Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Perbandingan Pengelolaan Hutan oleh Negara dengan Masyarakat

22 Oktober 2018   17:58 Diperbarui: 22 Oktober 2018   18:01 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tataruangpertanahan.com

(Studi Kasus Masyarakat Adat Malalo Tigo Jurai, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat)[1]

*Oleh : Nurul Firmansyah, Mora Dingin dan Nora Hidayati

1. Lokasi Kajian

Kajian ini berlokasi di hamparan wilayah adat (ulayat) masyarakat adat Malalo Tigo Jurai yang beririsan dengan kawasan hutan lindung Bukit Barisan I dan Cagar Alam Barisan I, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.  Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif oleh masyarakat adat malalo tigo jurai, luas wilayah adat mereka adalah 10,441 Hektar. Secara geografis, wilayah adat ini berada di pantai barat danau singkarak pada gugusan pegunungan bukit barisan sumatera, dengan ketinggian 500 sampai 600 meter diatas permukaan laut dengan suhu rata-rata 25C dan curah hujan rata-rata 2683 mm.

Saat ini, wilayah adat Malalo Tigo Jurai terbagi atas dua wilayah Nagari (desa) administratif, yaitu Nagari Guguk Malalo dan Nagari Padang Laweh Malalo yang merupakan hasil pembelahan Nagari pada masa Kolonial Belanda. Wilayah adat malalo tigo jurai berada di kabupaten tanah datar dan sebagian kecil juga berada di Nagari Anduring kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat. Jumlah populasi masyarakat adat malalo tigo jurai mencapai 6.348 jiwa yang terdiri dari 3.158 laki-laki dan 3.190 perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.732. Mata pencarian utama masyarakat adalah bidang pertanian irigasi sawah-padi, perladangan hutan (agroforestry), penangkapan ikan danau, dan sebagian kecil berdagang, pengrajin, pegawai sipil dan swasta.

Wilayah adat Malalo Tigo Jurai beririsan dengan kawasan hutan Lindung Bukit Barisan I dan Cagar Alam Barisan I, yang masing-masing memiliki luas 28.100 Ha untuk kawasan hutan lindung Bukit Barisan I dan 74.821,00 Ha untuk Cagar Alam Barisan I. Kawasan hutan lindung Bukit Barisan I dan Cagar Alam Barisan I melintasi enam wilayah administrasi kabupaten / kota di Provinsi Sumatera Barat, yaitu ; Padang Panjang, Tanah Datar, Solok, Padang, Padang Pariaman, dan Pesisir Selatan. Adapun luas wilayah adat Malalo Tigo Jurai sendiri yang masuk dalam kawasan hutan lindung Bukit Barisan I dan Cagar Alam Barisan I seluas 82,38 persen.

Gambar (1) : Peta Kawasan Hutan Lindung dan Suaka Alam Bukit Barisan 

peta lindung singkarak.png (DOKPRI)
peta lindung singkarak.png (DOKPRI)

2. Pengelolaan Hutan oleh Negara 

Pengelolaan hutan oleh Negara di kawasan hutan lindung Bukit Barisan I dan Cagar Alam Barisan I berbasis pada Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999 tentang kehutanan (UUK). UUK merupakan undang-undang  sektor sumber daya alam yang mengatur tentang pengelolaan hutan, yang menjadi dasar penguasaan hutan oleh negera. 

UUK memperkuat doktrin "Hak Menguasai Negara" sebagai domein Negara atas seluruh sumber daya hutan. Dasar ini kemudian menjadikan negara sebagai aktor utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan. 

Dalam konteks tersebut, aktor-aktor lain seperti masyarakat adat dan lokal adalah "pihak ketiga (aktor lain)" dalam skema pengelolaan hutan negara, sehingga posisi mereka bukanlah subjek pengelola namun sebagai objek. Karakter UUK ini menunjukan bahwa kebijakan kehutanan Indonesia masih menganut "state based forest management."

Negara menjalankan kekuasaan atas hutan dengan menggabungkan pengelolaan fungsi ekosistem dan sekaligus penguasaan lahan hutan melalui penetapan status kawasan hutan. Penetapan kawasan hutan menggunakan parameter utama tegakan hutan (kayu) untuk menentukan fungsi-fungsi kawasan hutan paralel dengan penetapan status Negara atas hutan. 

Negara menetapkan kawasan hutan atas daratan Indonesia dengan skala luas termasuk pada lokasi penelitian ini melalui keputusan menteri. Dalam prosedurnya, penetapan kawasan hutan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut, yaitu; penunjukan kawasan oleh menteri, penataan batas dan penetapan hutan definitif, namun dalam praktek pelaksanaan, kawasan hutan Indonesia masih berupa penunjukan kawasan hutan sehingga kepastian legalitas penguasaan hutan oleh Negara masih diragukan.

Kajian ini menunjukan bahwa resistensi masyarakat adat atas penguasaan hutan oleh Negara telah dimulai sejak proses penetapan kawasan hutan. Masyarakat adat malalo tigo jurai menolak klaim negara tersebut sejak dari proses awal, yaitu penataan batas kawasan melalui aksi-aksi boikot. 

Aksi boikot masyarakat muncul akibat penolakan negara atas klaim hak adat pada kawasan-kawasan yang akan ditetapkan tersebut. Hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan penguasaan hutan oleh Negara yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan partisipasi publik tidak mempunyai legitimasi yang kuat secara sosial.

Uniknya, Negara melaksanakan pengelolaan hutan pada lokasi kajian tanpa memastikan kekuatan legalitas dan legitimasi sosial. Pengelolaan hutan negara pada lokasi kajian dilaksanakan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). 

Pengelolaan hutan oleh KPH sendiri dibagi atas dua bentuk pengelolaan yang merujuk pada basis kewenangan pusat dan daerah, yaitu Pemerintah Daerah di kawasan lindung dan Pemerintah Pusat (BKSDA) di kawasan Cagar Alam. Secara formal, KPH pada masing-masing kawasan tersebut berfungsi sebagai unit pengelolaan hutan tingkat tapak untuk memastikan efektifitas pengelolaan hutan pada unit-unit kelola.

Pemerintah telah menetapkan struktur kelembagaan KPH kawasan hutan lindung Bukit Barisan I dengan kapasitas 23 orang staf untuk mengurus 80,327.52 Ha lahan hutan. Dengan kapasitas kelembagaan tersebut dan minimnya dukungan masyarakat adat di sekitar kawasan mengakibatkan unit manajemen pengelolan hutan tidak bekerja efektif. 

Pada tataran lebih teknis, terjadi kendala-kendala pengelolaan hutan, misalnya kasus pelaksanaan program pemerintah tentang Reforestasi (GNRHL) mengalami kegagalan akibat minimnya dukungan masyarakat adat malalo tigo jurai terhadap program reforestasi tersebut karena dianggap mengabaikan hak-hak adat.

3. Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Adat Malalo Tigo Jurai 

Pengelolaan hutan oleh masyarakat adat malalo tigo jurai berbasis pada tradisi / adat. Adat lahir dari sistem sosial yang mapan dan bersifat autonom dalam mengelola sumber daya alam. konsep adat dalam mengelola hutan berdasarkan pada penguasaan adat atas wilayah adat atau dikenal dengan hak ulayat. 

Hak ulayat adalah sistem penguasaan tradisional yang bersifat holistik berdasarkan kesamaan garis keturunan (geneologis) dan kesamaan tempat tinggal (teritorial). Hak ulayat semaca bundle of rights yang mempunyai dua tiplogi hak, yaitu; pertama, hak milik adat yang bersifat individual bagi seluruh anggota masyarakat adat dan bersifat komunal berbasis klan-klan (suku/kaum), kedua, hak ulayat yang berdimensi publik (ulayat nagari) yang bersifat komunal bagi seluruh klan-klan dalam kesatuan masyarakat adat tersebut.

Corak pengelolaan wilayah adat mengikuti tipe hak ulayat ini, dimana bagi tanah-tanah yang bersifat hak milik adat dikelola untuk pemukiman  masyarakat adat, sawah irigasi dan perladangan hutan (agroforest), sedangkan hak ulayat publik adalah hutan alam yang diperuntukkan bagi pemanfaatan publik masyarakat adat, seperti membangun fasilitas umum dan jasa lingkungan. 

Hutan bagi masyarakat adat adalah sub-sistem dari ekosistem yang lebih luas dalam wilayah adat, sehingga fungsi utama hutan adalah area tangkapan air bagi kebutuhan pertanian dan pemukiman masyarakat adat.

Pola pengelolaan hutan oleh masyarakat adat malalo tigo jurai dilaksanakan secara informal berdasarkan adat. Penegakan adat melalui dua media, yaitu;  pertama, media aturan adat dan kedua, media ritual. Aturan adat meliputi peruntukan lokasi-lokasi tertentu sebagai hutan larangan dengan sanksi-sanksi sosial bagi yang melanggar. 

Sanksi sosial yang paling tinggi adalah pengucilan individu dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari. Sedangkan media ritual salah satunya adalah "mambuka kapalo banda", yaitu ritual tahunan untuk merawat sumber mata air dan penentuan zakat bagi masing-masing individu masyarakat adat yang mengelola wilayah adat. 

Ritual ini dilaksanakan dengan menyembelih seekor kerbau dan dagingnya dibagi-bagi pada masing-masing individu masyarakat adat yang besarnya potongan daging tersebut berdasarkan luas hak milik adat pada masing-masing individu dan penentuan besarnya zakat yang dikeluarkan dari pemanfaatan tanah tersebut. 

Ritual ini sebagai media pengetahuan atas hak milik individu-individu masyarakat adat yang direproduksi secara terus menerus secara regular, mirip dengan sistem title hak secara informal. Selain itu, penentuan besarnya zakat dalam ritual ini menjadi media religius sekaligus sosial pertanggung jawaban individu pada kepentingan publik dan kesejahteraan bersama.

4. Diskusi

Perbedaan menonjol pengelolaan hutan oleh negara dengan masyarakat adat malalo tigo jurai dimulai dari perbedaan pendekatan pengelolaan hutan.  Pengelolaan hutan oleh Negara memakai pendekatan berbasis komoditi atau lebih spesifik lagi berbasis tegakan hutan (sustained yield principle). 

Karakter utama pendekatan ini adalah pengelolaan terpadu yang bersifat parsial dari pengelolaan ekosistem hutan, yang bertujuan untuk optimalisasi aspek ekonomi, sosial dan ekologi (sustainable forest management) . 

Pendekatan tersebut mengutamakan pendekatan penguasaan landscape ekosistem hutan yang dinilai dari nilai sumber daya hutan sebagai sumber produksi kayu, non kayu dan jasa-jasa lingkungan. Pendekatan pengelolaan hutan negara ini kemudian dilegitimasi berdasarkan keputusan hukum formil melalui penentuan kawasan hutan dengan skala yang luas.

Pendekatan pengelolaan hutan negara bergantung sepenuhnya pada formalitas hukum yang sentralistik, pengelolaan lahan hutan yang luas tidak diiringi dengan kapasitas kelembagaan yang kuat, sehingga alat utama pengelolaan hutan oleh Negara adalah bersumber dari izin pemerintah sebagai satu-satunya cara untuk mengakses sumber daya hutan dan sekaligus pengendali bagi aktor-aktor lain selain negara. 

Pendekatan tersebut terbukti lemah dalam menghentikan laju kerusakan hutan dari tahun ke tahun akibat aktifitas pembalakan kayu, pembukaan lahan (land clearing) dan tumpang tindih izin eksploitasi sumber daya.

 Hukum formil sebagai basis legitimasi penguasaan dan pengelolaan hutan oleh pemerintah ternyata belum sepenuhnya cukup menjaga ekosistem hutan lebih baik kedepan.

Disisi lain, pengelolaan hutan oleh masyarakat, khususnya masyarakat adat malalo tigo jurai menggunakan pendekatan yang berbeda. Pengetahuan masyarakat malalo tigo jurai atas sumber daya hutan bersifat holistik, dengan tidak memisahkan hutan dengan sumber daya alam lainnya. 

Hutan dan sumber daya alam lainnya adalah kesatuan ekosistem yang utuh sebagai sebuah hamparan (landscape) yang disebut dengan ulayat (wilayah adat), sehingga hutan hanya subsistem dari ekosistem yang lebih luas. Pendekatan pengelolaan hutan oleh masyarakat lebih cenderung pada pendekatan pengelolaan hutan berbasis ekosistem (Ecosystem Based Management of Forest Resource).

Selanjutnya, basis pengelolaan hutan oleh masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada formalitas hukum. Hukum (hukum adat, hukum Negara dan bahkan hukum islam) adalah pelaksanaan autentik dari nilai-nilai sosial masyarakat malalo tigo jurai. Nilai-nilai sosial dalam pengelolaan hutan ini adalah "tradisi" atau dikenal juga dengan "adat" yang hidup secara informal dari pengetahuan kearifan lokal masyarakat terhadap alam. pendekatan-pendekatan informal lebih utama dalam mengelola hutan. 

Dalam konteks ini, sistem sosial berbasis tradisi inilah yang menopang keberlanjutan pengelolaan hutan dan sumber daya alam oleh masyarakat malalo tigo jurai sampai saat ini secara efektif dan efisien.

Isu keadilan juga menjadi jantung analisis kajian ini. Pengelolaan hutan oleh Negara dengan cakupan penguasaan lahan hutan yang luas dan pendekatan sentralistik-formil menghilangkan hak-hak masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

 Hak-hak masyarakat yang basis legitimasinya adalah hukum informal (hukum adat) berhadapan dengan hukum formal yang kuat dengan dukungan struktur kekuasaan negara. Akibatnya hak-hak mereka, baik yang bersifat individual dan komunal tidak diakui.

Sisi lain, koreksi terhadap model pengelolaan hutan yang bersumber dari negara ini dikoreksi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.35 tahun 2012 tentang konstitusionalitas hutan adat (Putusan MK 35). Putusan MK 35 mengakui secara bersyarat hak ulayat (adat) dalam kawasan hutan. 

Syarat pengakuan tersebut adalah adanya penetapan masyarakat adat sebagai subjek hukum oleh aturan daerah. Pengakuan bersyarat tersebut menjadi hambatan pelaksanaan pengakuan hutan adat, setidaknya terlihat dari belum adanya satupun hutan adat yang ditetapkan oleh Pemerintah, termasuk hutan adat masyarakat adat Malalo Tigo Jurai.

Pengakuan hak ulayat dalam kawasan hutan adalah prasyarat penting untuk menghindari konflik tenurial yang berkepanjangan. Konflik tenurial ini telah memakan biaya, energi, serta dampak buruk bagi keberlangsungan ekosistem hutan. Kajian ini menggambarkan kendala-kendala pengelolaan hutan telah dimulai dari proses awal, yaitu sejak tahap perencanaan hutan dan penetapan kawasan hutan. 

Artinya persoalan mendasar pengelolaan hutan adalah ketidakpastian hak, bukan hanya pada akses atas sumber daya. Penolakan masyarakat adat malalo tigo jurai atas penunjukan kawasan hutan lindung Bukit Barisan I yang tumpang tindih dengan wilayah adatnya sebagai contoh kasus. 

Kasus tersebut juga menunjukan bahwa legitimasi sosial dan politik kepada Negara atas kawasan hutan minim, sehingga dukungan-dukungan masyarakat yang hidup dan bergantung pada hutan sulit untuk dicapai. Dampaknya menjalar sampai tingkatan yang lebih operasional dalam pengelolaan hutan, seperti kegagalan-kegagalan pelaksanaan program pengelolaan hutan dan minimnya dukungan masyarakat atas kelembagaan pengelolaan hutan negara ditingkat tapak.

Kepustakaan

Afrizal, 2013, Institusi Penguasaan Tanah Dan Konflik Agraria Struktural di Indonesia: Kasus Kehutanan Dan Perkebunan, Makalah, Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli: Medan

Arizona, dkk 2013, Anotasi Keputusan MK. 45 Tahun 2011  tentang Pengujian Konsitusinalitas Kawasan Hutan dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, HuMA & Epistema Institute, Jakarta.

Desriko, dkk. 2014. Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Lokal, ARIFHA, Padang.

Suharjito, Didik dan Haryanto R.Putro (ed). 2013. Pembangunan Kehutanan Indonesia Baru : Refleksi dan Inovasi Pemikiran, Bogor, IPB Press.

Firdaus, Asep Yunan, dkk. 2007. Mengelola Hutan dengan Memenjarakan Manusia. HuMa. Jakarta

Firmansyah, Nurul, dkk.2007. Dinamika Hutan Nagari di Tengah Jaring-Jaring Hukum Negara, Perkumpulan HuMA, Perkumpulan Qbar, Jakarta.

Hidayat, Rahmad,  dkk. 2003.  Parak Mutiara di Tepi Danau, Yayasan Warsi, Jambi.

Indrizal, Edi, dkk. 2010. REDD; Antitesis Reboisasi. Scale-Up. Pekanbaru

Warman, Kurnia, dkk. 2007. Nasib Tenurial Adat  Atas Kawasan Hutan; Tumpang Tindih Klaim Adat dan Negara pada Aras Lokal di Sumatera Barat, Perkumpulan HuMA dan Perkumpulan Qbar, Jakarta.

Warman, Kurnia, Sardi I, Andiko, Galudra G. 2012. Studi Kebijakan Penguatan Tenurial Masyarakat Dalam Penguasaan Hutan. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office and Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum yang Berbasiskan Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Jakarta.

Safitri, A. Myrna dan Tristam Moeliono, ed (2010) Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia : Studi tentang tanah, kekayaan alam, dan ruang di masa kolonial dan desentralisasi, HuMa dan Van Vollenhoven Institute, Jakarta.

Steni, Bernardinus, dkk. 2013. Mitigasi Perubahan Iklim dan Peran Komunitas. HuMa. Jakarta

Tarida, Hernawati, dkk, 2014. Potret Pengelolaan Sumber Daya Alam Mentawai,. YCMM, Padang.

Dokumen 

Dinas Kehutanan, 2012, Statistik Kehutanan Propinsi Sumatera Barat Tahun 2012

Dinas Kehutanan, 2013, Statistik Kehutanan Propinsi Sumatera Barat Tahun 2013

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Bukit Barisan, 2014. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Bukit Barisan 2015- 2024

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 422 Tahun 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 35 Tahun 2013 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan

[1] Kajian ini merupakan bagian dari Penelitian Perbandingan Pengelolaan Hutan Negara dengan Masyarakat yang dilaksanakan oleh tim Peneliti HuMa, Qbar dan Bantaya. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2015 dengan  lokasi Penelitian di Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sulawesi Tengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun