Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Arus Balik Nagari

18 November 2018   13:46 Diperbarui: 18 November 2018   14:42 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nordholt, Henk Schulte dan Gerry Van Klinken (2014), Politik Lokal di Indonesia, KITLV, Jakarta.

Naim, Mochtar (2002), Menelusuri Jejak Budaya Melayu Minangkabau Melalui Pendekatan Konflik, Yayasan Citra Budaya, Padang.  

Safitri, Myrna dan Luluk Uliyah (2014), Adat di Tangan Pemerintah Daerah : Panduan Penyusunan Produk Hukum Daerah Untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Epsitema Institute, Jakarta.

Tim Inkuiri Nasional KOMNAS HAM (2016), Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia : Hak Masyarakat Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, KOMNAS HAM RI, Jakarta.

Vel, Jacqueline dan Adriaan W. Bedner (2016), Desentralisasi Dan Pemerintahan Desa Di Indonesia : Kasus Baliak Ka Nagari dan Kaitannya Dengan UU Desa : Wacana Transformasi Sosial Nomor 35, Tahun XVIII, 2016, INSIST.

Zakaria, Yando (2016), Baliak Ka Nagari Dan Desa Adat : Geliat Lokal Di Aras Nasional :  Wacana Transformasi Sosial Nomor 35, Tahun XVIII, 2016, INSIST.

[1] Proses asimiliasi sosial ini telah dilalui Minangkabau dalam sejarah perang dan integrasi. Taufik Abdullah (1984) menyebutkan bahwa Perang Paderi adalah revolusi sosial yang diusung islam modernis (wahabi) untuk menghapus tatanan lama (adat) yang menghasilkan tradisi integrasi yang ambivalen, antara memperkuat ketaatan Minangkabau sebagai Muslim disatu sisi dan ketaatan terhadap adat disisi lain yang saling kontradiksi sebagai tatanan normatif. 

Kemudian, Negara melalui Pemerintahan Kolonial Belanda mengambil peran dalam proses asimilisasi paska perang dan penaklukan Minangkabau melalui reorganisasi nagari dengan menformalkan lembaga adat nagari (Hadler 2010).

[2] Namun, tidak semua kembali ke bentuk lama sebelum desa, di beberapa desa, batas administratif telah membentuk batas sosial-politik baru yang diisi oleh pemukiman orang baru (orang datang) atau keturunan kelas kedua (kamanakan dibawah lutuik) dari struktur adat. 

Desa-desa ini kemudian membentuk nagari-nagari baru yang terpisah dari nagari asal (lama) akibat keengganan untuk kembali dalam kontrol adat, yang walaupun kontrol terhadap hak adat atas tanah masih berada ditangan struktur adat lama. Selain itu, wilayah adat yang luas juga menjadi alasan membentuk nagari baru yang terpisah dari nagari asal, dengan tetap menjaga kontrol wilayah adat pada nagari lama (F dan K Von Benda-Beckmann 2014).

[3] KAN adalah lembaga adat yang diciptakan semasa pemberlakukan UU Desa 1979 sebagai representasi nagari sebagai masyarakat adat untuk menghindari dampak pemecahan nagari menjadi desa-desa. Akibatnya, fungsi adat, termasuk pengurusan asset nagari (termasuk ulayat nagari) berada di tangan KAN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun