Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam dan Adat di Minangkabau, Relasi Dinamik Islam dan Tradisi

21 Oktober 2018   08:51 Diperbarui: 21 Oktober 2018   09:12 1582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syariah sebagai sumber nilai, hukum, prinsip kepercayaan agama islam sendiri adalah hukum islam yang lahir dari kepercayaan agama islam. Hukum islam dalam pengertian doktrinal ini dijelaskan dalam fiqh yang bersumber pada dalil-dalil (al-adillatusy syari'iyah), yaitu penentuan hukum bagi sesuatu dari dalil.

Sedangkan dalil adalah pandangan yang benar dan tepat kepada hukum syariah yang amali, artinya menunjuk dan mengatur kepada bagaimana melaksanakan sesuatu amalan yang syariah dengan cara yang tepat dan benar, Sanusi (2015). Dalil dapat berupa wahyu (Matluwwun), yaitu Al-Qur'an, dan bukan wahyu (Ghairu matluw) yaitu As-Sunah. Selain As-Sunah, dalil bukan wahyu juga berupa Ijma dan Qiyas.

Kemudian, Fiqh menjelaskan bahwa tingkatan sumber-sumber hukum syariah yang berdiri sendiri sebagai sesuatu yang asli adalah Al-Qur'an dan As-Sunah, sedangkan yang menempati urutan berikutnya, yaitu; Ijma dan Qiyas. Ijma dan Qiyas sendiri adalah hasil dari penalaran fiqh yang disebut dengan Ijtihad, Sanusi (2015). 

Syariah dalam pengertian fiqh ini bersifat doktrinal, dengan Al-quran dan Hadis sebagai sumber hukum utama syariah, sehingga dalil dari penafsiran dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat mesti merujuk pada sumber utama syariah ini.

Awalnya, pemahaman secara doktrinal dalam tradisi keberagamaan islam, terutama relasinya dengan adat di masyarakat melayu-Indonesia, khususnya masyarakat minangkabau diyakini oleh para scholar, terutama scholar Belanda di masa pemerintahan kolonial. Hal ini seperti yang dijelaskan Van den Berg dengan konsepnya: "reception in comflexu," yaitu; norma-norma adat merupakan penyaringan dari prinsip dan norma-norma syariah, sehingga norma-norma adat adalah resepsi dari norma-norma islam tersebut.

Konsep ini kemudian ditentang oleh berbagai ahli pada masa-masa selanjutnya, yang menyebutkan bahwa perkembangan islam di dunia Melayu-Indonesia, khususnya minangkabau melahirkan dinamika baru islam, yaitu dinamika yang lahir dari konflik dan akomodasi antara nilai-nilai dan budaya islam dengan budaya dan tradisi (adat), sehingga melahirkan berbagai varian Islam baru di dunia Melayu-Indonesia, juga disebut dengan "Islam Lokal," (Fathurrahman, 2008).

Islam lokal adalah hasil sumbangsih masyarakat setempat dalam memperkaya mozaik budaya islam dan bentuk kreatif dari suatu masyarakat untuk memahami dan menerjemahkan islam sesuai dengan budaya meraka, Fathurrahman (2008).

Corak Islam Lokal 

Pembentukan corak islam lokal tidak terlepas dari sejarah penyebaran islam di dunia melayuindonesia yang banyak melibatkan tokoh-takoh sufi dibandingkan fiqh, Lukito (2008). Selanjutnya, A.H. Jhon menjelaskan bagaimana faktor sufisme memperkuat penyebaran islam di wilayah ini, yaitu; karena kemampuan para sufi menyajikan islam dalam kemasan aktraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan islam atau kontuinitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal, Azra (2013).

Akibatnya, pandangan dunia sufi menjadi sarana utama memperkenalkan konsep keyakinan islam kepada penduduk asli (masyarakat adat). Dengan kecenderungan kuat mistisme dalam gagasan sufi mengenai agama, maka pendekatan yang longgar terhadap sistem keyakinan dan tradisi lokal (adat) tersebar, sehingga wajar bahwa aktualisasi keberagamaan masyarakat melayu indonesia, khususnya minangkabau lebih merujuk pada tradisi Islam lokal tersebut, yang melahirkan keterjalinan ajaran lokal adat dengan islam sebagai ajaran universal atau dalam kata lain, membentuk domestikasi islam.

Jalinan adat dan islam di kalangan masyarakat minangkabau telah dimulai sejak orang minangkabau menerima islam sebagai agamanya, yakni sejak berdirinya kerajaan Pagaruyung pada abad XVI yang memunculkan sistem tiga raja, Raja Alam (raja dunia), Raja Adat (raja hukum adat), dan Raja Ibadat (raja agama islam), Ricklefs, hal 310 (2008).

Jalinan islam dengan adat berjalan bertahap, seiring dengan penyebaran islam di Minangkabau, yaitu dari wilayah pesisir (rantau) ke daerah pedalaman (darek), yang dalam kosakata Minangkabau disebutkan sebagai; "Syara' Mandaki, Adat Manurun."

Corak tersebut terlihat di Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. masyarakat Nagari Guguk Malalo mengalami proses islamisasi ini dengan tarekat Syattariah sebagai sarana utama penyebarannya, yang dipelopori oleh Tuanku 50. 

Figur Tuanku 50 sebagai guru tasawuf tarekat (murshid) Syattariah mempunyai pengaruh kuat dan mendalam bagi corak keberagamaan masyarakat nagari guguk malalo. 

Tuanko 50 sendiri adalah murid khalifah kelima dari Tuanku Burhanuddin Ulakan yang berpengaruh melebihi wilayah nagari guguk malalo, yaitu sampai ke daerah Luhak 50 Kota (Kabupaten 50 Kota), Sijunjung dan Pariaman.

Dalam penyebarasan ajaran Islam, Tuanku 50 mengajarkan agama yang terintegrasi dengan ajaran adat yang telah ada sebelum kehadiran islam, dengan corak hindu yang sedikit banyak mempengaruhi. Ritual-ritual yang hidup sampai sekarang di Nagari Guguk Malalo, seperti ritual mambuka kapalo banda misalnya, adalah bentuk aktual jalinan nilai islam dengan tradisi adat.

Corak tarekat seperti ini tidak terlepas dari karakter awal Syattariah yang berakar sinkretis pada perkembangan awalnya di India, sehingga konsep-konsep tasawuf syattariah memiliki persamaan dengan konsep-konsep dan ritual hindu. 

Dalam perkembangannya di Melayu-Indonesia mengalami pembaruan oleh Abdurrauf sebagai tokoh sentral penyebaran tarekat ini dengan melepaskan citra syattariah awal yang terlalu sinkretik dan mengidentikkan tarekatnya kepada al-Qushahshi (tarekat Qushashiyyah).

Tarekat Qushashiyyah sendiri adalah nama lain dari tarekat syattariah yang diperbaharui dengan melepaskan tarekatnya dari citra tarekat syattariah awal yang terlalu sinkretis, (Azzra, 1994). 

Dengan konteks tersebut, maka sifat dan corak tarekat syattariah yang berkembang di dunia Melayu-Indonesia pada abad 17-18 M adalah kecenderungannya untuk melakukan rekonsiliasi antara tradisi tasawuf dengan tradisi syariat.

Ajaran Abdurrauf tersebut kemudian diikuti oleh ulama-ulama sufi Minangkabau, yang dibawa oleh Tuanku Burhanuddin Ulakan yang kemudian menjadi murshid bagi ulama-ulama sufi Minangkabau, termasuk Tuanku 50 yang berperan di nagari guguk malalo. 

Rekonsiliasi antara tradisi tasawuf dengan fiqh ini sendiri merupakan bentuk dari tanggapan konflik antara ulama sufi (ahl-haqiqah) dengan para ulama fiqh (ahl al-shari'ah), Fathurrahman (2008).

Gerakan Padri : Konflik dan Akomodasi 

Gerakan padri pada abad 19 M adalah fenomena sosial penting masyarakat minangkabau tentang bagaimana mereka merespon konflik dan mengakomodasi sisi lainnya pada nilai islam. Gerakan ini sendiri terinspirasi dari penaklukan Mekah (awal 1803) oleh kaum pembaharu pemurniaan islam wahabi yang menggunakan metode kekerasan, Ricklefs (2008).

Konflik ini menggambarkan pergolakan sosial dan inteletual akibat cara pandang generasi pembaharu terhadap agama, dan "penghakiman" pada tradisi dan cara pandang kelompok mayoritas tradisional, Schrieke (1973). 

Kritik utama kelompok Padri adalah pada praktek perjudian, sabung ayam, aspek-aspek adat yang berdasarkan garis ibu (matrileneal), penggunaan candu, minuman keras, tembakau, dan buah pinang, dan juga lemahnya ketaatan, umumnya terhadap kewajiban-kewajiban islam formal. Namun, mereka tidak sepenuhnya mengikuti pemurnian gerakan Wahhabi terkait tentang pemujaan terhadap orang-orang suci atau tempat-tempat keramat. Rickles (2008).

Akhir dari konflik padri melahirkan akomodasi antara adat dengan islam di masyarakat minangkabau. Pada konteks ini, padri meninggalkan bekas mendalam dan abadi kepada masyarakat minangkabau di dalam perimbangan yang berubah-ubah antara adat dan islam dengan tetap memperhatikan ortodoksi islam, Ricklefs, hal : 313 (2008).

Konsensus antara adat dan islam paska konflik padri dituangkan dalam perjanjian "Bukit Marapalam," yang fenomenal itu dan termanifest dalam adigium, "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah". Masyarakat minangkabau meyakini bahwa di dalam sistem sosial mereka, islam dan adat telah terjalin dengan baik.

Prinsip ini kemudian diturunkan dalam pepatah; "Syara' mangato, Adat Mamakai" yang bermakna bahwa segala bentuk ajaran agama, khususnya yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi diterapkan melalui adat; atau pepatah lain; "Syara' Batalanjang, Adat Basisampiang," yang bermakna bahwa apa yang dikatakan agama adalah tegas dan terang, tetapi setelah diterapkan dalam adat, dibuatlah peraturan pelaksananya yang sebaik-baiknya; atau pepatah lain; "Adat yang Kawi, Syarak yang Lazim," yang bermakna bahwa; adat tidak akan tegak jika tidak diteguhkan oleh agama, sedangkan agama sendiri tidak akan berjalan jika tidak dilazimkan (diterapkan) melalui adat, Fathurrahman (2008).

Wacana tentang adat dan islam umumnya mencakup konsistensi menjaga sistem kekeluargaan berdasarkan adat yang bersifat matrilineal, yang kontras dengan sistem kekerabatan islam yang bersifat patrilineal. 

Masyarakat minangkabau memperlihatkan keteguhan menganut islam di sisi lain dengan tetap mempertahankan sistem kekerabatan adat ini, yang oleh Taufik Abdullah disebut dengan "Tradisi Integrasi" dalam proses islamisasi di dunia melayu, khususnya masyarakat minangkabau, Abdullah (1989) dalam Fathurrahman (2008).

Ketegangan relasi antara adat dengan islam tidak berarti memudar paska padri. Ketegangan terjadi terutama pada awal abad ke-XX, yang lebih pada pertentangan intelektual, dengan melanjutkan pertentangan antara kelompok pembaharu (kaum muda) dengan kelompok tradisionalis (kaum tua), lihat Fathurrahman (2008) dan Azra (2013).

Namun pada umumnya, kecenderungan tradisi keberagamaan dan pemikiran islam pada masa-masa selanjutnya adalah saling mendekatkan tradisi tasawuf dengan tradisi syariah (fiqh) yang memperkuat kecenderungan "neo sufisme," Fazlur Rahman (1997) dalam Fathurrahman (2008). 

Ulama-ulama pada generasi ini adalah ulama-ulama ahli syariat (Fuqaha) sekaligus ahli hakikat (sufi), mereka benar-benar menguasai ritual keagaaman dan menghayati realitas mistis atau ketuhanan; mereka percaya bahwa komitmen total pada syariah mampu mengontrol kecenderungan sufisme yang berlebih-lebihan, Azra (1994) dalam Fathurrahman (2008).

Secara umum, kecenderungan Neo sufisme berlanjut sampai saat ini, terutama pada wilayah-wilayah pedesaan. Neo sufisme memperkuat corak islam lokal yang menghargai tradisi atau adat yang berkontribusi pada tradisi keberagamaan islam masyarakat Minangkabau.

*Artikel ini merupakan bagian dari Tesis Penulis yang berjudul : "Adat and Islamic Teaching in Community Based Forest Management A Case Study In Nagari Guguk Malalo, West Sumatera Indonesia" pada program studi INRM Pasca Sarjana Universitas Andalas, Padang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun