Membaca jurnal bagi saya perlu upaya lebih. Belum lagi bahasa Inggris bukan bahasa sehari-hari saya, bukan pula jurusan saya. Urusan menulis juga bukan perkara gampang. Terlebih tulisan akademik dalam bahasa Inggris, repot deh bagi saya yang mengambil IELTS dua kali pun, nilai writing masih tetap pas-pasan.Â
Selain membaca, kegiatan lainnya sebelum menulis tentunya melakukan analisis terhadap apa yang kita baca. Kita harus memfamiliarkan diri dengan berbagai software yang bisa membantu proses tersebut. Ini membutuhkan waktu dan energi juga. Belum lagi ada workshop yang wajib diikuti. Agar bisa tetap sambil menjaga bayi di rumah, saya sering mengambil yang moda daring.
Kuliah di tanah rantau sambil mengasuh bayi ternyata tak mudah. Itulah kenapa seorang kawan asal Srilanka membawa serta ibunya untuk dimintai tolong menjaga batitanya saat dia harus ke kampus.Â
Bagi saya, rasanya tak tega membawa mama yang dulu saya titipi Si Sulung kalau sekarang harus juga diminta menjaga Si Bungsu.Â
Kalaupun suatu saat mengajak Mama ke sini, inginnya ya untuk main bukan MC (Momong Cucu).Â
Selama hampir setahun, saya melakukan trial and error pola belajar sambil mengasuh bayi.
1. Tiga Bulan Pertama: Bayi Diasuh Full di Rumah
Tiga bulan pertama merupakan masa adaptasi bagi saya maupun seluruh anggota keluarga. Kegiatan kampus seperti membaca modul wajib dan workshop bisa dilakukan secara daring.Â
Saya paling hanya sesekali saja pergi ke kampus terutama saat bimbingan dengan dosen. Lho, bukannya bisa minta daring juga? Bisa sih, tapi feelnya beda.Â
Kalau darurat amat misalnya, supervisor sedang melanglangbuana ke belahan bumi mana, baru lah daring. Atau pernah juga saya minta daring karena sedang isoman.Â
Di bulan pertama, suami belum bekerja sehingga bisa menjaga bayi saat saya pergi sekitar tiga jam untuk bimbingan. Ini sudah plus waktu perjalanan.Â