Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam dan Adat di Minangkabau, Relasi Dinamik Islam dan Tradisi

21 Oktober 2018   08:51 Diperbarui: 21 Oktober 2018   09:12 1582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalinan islam dengan adat berjalan bertahap, seiring dengan penyebaran islam di Minangkabau, yaitu dari wilayah pesisir (rantau) ke daerah pedalaman (darek), yang dalam kosakata Minangkabau disebutkan sebagai; "Syara' Mandaki, Adat Manurun."

Corak tersebut terlihat di Nagari Guguk Malalo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. masyarakat Nagari Guguk Malalo mengalami proses islamisasi ini dengan tarekat Syattariah sebagai sarana utama penyebarannya, yang dipelopori oleh Tuanku 50. 

Figur Tuanku 50 sebagai guru tasawuf tarekat (murshid) Syattariah mempunyai pengaruh kuat dan mendalam bagi corak keberagamaan masyarakat nagari guguk malalo. 

Tuanko 50 sendiri adalah murid khalifah kelima dari Tuanku Burhanuddin Ulakan yang berpengaruh melebihi wilayah nagari guguk malalo, yaitu sampai ke daerah Luhak 50 Kota (Kabupaten 50 Kota), Sijunjung dan Pariaman.

Dalam penyebarasan ajaran Islam, Tuanku 50 mengajarkan agama yang terintegrasi dengan ajaran adat yang telah ada sebelum kehadiran islam, dengan corak hindu yang sedikit banyak mempengaruhi. Ritual-ritual yang hidup sampai sekarang di Nagari Guguk Malalo, seperti ritual mambuka kapalo banda misalnya, adalah bentuk aktual jalinan nilai islam dengan tradisi adat.

Corak tarekat seperti ini tidak terlepas dari karakter awal Syattariah yang berakar sinkretis pada perkembangan awalnya di India, sehingga konsep-konsep tasawuf syattariah memiliki persamaan dengan konsep-konsep dan ritual hindu. 

Dalam perkembangannya di Melayu-Indonesia mengalami pembaruan oleh Abdurrauf sebagai tokoh sentral penyebaran tarekat ini dengan melepaskan citra syattariah awal yang terlalu sinkretik dan mengidentikkan tarekatnya kepada al-Qushahshi (tarekat Qushashiyyah).

Tarekat Qushashiyyah sendiri adalah nama lain dari tarekat syattariah yang diperbaharui dengan melepaskan tarekatnya dari citra tarekat syattariah awal yang terlalu sinkretis, (Azzra, 1994). 

Dengan konteks tersebut, maka sifat dan corak tarekat syattariah yang berkembang di dunia Melayu-Indonesia pada abad 17-18 M adalah kecenderungannya untuk melakukan rekonsiliasi antara tradisi tasawuf dengan tradisi syariat.

Ajaran Abdurrauf tersebut kemudian diikuti oleh ulama-ulama sufi Minangkabau, yang dibawa oleh Tuanku Burhanuddin Ulakan yang kemudian menjadi murshid bagi ulama-ulama sufi Minangkabau, termasuk Tuanku 50 yang berperan di nagari guguk malalo. 

Rekonsiliasi antara tradisi tasawuf dengan fiqh ini sendiri merupakan bentuk dari tanggapan konflik antara ulama sufi (ahl-haqiqah) dengan para ulama fiqh (ahl al-shari'ah), Fathurrahman (2008).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun