampai sekarang dalam dua kutub yang saling tarik menarik, antara nagari berakar adat dengan nagari dualistik. Selain soal kelembagaan, belum tuntasnya penyatuan wilayah adat dengan wilayah administrasi melahirkan persoalan yang lebih kompleks. 

Kasus nagari guguk malalo kabupaten Tanah Datar adalah contoh teritorialisasi nagari yang terpisah antara wilayah adat dengan wilayah administrasi desa akibat batas wilayah administrasi kabupaten, yaitu wilayah adat nagari yang melintasi batas wilayah administrasi kabupaten Tanah Datar dengan kabupaten Padang Pariaman. Dalam situasi ini, ikatan wilayah adat sebagai penanda nagari kembali lagi kepada ikatan informal adat akibat kesulitan penataan batas-batas formal dalam unit administrasi desa dan kabupaten.

Pamflet Acara
Pamflet Acara
C. Kontestasi Politik Daerah

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 4 april 2016 menyelenggarakan FGD tentang Nagari yang dihadiri Gubernur Sumatera Barat. Dalam kesempatan tersebut, Gubernur menyatakan bahwa pembelahan nagari akan menambah alokasi dana desa untuk sumatera barat. Gubernur membandingkan selisih alokasi dana desa dari Aceh akibat banyaknya jumlah desa di Aceh. Pernyataan ini adalah sinyal arus balik untuk kembali kepada model desa seperti model orde baru.

Paralel dengan itu, rancangan perda baru provinsi Sumatera Barat tentang nagari untuk meresepon UU Desa 2014 mengalami kebuntuan. Rancangan perda nagari baru ini cenderung kepada nagari hybrid berakar adat (cenderung ke desa adat). Rancangan Perda nagari akan merubah format KAN sebagai "lembaga adat" semi-formal menjadi legislatif nagari yang diisi tidak hanya pemangku adat, namun juga unsur kepemimpinan klasik minangkabau lainnya dan kelompok fungsional nagari. Selain itu, Rancangan Perda nagari baru secara tegas menyebutkan bahwa nagari adalah pemerintahan desa yang merujuk pada wilayah adat.

Perdebatan muncul sejak rancangan perda ini diajukan pemerintah provinsi. Uniknya, kelompok "elit adat" di LKAAM menolak perubahan format KAN tersebut karena dua alasan: Pertama,  merubah sifat eksklusif KAN sebagai lembaga adat. 

Perubahan format KAN berarti menghilangkan otoritas KAN sebagai lembaga adat atas aset nagari, khususnya ulayat nagari. Kedua, keinginan mengembalikan sistem "nagari adat romantis" untuk menyerahkan sepenuhnya "pemerintah adat" pada pemangku adat. Konsep ini tidak sepenuhnya jelas dalam fakta kelembagaan nagari yang hybrid. 

Argumen-argumen yang disampaikan mirip debat romantisme adat yang terjadi di masa awal-awal "Baliak Ka Nagari," apakah kembali ke format nagari pra-kolonial, kolonial, ORLA atau di masa ORBA. Paralel dengan itu, kelompok birokrat dan politisi berpengaruh menginginkan nagari dualistik tetap berjalan. Format baru nagari dalam Rancangan Perda nagari tersebut mempersulit kemungkinan pembelahan nagari tanpa membelah wilayah adat dan kelembagaan nagari.

Akhirnya pada awal tahun 2016, Rancangan Perda nagari dikembalikan DPRD kepada Pemerintah Provinsi untuk dikaji ulang. Kebuntuan penyusunan Rancangan Perda nagari baru disusul oleh Gubernur dengan menerbitkan  surat edaran tertanggal 22 Maret 2016 kepada bupati dan walikota untuk melaksanakan penataan nagari. 

Surat edaran ini memperlihatkan kecenderungan mengalihkan reorganisasi nagari ke pemerintah kabupaten dan kota. Artinya, kecenderungan proses reorganisasi nagari paska UU Desa 2014 tidak lagi menggunakan provinsi sebagai aktor utama, seperti halnya pada masa awal "Baliak Ka Nagari" tahun 1998. Konfigurasi reorganisasi nagari paska UU Desa disebar ke kabupaten/kota.

Di sisi masyarakat sipil, akademia kampus dan perantau Sumatera Barat memperlihatkan dukungan terhadap implementasi model desa adat untuk nagari. Debat tentang model nagari adat ideal kembali lagi seperti masa-masa awal "Baliak Ka Nagari," yang cenderung juga pada romantisme keaslian adat. 

Namun, point-point penting model desa adat bagi nagari yang diusung oleh kelompok ini adalah tentang nagari sebagai penanda identitas minangkabau dan argumen klasik tentang ikatan nagari dengan wilayah adat. 

Gagasan-gagasan tentang identitas minangkabau dan penguasaan nagari atas wilayah adat diekspresikan dalam berbagai media, artikel, berita daerah, dan diskusi-diskusi kepada pengambil kebijakan provinsi, khususnya DPRD Sumbar. Kecenderungan Pemerintah Provinsi untuk memberlakukan model desa administratif dan mengalihkan reorganisasi nagari ke Pemerintah daerah kabupaten / kota dinilai oleh kelompok ini sebagai sebuah kemunduran.

D. Menemukan Kembali Nagari 

Kelembagaan (struktur) desa adat berdasarkan hak asal usul (susunan asli) tidak dijelaskan secara rinci, namun dengan indikator pada "pranata pemerintahan adat yang hidup." 

UU Desa menjelaskan format desa adat dengan cukup fleksibel, seperti terlihat dalam penjelasan umum point 4 : "Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa" yang kemudian dipertegas oleh penjelasan umum point 5 bahwa kelembagaan desa/desa adat menganut sistem pemerintahan modern dengan adanya eksekutif dan legislatif desa/desa adat. Artinya, format desa adat mengakomodasi kenyataan hibriditas desa adat.   

Perdebatan tentang struktur asli terjadi dalam pembahasan rancangan perda nagari di Sumatera barat. Perdebatan tersebut memperlihatkan penafsiran beragam tentang pranata pemerintahan adat ini, yang sebenarnya debat telah muncul sejak aksi kolektif "Baliak Ka Nagari" tahun 1998 dan mencuat kembali dalam penyusunan rancangan perda nagari paska UU Desa 2014. Perdebatan semantik tentang "nagari asli" adalah citra permukaan dari dinamika adat, islam dan negara yang terus menerus mencari titik temu di Sumatera Barat.

Dalam konteks ini, nagari hybrid adalah kenyataan sosial dan sejarah yang tidak bisa lagi dibantahkan. Nagari dalam konteks desa adat semestinya tidak lagi pada pencarian yang paling "asli" dari nagari, namun menyatukan realitas keberagaman tatanan normatif adat, islam dan negara tersebut dalam kelembagaan nagari yang saling melengkapi. Syarat pelaksanaan hal tersebut adalah penghilangan dualisme kelembagaan nagari adat dan nagari administratif. 

Pemahaman ini tidak hanya diletakkan pada pengambil kebijakan, namun juga kedalam tubuh masyarakat adat nagari sendiri. Dualisme nagari adat dan administratif adalah tantangan utama implementasi desa adat dalam konteks nagari. 

Dari pengalaman ber-nagari di Sumatera Barat, debat antara adat dengan negara tidak lagi dipisahkan secara biner karena kenyataan dinamika hibridasi tatanan-tatanan normatif dalam proses sosial yang lama terbentuk. 

Debat keaslian nagari tidak lagi diletakkan pada pembangkitan struktur lama yang romantis, namun telah menjurus pada pencarian format kelembagaan yang paling cocok untuk mengakomodasi nagari berakar adat. Makanya, debat untuk menyusun kelembagaan nagari membutuhkan diskursus panjang dalam kontestasi politik lokal di Sumatera Barat.

Selain itu, wilayah adat (hak ulayat) menjadi atribut penting bagi nagari. Ketaatan suku dan kaum (klan dan sub-klan) terhadap hukum adat adalah kekuatan sosial nagari untuk bertahan dalam berbagai perubahan nagari dalam waktu yang lama (F dan K Von Benda Beckmann 2014, Vel dan Bedner 2016). 

Wilayah adat menjadi penanda utama eksistensi nagari sebagai kesatuan masyarakat adat. Oleh sebab itu, dalam konteks nagari sebagai desa adat, kembalinya nagari kepangkuan negara semestinya untuk mengembalikan hak-hak ulayat nagari tersebut.

Maka format kelembagaan nagari yang paling cocok kedepan adalah "hybrid berakar adat," yaitu kelembagaan nagari dengan mengakomodasi berbagai tatanan normatif, adat, islam dan negara. Prinsip "tigo tali sapilin" bisa digunakan untuk penunjuk pembentukan kelembagaan nagari ini. Konsekuensi format ini adalah nagari tidak lagi terpisah antara pemerintah nagari dengan lembaga adat (KAN) dan adanya penyatuan wilayah adat dengan wilayah administrasi nagari.

Menemukan kembali nagari dalam formatnya sebagai desa adat menghadapi tiga tantangan, yaitu; Pertama, hibridasi nagari dualistik memungkinkan terjadi dengan adanya pengaturan lembaga adat dalam UU Desa. Dalam format ini, nagari tidak perlu menjadi desa adat penuh, namun cukup adat sebagai penanda atas pengaruhnya terhadap pemerintah desa (Vel dan Bedner 2016). 

Akibatnya, dualisme kelembagaan adat - pemerintah nagari dan pemisahaan wilayah nagari adat - wilayah nagari administratif potensial diadopsi kembali. Kedua, sistem pendanaan alokasi dana desa berbasis unit-unit desa memancing kembali nagari dalam format dualistik. Kecenderungan tersebut terlihat dalam wacana-wacana dari pengambil-pengambil kebijakan dari level provinsi sampai dengan kabupaten/kota dan mandeknya pembahasan raperda baru nagari di level Provinsi. 

Ketiga, Penataan nagari dan wilayah adat dalam rangka desa adat yang memotong wilayah administrasi kabupaten/kota. Pasal 101 UU Desa menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah provinsi dapat terlibat dalam penataan desa adat.

Pasal ini bisa menjadi dasar hukum untuk mendorong penataan wilayah adat dalam rangka desa adat oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi untuk mengkaji ulang batas wilayah administrasi kabupaten/ kota yang tumpang tindih dengan wilayah adat. Secara formil hal ini memungkinkan, namun secara implementatif akan dibenturkan pada sektoralisme urusan pemerintahan dan dinamika politik daerah dan nasional untuk perubahan batas-batas administrasi kabupaten/kota.

E. Penutup  

Desa adat adalah konsep hukum untuk memastikan masyarakat adat memperkuat kedudukan hukumnya subjek hukum dalam kerangka desa adat (Badan Hukum Publik). Sebagai konsep hukum, desa adat harus diuji dalam kenyataan sosial di lapangan dengan kenyataan hibridasi kesatuan-kesatuan masyarakat adat, khususnya nagari. Hibiridasi masyarakat adat, dalam konteks ini nagari adalah kenyataan sosial yang mensejarah. 

Pemahaman relasi antara konsep hukum desa adat dengan fakta terkini masyarakat adat yang hybrid penting untuk menghindari "penafsiran romantik" atas masyarakat adat dalam agenda perlindungan hak-hak masyarakat adat, khususnya nagari dan untuk menghindari jebakan klausul "kepunahan masyarakat adat" yang selama ini menjadi alat marjinalisasi masyarakat adat dalam hukum.

Dalam konteks nagari, nagari hybrid berakar adat adalah format yang mungkin ideal untuk di dorong kedepan dalam kerangka desa adat. Format ini berlandaskan pada dua hal, Pertama, adat, islam dan negara diletakkan pada struktur nagari yang formal, yang meletakkan elemen-elemen klasik minangkabau ini dalam legislatif nagari sebagai pengejawantahan prinsip "tigo tali sapilin," sehingga tidak lagi perlu dipisahkan antara pemerintah nagari dengan lembaga adat (KAN). 

Kedua, wilayah adat dan wilayah administrasi nagari adalah kesatuan wilayah nagari dalam kerangka desa adat, sehingga pemberlakukan kewenangan hak asal-usul dapat dilaksanakan.

Dinamika politik lokal juga menjadi hal penting untuk melihat kontestasi berbagai kepentingan dalam agenda perlindungan hak-hak masyarakat adat, khususnya dalam rute desa adat. Pentingnya memahami dinamika politik lokal ini tidak terlepas dari kewenangan daerah sebagai satu-satunya otoritas dalam pengakuan masyarakat adat. 

Pengalaman "Baliak Ka Nagari" dan penyusunan rancangan perda nagari tingkat provinsi di Sumatera Barat paska UU Desa 2014 memperlihatkan dinamika politik mempengaruhi pengakuan dan perlindungan hak-hak nagari. Kepentingan alokasi anggaran Dana Desa yang berbasis unit-unit desa menjadi ancaman implementasi nagari dalam kerangka desa adat di Sumatera Barat kedepan.

Terakhir, implementasi nagari dalam rangka desa adat untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menghadapi persoalan struktural terkait wilayah adat (hak ulayat). Kasus nagari guguk malalo, Kabupaten Tanah Datar yang wilayah adatnya melintasi dua kabupaten memerlukan langkah advokasi hukum yang lebih luas, yaitu mendorong Pemerintah Pusat dan Provinsi untuk terlibat dalam penataan desa adat dengan mengkaji ulang batas wilayah administrasi kabupaten berdasarkan wilayah adat. 

Selain itu, paska penetapan desa adat memerlukan tindakan lintas sektoral dalam memastikan hak-hak desa adat, khususnya dalam bidang sumber daya alam untuk menetapkan hak sumber daya alam desa adat dari berbagai sektor, baik itu tanah, hutan, air dan lain-lain. 

Misalnya, secara eksplisit hutan milik desa (adat) dan tanah ulayat disebutkan dalam UU Desa sebagai bagian dari hak desa adat, namun secara implementatif perlu prosedur hukum lintas sektor untuk memastikan hak-hak desa adat tersebut diakui.

Benar, berbagai hal seputar desa adat pada umumnya dan nagari pada khususnya bukan sesuatu yang mudah untuk dipecahkan, namun paling tidak makalah ini bisa menjadi pemancing kajian-kajian lain yang lebih dalam dan implementatif untuk menghadapi persoalan tersebut kedepan. Sesuai dengan judul makalah ini : Arus Baliak "Baliak Ka Nagari" menjadi semacam pernyataan pesimistis sekaligus tanda bahaya yang perlu disikapi masyarakat adat. 

Apakah arus baliak "Baliak Ka Nagari" sebagai suatu kecenderungan politik yang tidak bisa lagi dibendung, atau hanya sebuah tantangan saja. Menurut penulis, semua berpulang kepada kita sebagai aktor dalam agenda pembaruan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat pada umumnya dan nagari pada khususnya.

Kepustakaan  

Andiko dan Nurul Firmansyah (2014), Mengenal Pilihan-Pilihan Hukum Daerah Untuk Pengakuan Masyarakat Adat : Kiat-Kiat Praktis Bagi Pendamping Hukum Rakyat (PHR), Masyarakat Sipil (Pelaku Advokasi) dan Pemimpin Masyarakat Adat, HuMa, Jakarta.

Eko, Sutoro (2004), Desentralisasi dan Otonomi Lokal, Makalah dalam lokakarya "Desentralisasi dan Otonomi Nagari", yang diselenggarakan oleh  kerjasama IRE Yogyakarta; Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi (PKSBE), Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang; dan Pemerintah Kabupaten Agam Sumatera Barat, Bukit Tinggi.

Franz and Keebet von Benda-Beckmann (2006), Changing One is Changing All : Dynamics In the Adat-Islam-State Triangle, Journal Of Legal Pluralism.

Hadler, Jeffrey (2010), Sengketa Tiada Putus : Matriakat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau, Freedom Institute, Jakarta.

Idris dkk (ed) (2012), Penemuan Hukum Nasional Dan Internasional : Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. Yudha Bhakti, S.H.,M.H, Fikahati Aneska dan Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Nordholt, Henk Schulte dan Gerry Van Klinken (2014), Politik Lokal di Indonesia, KITLV, Jakarta.

Naim, Mochtar (2002), Menelusuri Jejak Budaya Melayu Minangkabau Melalui Pendekatan Konflik, Yayasan Citra Budaya, Padang.  

Safitri, Myrna dan Luluk Uliyah (2014), Adat di Tangan Pemerintah Daerah : Panduan Penyusunan Produk Hukum Daerah Untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Epsitema Institute, Jakarta.

Tim Inkuiri Nasional KOMNAS HAM (2016), Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia : Hak Masyarakat Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, KOMNAS HAM RI, Jakarta.

Vel, Jacqueline dan Adriaan W. Bedner (2016), Desentralisasi Dan Pemerintahan Desa Di Indonesia : Kasus Baliak Ka Nagari dan Kaitannya Dengan UU Desa : Wacana Transformasi Sosial Nomor 35, Tahun XVIII, 2016, INSIST.

Zakaria, Yando (2016), Baliak Ka Nagari Dan Desa Adat : Geliat Lokal Di Aras Nasional :  Wacana Transformasi Sosial Nomor 35, Tahun XVIII, 2016, INSIST.

[1] Proses asimiliasi sosial ini telah dilalui Minangkabau dalam sejarah perang dan integrasi. Taufik Abdullah (1984) menyebutkan bahwa Perang Paderi adalah revolusi sosial yang diusung islam modernis (wahabi) untuk menghapus tatanan lama (adat) yang menghasilkan tradisi integrasi yang ambivalen, antara memperkuat ketaatan Minangkabau sebagai Muslim disatu sisi dan ketaatan terhadap adat disisi lain yang saling kontradiksi sebagai tatanan normatif. 

Kemudian, Negara melalui Pemerintahan Kolonial Belanda mengambil peran dalam proses asimilisasi paska perang dan penaklukan Minangkabau melalui reorganisasi nagari dengan menformalkan lembaga adat nagari (Hadler 2010).

[2] Namun, tidak semua kembali ke bentuk lama sebelum desa, di beberapa desa, batas administratif telah membentuk batas sosial-politik baru yang diisi oleh pemukiman orang baru (orang datang) atau keturunan kelas kedua (kamanakan dibawah lutuik) dari struktur adat. 

Desa-desa ini kemudian membentuk nagari-nagari baru yang terpisah dari nagari asal (lama) akibat keengganan untuk kembali dalam kontrol adat, yang walaupun kontrol terhadap hak adat atas tanah masih berada ditangan struktur adat lama. Selain itu, wilayah adat yang luas juga menjadi alasan membentuk nagari baru yang terpisah dari nagari asal, dengan tetap menjaga kontrol wilayah adat pada nagari lama (F dan K Von Benda-Beckmann 2014).

[3] KAN adalah lembaga adat yang diciptakan semasa pemberlakukan UU Desa 1979 sebagai representasi nagari sebagai masyarakat adat untuk menghindari dampak pemecahan nagari menjadi desa-desa. Akibatnya, fungsi adat, termasuk pengurusan asset nagari (termasuk ulayat nagari) berada di tangan KAN.

[4] Pembelahan nagari-nagari baru (pemekaran) terjadi dibeberapa kabupaten, misalnya kabupaten Pesisir Selatan dan Pasaman. Di kabupaten Pasaman bahkan telah melahirkan dua perda yang mengatur nagari secara terpisah, yaitu Perda tentang Pemerintah Nagari (Perda 12/2011) dengan Perda Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat (Perda 13/2011).

[5] Model kelembagaan Nagari hybrid yang menyatu antara wilayah adat dengan wilayah administrasi memungkinkan pengembalian aset nagari (ulayat nagari) dengan syarat adanya konsensus antara KAN dengan Pemerintah Nagari untuk melaksanakan upaya tersebut. Kasus Nagari sungai kamunyang kabupaten Limapuluh Kota adalah salah satu contoh sukses pengembalian tanah ulayat nagari dari pemegang HGU dan hasil pemanfaatan air dari PDAM Kota Payakumbuh yang mengambil sumber airnya dari nagari ini. Untuk lebih detil, sebagian dijelaskan dalam artikel berikut: rightsandresources.org

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun