Mohon tunggu...
Nurul Hidayah
Nurul Hidayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ibu dua anak, PhD Student at Monash University Australia

Menyimpan jejak petualangan

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Kuliah Sambil Mengasuh Batita di Luar Negeri

13 Maret 2023   12:36 Diperbarui: 14 Maret 2023   19:02 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu saat mengambil kuliah Master bidang Bioteknologi di tanah kelahiran di Bandung, seringkali saya terpaksa menitipkan bayi baru lahir saya ke Mama. 

Tak jarang saya harus pulang malam karena harus menyelesaikan beberapa pekerjaan di laboratorium sebagai riset tesis. Rasanya repot sekali harus memerah ASI dini hari di rumah dan jam-jam tertentu di Lab agar bayi bisa mendapatkan ASI eksklusif. 

Ditambah lagi dengan rasa bersalah telah meninggalkan bayi yang masih kecil. Kondisi ini membuat saya bertekad untuk putar arah ke bidang pendidikan jika melanjutkan kuliah nanti.

Melanjutkan kuliah di luar negeri sambil membawa anak tentunya akan memberikan pengalaman tersendiri bagi anak. 

Bagi saya sebagai orang tua pun menjadi lebih tenang karena bagaimanapun kondisi anak, saya sebagai orangtua ada di dekatnya. 

Itulah alasan saya membawa serta Si Sulung yang dulu sering ditinggal karena emaknya berurusan dengan mikroba di kampus dan Si Bungsu yang baru berusia sepuluh bulan saat tiba di Melbourne.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi

Saya membayangkan mengambil PhD bidang pendidikan akan membuat saya santai. "Paling 'cuma' baca dan nulis doang. Bisa lah sambil mengasuh bayi," pikir saya. Yang akan menyita banyak waktu paling saat ambil data. 

Hmmm... Ternyata tak semudah itu. Andai saja membaca jurnal itu seperti membaca novel yang bisa saya lakukan sekali duduk bahkan rela tak tidur. 

Selesai membaca, saya bisa langsung ceritakan garis besar dari awal hingga akhir meski tak bisa ditulis dengan gaya seindah penulis novelnya tentunya. 

Membaca jurnal bagi saya perlu upaya lebih. Belum lagi bahasa Inggris bukan bahasa sehari-hari saya, bukan pula jurusan saya. Urusan menulis juga bukan perkara gampang. Terlebih tulisan akademik dalam bahasa Inggris, repot deh bagi saya yang mengambil IELTS dua kali pun, nilai writing masih tetap pas-pasan. 

Selain membaca, kegiatan lainnya sebelum menulis tentunya melakukan analisis terhadap apa yang kita baca. Kita harus memfamiliarkan diri dengan berbagai software yang bisa membantu proses tersebut. Ini membutuhkan waktu dan energi juga. Belum lagi ada workshop yang wajib diikuti. Agar bisa tetap sambil menjaga bayi di rumah, saya sering mengambil yang moda daring.

Kuliah di tanah rantau sambil mengasuh bayi ternyata tak mudah. Itulah kenapa seorang kawan asal Srilanka membawa serta ibunya untuk dimintai tolong menjaga batitanya saat dia harus ke kampus. 

Bagi saya, rasanya tak tega membawa mama yang dulu saya titipi Si Sulung kalau sekarang harus juga diminta menjaga Si Bungsu. 

Kalaupun suatu saat mengajak Mama ke sini, inginnya ya untuk main bukan MC (Momong Cucu). 

Selama hampir setahun, saya melakukan trial and error pola belajar sambil mengasuh bayi.

1. Tiga Bulan Pertama: Bayi Diasuh Full di Rumah

Tiga bulan pertama merupakan masa adaptasi bagi saya maupun seluruh anggota keluarga. Kegiatan kampus seperti membaca modul wajib dan workshop bisa dilakukan secara daring. 

Saya paling hanya sesekali saja pergi ke kampus terutama saat bimbingan dengan dosen. Lho, bukannya bisa minta daring juga? Bisa sih, tapi feelnya beda. 

Kalau darurat amat misalnya, supervisor sedang melanglangbuana ke belahan bumi mana, baru lah daring. Atau pernah juga saya minta daring karena sedang isoman. 

Di bulan pertama, suami belum bekerja sehingga bisa menjaga bayi saat saya pergi sekitar tiga jam untuk bimbingan. Ini sudah plus waktu perjalanan. 

Setelah suami mulai bekerja, untungnya Si Sulung masih belum mulai sekolah karena tanggung di tengah-tengah term saat datang, sekolah menyarankan untuk masuk di term berikutnya.

Si Sulung yang berumur empat belas tahun alhamdulillah sudah bisa menjaga adiknya. Namun kadang Si Adik rewel, sehingga saya harus memangkas waktu perjalanan dengan cara menggunakan Didi, Uber, atau 13cab dengan konsekuensi biaya lebih mahal dari naik bis tentunya. 

2. Tiga Bulan Kedua: Bayi Masuk Daycare 8 Jam Per Minggu

Berhubung suami bekerja, Si Sulung sekolah, tak ada lagi orang yang bisa dititipi saat saya harus bimbingan. 

Eh, sebenarnya ada sih seorang kawan yang berbaik hati mau dititipi satu atau dua jam saat saya bimbingan. Akan tetapi, Si bayi harus kenal dulu tentunya agar tidak rewel. Masa iya saya harus sering berkunjung ke rumahnya untuk mengakrabkan Si bayi. Akan membutuhkan banyak waktu pastinya. 

Berhubung melihat biaya day care yang di atas 100 AUD per harinya dan sebagai mahasiswa internasional dengan beasiswa di luar pemerintah Australia tak dapat subsidi, saya mencoba mencari opsi daycare yang agak terjangkau. Alhamdulillah menemukan family daycare harga bersahabat. 

Family daycare agak berbeda dengan daycare lembaga. Family daycare ini seperti kita menitipkan anak kita di rumah pengasuhnya. Eh, bukan pengasuh tapi disebutnya educator. Untuk bisa menjadi educator mereka harus menempuh pendidikan setara diploma terlebih dahulu. Para educator tersebut biasanya akan menginduk ke salah satu Council.

Saya menitipkan anak saya dua hari per pekan di family daycare dekat rumah karena dia hanya bisa dua hari dititipi anak saya. Hari di mana dia tidak bekerja di bawah Council, sehingga saya hanya membayar 7 AUD per jam dari yang harusnya 10 AUD per jam kalau daftar via Council. 

Selain itu, jika daftar via Council saya harus tetap membayar keseluruhan meski si anak absen, karena sakit misalnya.

Rencananya sih dua hari tersebut dititip full di daycare, namun karena masih ASI dan saat itu umurnya masih kecil, akhirnya hanya 4 jam per harinya. 

Alhamdulillah jadwal bimbingan bisa dinego sesuai jadwal bayi masuk daycare. Berbagai workshop masih saya ikuti secara daring meski saya terkadang memohon maaf untuk tidak terlibat diskusi di breakout room kalau si bayi rewel. 

Ternyata eh ternyata, saat ngobrol dengan seorang psikolog, anak rewel itu adalah cara dia meminta perhatian kita yang ada di dekatnya namun sambil nyambi-nyambi. Oalah... gitu toh...

3. Tiga Bulan Ketiga: Pejuang Subuh

Menitipkan anak 8 jam per pekan ke daycare ternyata tak cukup memberi saya waktu untuk mengerjakan tugas-tugas saya. Capaian masih sangat jauh dari target-target saya. 

Belajar sambil mengasuh bayi nyatanya lebih banyak iklannya daripada belajarnya. Maka saya putuskan untuk belajar mulai dini hari. 

Pukul 2 malam saya sudah mulai bangun dan mulai mengerjakan berbagai tugas kampus. Mulai pukul 6 pagi hingga pukul 5 sore saya full mengurus bayi dan mengerjakan pekerjaan rumah (duh, jadi kangen asisten). 

Setelah makan malam, si bayi biasanya diasuh kakaknya beberapa jam. Saya melanjutkan kembali tugas-tugas yang tertunda. 

Jalan beberapa minggu, tubuh saya protes dan tumbang. Saya kena hay fever selama kurang lebih dua minggu. Tugas harus selesai namun tubuh juga harus tetap dijaga. Harus ada cara lain!

4. Tiga Bulan Keempat: Full Daycare

Deadline confirmation ("sidang proposal") semakin mendekat namun saya masih belum menyelesaikan proposal. Tidak mudah untuk berkonsentrasi menulis sambil mengasuh bayi yang menuntut banyak perhatian. Saya putuskan untuk memasukkan bayi ke daycare dengan durasi lebih lama dan frekuensi lebih banyak. Hitung-hitung proses penyapihan secara bertahap juga. 

Alhamdulillah saya bertemu daycare kedua milik seorang warga Australia asal Afghanistan. Berbeda dengan family daycare, daycare yang ini lebih terstruktur dari segi kurikulum dan ditangani oleh banyak staff. 

Selain itu popok dan makanan juga disediakan sehingga orang tua tak perlu repot membekali bayi saat ditiipkan. Biaya per harinya 120 AUD. Ya amppyuuuun.... bikin pening. 

Setelah berkomunikasi dengan pemiliknya, berhubung saya bukan termasuk yang mendapat childcare subsidi, Alhamdulillah beliau berkenan memberi diskon 25 %. 

Saya bisa menitipkan dari jam 7 pagi hingga jam 6 sore. Inginnya sih saat daycare buka saya sudah di tempat, tapi kerempongan pagi plus harus menempuh lokasi dengan dua kali naik bis membuat kami tiba di daycare pukul 9 atau pukul 8 paling pagi. 

Usai mengantar bayi ke daycare, saya menuju kampus untuk mengerjakan berbagai tugas. Alhamdulillah lebih kondusif dibanding mengerjakan di rumah. Sekitar pukul 5 sore saya dijemput suami yang telah pulang bekerja kemudian sama-sama menjemput bayi. 

Alhamdulillah, di tiga bulan terakhir ini saya bisa menyelesaikan proposal dan lulus "sidang" tahun pertama. 

Terima kasih untuk puteri kecilku yang anteng happy main di daycare, sulungku yang banyak membantu urusan rumah, pak suami yang membantu biaya daycare, Mama dan adik-adik yang selalu menyemangati dan mendo'akan, teman-teman di PhD hub yang banyak menginspirasi, dua supervisorku yang selalu suportif, teman spesial satu bimbingan, juga pihak yang tak bisa disebut satu persatu. Oalah, maaf kepanjangan. Sudah kayak ucapan terima kasih di skripsi saja, hehehe...

Melbourne, 13 Maret 2023

Mengenang 6 Maret 2023 yang penuh haru

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun