Ternyata eh ternyata, saat ngobrol dengan seorang psikolog, anak rewel itu adalah cara dia meminta perhatian kita yang ada di dekatnya namun sambil nyambi-nyambi. Oalah... gitu toh...
3. Tiga Bulan Ketiga: Pejuang Subuh
Menitipkan anak 8 jam per pekan ke daycare ternyata tak cukup memberi saya waktu untuk mengerjakan tugas-tugas saya. Capaian masih sangat jauh dari target-target saya.Â
Belajar sambil mengasuh bayi nyatanya lebih banyak iklannya daripada belajarnya. Maka saya putuskan untuk belajar mulai dini hari.Â
Pukul 2 malam saya sudah mulai bangun dan mulai mengerjakan berbagai tugas kampus. Mulai pukul 6 pagi hingga pukul 5 sore saya full mengurus bayi dan mengerjakan pekerjaan rumah (duh, jadi kangen asisten).Â
Setelah makan malam, si bayi biasanya diasuh kakaknya beberapa jam. Saya melanjutkan kembali tugas-tugas yang tertunda.Â
Jalan beberapa minggu, tubuh saya protes dan tumbang. Saya kena hay fever selama kurang lebih dua minggu. Tugas harus selesai namun tubuh juga harus tetap dijaga. Harus ada cara lain!
4. Tiga Bulan Keempat: Full Daycare
Deadline confirmation ("sidang proposal") semakin mendekat namun saya masih belum menyelesaikan proposal. Tidak mudah untuk berkonsentrasi menulis sambil mengasuh bayi yang menuntut banyak perhatian. Saya putuskan untuk memasukkan bayi ke daycare dengan durasi lebih lama dan frekuensi lebih banyak. Hitung-hitung proses penyapihan secara bertahap juga.Â
Alhamdulillah saya bertemu daycare kedua milik seorang warga Australia asal Afghanistan. Berbeda dengan family daycare, daycare yang ini lebih terstruktur dari segi kurikulum dan ditangani oleh banyak staff.Â
Selain itu popok dan makanan juga disediakan sehingga orang tua tak perlu repot membekali bayi saat ditiipkan. Biaya per harinya 120 AUD. Ya amppyuuuun.... bikin pening.Â