Dalam konteks tersebut, aktor-aktor lain seperti masyarakat adat dan lokal adalah "pihak ketiga (aktor lain)" dalam skema pengelolaan hutan negara, sehingga posisi mereka bukanlah subjek pengelola namun sebagai objek. Karakter UUK ini menunjukan bahwa kebijakan kehutanan Indonesia masih menganut "state based forest management."
Negara menjalankan kekuasaan atas hutan dengan menggabungkan pengelolaan fungsi ekosistem dan sekaligus penguasaan lahan hutan melalui penetapan status kawasan hutan. Penetapan kawasan hutan menggunakan parameter utama tegakan hutan (kayu) untuk menentukan fungsi-fungsi kawasan hutan paralel dengan penetapan status Negara atas hutan.Â
Negara menetapkan kawasan hutan atas daratan Indonesia dengan skala luas termasuk pada lokasi penelitian ini melalui keputusan menteri. Dalam prosedurnya, penetapan kawasan hutan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut, yaitu; penunjukan kawasan oleh menteri, penataan batas dan penetapan hutan definitif, namun dalam praktek pelaksanaan, kawasan hutan Indonesia masih berupa penunjukan kawasan hutan sehingga kepastian legalitas penguasaan hutan oleh Negara masih diragukan.
Kajian ini menunjukan bahwa resistensi masyarakat adat atas penguasaan hutan oleh Negara telah dimulai sejak proses penetapan kawasan hutan. Masyarakat adat malalo tigo jurai menolak klaim negara tersebut sejak dari proses awal, yaitu penataan batas kawasan melalui aksi-aksi boikot.Â
Aksi boikot masyarakat muncul akibat penolakan negara atas klaim hak adat pada kawasan-kawasan yang akan ditetapkan tersebut. Hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan penguasaan hutan oleh Negara yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan partisipasi publik tidak mempunyai legitimasi yang kuat secara sosial.
Uniknya, Negara melaksanakan pengelolaan hutan pada lokasi kajian tanpa memastikan kekuatan legalitas dan legitimasi sosial. Pengelolaan hutan negara pada lokasi kajian dilaksanakan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).Â
Pengelolaan hutan oleh KPH sendiri dibagi atas dua bentuk pengelolaan yang merujuk pada basis kewenangan pusat dan daerah, yaitu Pemerintah Daerah di kawasan lindung dan Pemerintah Pusat (BKSDA) di kawasan Cagar Alam. Secara formal, KPH pada masing-masing kawasan tersebut berfungsi sebagai unit pengelolaan hutan tingkat tapak untuk memastikan efektifitas pengelolaan hutan pada unit-unit kelola.
Pemerintah telah menetapkan struktur kelembagaan KPH kawasan hutan lindung Bukit Barisan I dengan kapasitas 23 orang staf untuk mengurus 80,327.52 Ha lahan hutan. Dengan kapasitas kelembagaan tersebut dan minimnya dukungan masyarakat adat di sekitar kawasan mengakibatkan unit manajemen pengelolan hutan tidak bekerja efektif.Â
Pada tataran lebih teknis, terjadi kendala-kendala pengelolaan hutan, misalnya kasus pelaksanaan program pemerintah tentang Reforestasi (GNRHL) mengalami kegagalan akibat minimnya dukungan masyarakat adat malalo tigo jurai terhadap program reforestasi tersebut karena dianggap mengabaikan hak-hak adat.
3. Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Adat Malalo Tigo JuraiÂ
Pengelolaan hutan oleh masyarakat adat malalo tigo jurai berbasis pada tradisi / adat. Adat lahir dari sistem sosial yang mapan dan bersifat autonom dalam mengelola sumber daya alam. konsep adat dalam mengelola hutan berdasarkan pada penguasaan adat atas wilayah adat atau dikenal dengan hak ulayat.Â