Ada sebuah kutipan bijak tentang "move on" yang aku temui di sebuah platform media sosial yang berbunyi: "You can't change what already happened, so, don't waste your time thinking about it. Move on, let go, and get over it."
Engkau tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi, jadi, jangan buang-buang waktumu untuk memikirkannya. Bangkitlah, lepaskanlah, dan terimalah. Demikian kurang lebih terjemahannya.
"Move On", yang dipadankan oleh Ivan Lanin, sang Wikipediawan Indonesia, dengan "beranjak" memang berkonotasi erat dengan dunia percintaan. Kendati sejatinya pemaknaannya jauh lebih luas daripada itu. Dapat pula terkait dengan dunia pekerjaan, studi atau politik.Â
Jika ada perkataan bijak yang mengatakan "gagal itu biasa, bangkit dari kegagalan itu baru luar biasa", maka demikian juga dalam dunia percintaan atau perjodohan. Patah hati itu biasa, "move on" itu baru luar biasa!
Dan topik beranjak atau bangkit dari kegagalan atau "move on" mengingatkanku pada memori asam manis percintaan di masa lampau.
Terutama perihal kisah cinta pertamaku dengan seorang gadis Betawi campuran Sunda.Â
Ia kawan SMA, namun berbeda kampus perguruan tinggi selepas lulus sekolah menengah atas. Aku di Universitas Indonesia (UI), ia di kampus tetangga UI.Â
Itulah kisah percintaan sewindu yang berujung kandas karena perbedaan status ekonomi. Klasik memang.
Sang calon mertua menolak pinanganku untuk menikahi puteri sulungnya dengan alasan "belum mapan".Â
Sebetulnya beliau tidak langsung mengatakan itu, namun sekadar menyebutkan syarat jenis kendaraan roda empat yang harus kupunyai. Suatu isyarat penolakan yang halus, bukan?
Tapi, ya sudahlah, hidup harus berjalan terus. Move on dong, Bro!
Ikhtiarku pun tak berhenti begitu saja. Kali ini lewat jalur lain, melalui murobbi alias guru ngaji, aku mengajukan proposal ta'aruf untuk seorang akhwat (aktivis perempuan) teman seangkatanku semasa kuliah.Â
Fisik sang akhwat notabene biasa saja namun yang aku kagumi adalah semangat dakwah dan komitmennya dalam beramal semasa kami berdua aktif dalam kegiatan dakwah kampus di tingkat fakultas dan universitas.Â
Namun, setelah menunggu jawaban nyaris dua bulan lamanya, ia ternyata menolakku---melalui jawaban lisan dari sang murobbiyah---karena dianggap "kurang soleh". Ah, nasib!
"Afwan ya, Lam. Sebetulnya si akhwat udah mau. Dia kan seangkatan antum. Jadi tahu kiprah antum di organisasi kampus. Tapi ada poin yang memberatkan. Jadi, atas rekomendasi murobbiyahnya, antum ditolak."Â
Konon demikianlah jawaban sang akhwat melalui lisan sang murobbi.Â
Saat itu guruku berusaha menyampaikan dengan hati-hati dan empatik. Namun apa pun bentuk penyampaiannya, hatiku terlanjur luluh-lantak.
Ya Allah, rasanya aku punya stempel dosa di dahi yang tak terhapus. Kisah pertemuan dengan 'cinta pertama' yang sudah beberapa tahun lewat jadi bayang-bayang yang menghambat perjodohanku. Dua ta'aruf berikutnya juga bernasib sama. Bahkan tanpa alasan yang jelas. Ya, sudahlah!
Hingga akhirnya aku berkenalan dengan seorang gadis Palembang yang awalnya sahabat penaku selama lima tahun. Tanpa ada tendensi apa-apa pada awalnya.Â
Aku mengenalnya melalui rubrik sahabat pena di sebuah majalah Islam. Karena ia hobi membaca, aku sering kirimi ia tulisan-tulisanku. Dan ia juga seorang pengapresiasi dan kritikus yang baik. Kami sering berdiskusi via telepon dan surel.Â
Awalnya tidak ada rasa apa-apa di antara kami. Hanya saja ia memang teman diskusi yang enak. Sama juga sebetulnya seperti para "kandidat" sebelumnya.Â
Bedanya, ia yang saat itu pegawai di perusahaan telekomunikasi dengan gaji jauh lebih besar daripadaku bisa menerima aku dan pekerjaanku saat itu sebagai penerjemah lepas (freelance translator) yang tidak tentu pendapatan dan tunjangan kerjanya.Â
Just take me the way I am, itu saja syaratnya. Toh, kita adalah manusia yang butuh dimanusiakan. Waktulah yang akan berbicara sesuai garis takdir Tuhan.Â
Seperti lagu rakyat Swahili di Afrika bahwa hidup adalah perjuangan, dan kalah atau menang adalah Tuhan yang menentukan.Â
Doa-doa pun rajin kupanjatkan ke hadirat Ilahi demi makbulnya suatu keinginan.
Hingga Allah menakdirkan hubungan setahun kurang itu berujung ke pelaminan pada 2007, empat belas tahun silam.Â
Dan, alhamdulillah, hingga kini masih bertahan dengan seorang putera tampan hasil buah cinta kami.Â
Semoga langgeng samawa (sakinah mawaddah wa rahmah) hingga ajal menjemput, demikian senantiasa doa kami.
Jadi, buat para sobat dan adik muda yang tengah galau atau gundah dengan kehidupan percintaan, ingatlah bahwa dengan atau tanpa kekasihmu, toh hidupmu pun akan berjalan terus. Perjuangan hidupmu harus terus berjalan seiring ujian dan masalah yang datang.Â
Karena masalah seperti halnya rejeki hanya akan berhenti ketika ajal menjemput.Â
Dan jodoh, sebagaimana halnya rejekimu, telah ditetapkan dan harus diikhtiarkan. Tugasmu hanya berikhtiar, tiada lain. Tuhan jua yang menentukan.Â
Sobat, catatanku ini juga hanya bagian dari sebuah cerita nostalgia yang moga bermanfaat adanya.Â
Pada akhirnya kisah ini bukanlah sebuah catatan akhir atau kesimpulan yang menjadi akhir sebuah kisah sukses. Karena, mengenang pesan Kyai Haji Agus Salim---salah satu tokoh idolaku---bahwa "jangan menilai hari sebelum petang".
Jakarta, jelang Ramadhan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H