Tapi, ya sudahlah, hidup harus berjalan terus. Move on dong, Bro!
Ikhtiarku pun tak berhenti begitu saja. Kali ini lewat jalur lain, melalui murobbi alias guru ngaji, aku mengajukan proposal ta'aruf untuk seorang akhwat (aktivis perempuan) teman seangkatanku semasa kuliah.Â
Fisik sang akhwat notabene biasa saja namun yang aku kagumi adalah semangat dakwah dan komitmennya dalam beramal semasa kami berdua aktif dalam kegiatan dakwah kampus di tingkat fakultas dan universitas.Â
Namun, setelah menunggu jawaban nyaris dua bulan lamanya, ia ternyata menolakku---melalui jawaban lisan dari sang murobbiyah---karena dianggap "kurang soleh". Ah, nasib!
"Afwan ya, Lam. Sebetulnya si akhwat udah mau. Dia kan seangkatan antum. Jadi tahu kiprah antum di organisasi kampus. Tapi ada poin yang memberatkan. Jadi, atas rekomendasi murobbiyahnya, antum ditolak."Â
Konon demikianlah jawaban sang akhwat melalui lisan sang murobbi.Â
Saat itu guruku berusaha menyampaikan dengan hati-hati dan empatik. Namun apa pun bentuk penyampaiannya, hatiku terlanjur luluh-lantak.
Ya Allah, rasanya aku punya stempel dosa di dahi yang tak terhapus. Kisah pertemuan dengan 'cinta pertama' yang sudah beberapa tahun lewat jadi bayang-bayang yang menghambat perjodohanku. Dua ta'aruf berikutnya juga bernasib sama. Bahkan tanpa alasan yang jelas. Ya, sudahlah!
Hingga akhirnya aku berkenalan dengan seorang gadis Palembang yang awalnya sahabat penaku selama lima tahun. Tanpa ada tendensi apa-apa pada awalnya.Â
Aku mengenalnya melalui rubrik sahabat pena di sebuah majalah Islam. Karena ia hobi membaca, aku sering kirimi ia tulisan-tulisanku. Dan ia juga seorang pengapresiasi dan kritikus yang baik. Kami sering berdiskusi via telepon dan surel.Â
Awalnya tidak ada rasa apa-apa di antara kami. Hanya saja ia memang teman diskusi yang enak. Sama juga sebetulnya seperti para "kandidat" sebelumnya.Â