Gerakan Padri : Konflik dan AkomodasiÂ
Gerakan padri pada abad 19 M adalah fenomena sosial penting masyarakat minangkabau tentang bagaimana mereka merespon konflik dan mengakomodasi sisi lainnya pada nilai islam. Gerakan ini sendiri terinspirasi dari penaklukan Mekah (awal 1803) oleh kaum pembaharu pemurniaan islam wahabi yang menggunakan metode kekerasan, Ricklefs (2008).
Konflik ini menggambarkan pergolakan sosial dan inteletual akibat cara pandang generasi pembaharu terhadap agama, dan "penghakiman" pada tradisi dan cara pandang kelompok mayoritas tradisional, Schrieke (1973).Â
Kritik utama kelompok Padri adalah pada praktek perjudian, sabung ayam, aspek-aspek adat yang berdasarkan garis ibu (matrileneal), penggunaan candu, minuman keras, tembakau, dan buah pinang, dan juga lemahnya ketaatan, umumnya terhadap kewajiban-kewajiban islam formal. Namun, mereka tidak sepenuhnya mengikuti pemurnian gerakan Wahhabi terkait tentang pemujaan terhadap orang-orang suci atau tempat-tempat keramat. Rickles (2008).
Akhir dari konflik padri melahirkan akomodasi antara adat dengan islam di masyarakat minangkabau. Pada konteks ini, padri meninggalkan bekas mendalam dan abadi kepada masyarakat minangkabau di dalam perimbangan yang berubah-ubah antara adat dan islam dengan tetap memperhatikan ortodoksi islam, Ricklefs, hal : 313 (2008).
Konsensus antara adat dan islam paska konflik padri dituangkan dalam perjanjian "Bukit Marapalam," yang fenomenal itu dan termanifest dalam adigium, "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah". Masyarakat minangkabau meyakini bahwa di dalam sistem sosial mereka, islam dan adat telah terjalin dengan baik.
Prinsip ini kemudian diturunkan dalam pepatah; "Syara' mangato, Adat Mamakai" yang bermakna bahwa segala bentuk ajaran agama, khususnya yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi diterapkan melalui adat; atau pepatah lain; "Syara' Batalanjang, Adat Basisampiang," yang bermakna bahwa apa yang dikatakan agama adalah tegas dan terang, tetapi setelah diterapkan dalam adat, dibuatlah peraturan pelaksananya yang sebaik-baiknya; atau pepatah lain; "Adat yang Kawi, Syarak yang Lazim," yang bermakna bahwa; adat tidak akan tegak jika tidak diteguhkan oleh agama, sedangkan agama sendiri tidak akan berjalan jika tidak dilazimkan (diterapkan) melalui adat, Fathurrahman (2008).
Wacana tentang adat dan islam umumnya mencakup konsistensi menjaga sistem kekeluargaan berdasarkan adat yang bersifat matrilineal, yang kontras dengan sistem kekerabatan islam yang bersifat patrilineal.Â
Masyarakat minangkabau memperlihatkan keteguhan menganut islam di sisi lain dengan tetap mempertahankan sistem kekerabatan adat ini, yang oleh Taufik Abdullah disebut dengan "Tradisi Integrasi" dalam proses islamisasi di dunia melayu, khususnya masyarakat minangkabau, Abdullah (1989) dalam Fathurrahman (2008).
Ketegangan relasi antara adat dengan islam tidak berarti memudar paska padri. Ketegangan terjadi terutama pada awal abad ke-XX, yang lebih pada pertentangan intelektual, dengan melanjutkan pertentangan antara kelompok pembaharu (kaum muda) dengan kelompok tradisionalis (kaum tua), lihat Fathurrahman (2008) dan Azra (2013).
Namun pada umumnya, kecenderungan tradisi keberagamaan dan pemikiran islam pada masa-masa selanjutnya adalah saling mendekatkan tradisi tasawuf dengan tradisi syariah (fiqh) yang memperkuat kecenderungan "neo sufisme," Fazlur Rahman (1997) dalam Fathurrahman (2008).Â