Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Arus Balik Nagari

18 November 2018   13:46 Diperbarui: 18 November 2018   14:42 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Format hibrida nagari sendiri telah lama terbentuk sebagai hasil institusionalisasi tatanan norma yang saling bersaing sekaligus mengakomodasi antara adat, islam dan negara serta menjadi semacam konsensus sosial (Taufik Abdullah 2010).[1] 

Ketiga tatanan normatif itu melembaga dalam "tigo tali sapilin" dengan representasi tiga kepemimpinan klasik Minangkabau, penghulu, ulama dan cadiak pandai (F dan K Von Benda Beckmann 2006). Dalam konteks ini, pencarian "keaslian adat" atau kembali kepada tatanan lama yang asli adalah sia-sia yang dihadapkan kepada kenyataan "adat yang hybrid," yaitu adat yang baru dari hasil relasi dinamis dengan islam dan negara.

Dalam sejarahnya yang termutakhir, dukungan tiga eksponen adat, islam dan negara adalah kunci kesuksesan "Baliak Ka Nagari" yang diputuskan melalui Perda 9/2000 untuk kembali pada teritorial nagari sebelum pemberlakukan UU Desa 1979 (F dan K Von Benda-Beckmann 2014). 

Kembali pada teritorial sebelum UU Desa 1979 adalah kunci mengembalikan Nagari berakar adat dalam arus "Baliak Ka Nagari," yaitu format kelembagaan hybrid dengan landasan-landasan adat dalam kesatuan teritorial adat-administratif. Proses penggabungan desa-desa kembali ke nagari terjadi melalui prakarsa nagari dan dukungan resmi Pemerintah Daerah kabupaten (F dan K Von Benda-Beckmann 2014).[2] 

Alih-alih memperkuat adat, nagari baru ini malah memperkuat hibridasi dengan memantapkan tiga kepemimpinan klasik Minangkabau (panghulu, alim ulama, dan cadiak pandai)  dan dua kelompok sosial fungsional baru (Pemuda dan Perempuan Adat) ke dalam lembaga legislatif Nagari di samping Wali Nagari sebagai representasi eksekutif Nagari. Format ini mengikuti model modern tentang pemerintahan dan memperkuat pengaruh adat kedalam legislatif nagari. 

Ambivalensi muncul dalam sistem nagari baru ini dengan mempertahankan KAN sebagai lembaga adat yang diatur sebagian fungsinya diatur oleh Perda, yaitu terkait penyelesaian konflik adat.[3] 

KAN menjadi  lembaga adat berisi pemimpin-pemimpin suku (Klan) bersifat semi-informal. Akibatnya, pengembalian kekuasaan aset nagari, termasuk ulayat nagari ke Pemerintah Nagari dihambat oleh KAN yang menganggap dirinya sebagai representasi adat. Situasi ini melahirkan ketegangan antara nagari dengan KAN yang melahirkan konflik dan juga akomodasi. Terlepas dari ketegangan itu, pemahaman yang sama muncul dalam pemahaman masyarakat nagari, bahwa aset nagari, termasuk ulayat nagari mesti dikembalikan ke nagari yang saat ini sebagian besar telah dikuasai oleh negara melalui kawasan hutan dan konsesi-konsesi (F dan K Von Benda-Beckmann 2014). 

Sistem nagari paska "Baliak Ka Nagari" bukanlah hasil yang baku, namun proses dinamis untuk menciptakan nagari berakar adat. Sejak diberlakukannya sistem anggaran desa baru berbasis unit desa dari Pemerintah Pusat di tahun 2005, "Baliak Ka Nagari" tidak lagi menarik (Vel dan Bedner 2016). 

Pemerintah Daerah Kabupaten-Kabupaten mulai kembali membelah nagari menjadi nagari-nagari baru dan memberlakukan KAN sebagai lembaga yang mempunyai otoritas atas wilayah adat yang terpisah dari wilayah nagari (secara administratif).[4] Dalam konteks ini, hibridasi bukan lagi "berakar pada adat" dengan batas wilayah adat dan adminitratif yang sama dalam kelembagaan yang hybrid,[5] namun hibridasi yang memisahkan otoritas adat dengan pemerintahan desa secara tegas (dualistik) seperti model desa orde baru. 

Proses ini terus berlanjut sampai sekarang dalam dua kutub yang saling tarik menarik, antara nagari berakar adat dengan nagari dualistik. Selain soal kelembagaan, belum tuntasnya penyatuan wilayah adat dengan wilayah administrasi melahirkan persoalan yang lebih kompleks. 

Kasus nagari guguk malalo kabupaten Tanah Datar adalah contoh teritorialisasi nagari yang terpisah antara wilayah adat dengan wilayah administrasi desa akibat batas wilayah administrasi kabupaten, yaitu wilayah adat nagari yang melintasi batas wilayah administrasi kabupaten Tanah Datar dengan kabupaten Padang Pariaman. Dalam situasi ini, ikatan wilayah adat sebagai penanda nagari kembali lagi kepada ikatan informal adat akibat kesulitan penataan batas-batas formal dalam unit administrasi desa dan kabupaten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun