Ke dua, Setiap kali saya melahirkan, Uni selalu mendampingi. Tiga hari pertama, pagi-pagi beliau menyiapi air panas buat saya mandi. Urusan dapur semuanya beres.Â
Yang diwanti-wanti suami saya, jangan beliau mencuci pakaian. Maklum, zaman itu pembalut wanita belum memasyarakat. Meskipun di kota sudah dijual, tidak terjangkau oleh kantong PNS golongan II/a seperti saya.
Kini, mereka berempat telah tiada. (Emak dan Uni plus dua putranya). Rumah dan kamar kami dahulu sebagai saksi bisu. Walaupun kosong tak berpenghuni, di sanalah penderitaan hidup ini pernah bersemayam. Kehidupan cucu cicit dan keluarga dekatnya telah terbilang mapan. Mereka punya tempat tinggal masing-masing.
Tetapi ukhuwah Islamiah saya dan keturunan beliau tetap tersambung. Walaupun kami berdomisili di tempat berbeda. Kapan ketemu, atau nelepon, ada yang suka manja-manja, serasa anak dan cucu sendiri. Seketika pula terselip doa di dalam hati. Semoga mereka berempat damai di alam sana.
Demikian nasib pendidik era tujuh puluhan. Bandingkan dengan kesejahteraan guru zaman sekarang.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H