Tentu saja bulu kuduk agak meremang karena ngeri. Demikian juga ketika nama sang pemakan mayat, Soemanto, beredar menjadi kegegeran nasional, reaksiku masih wajar-wajar saja. Ada ngeri, jijik. Tapi sebatas kadar normal.Â
Namun, sang Soemanti, julukan dari wartawan untuk sang pemakan bayi dari Depok ini, sungguh luar biasa kadar terornya. Entahlah bagi pembaca yang lain. Bagiku, ya, sangat terasa.
Sering aku berpikir apakah aku yang kelewat lewah pikir.Â
Sejujurnya, aku bukan orang yang gampang jijik atau ngeri dengan sesuatu.Â
Ketika teman-teman semasa kecilku mengorek-ngorek selokan kotor dengan sepotong kayu bahkan bersarung tangan untuk mencari cacing guna umpan ikan cupang, tren hewan piaraan bocah zaman SD era 80-90an yang kini merebak kembali di kalangan dewasa, aku santai saja mengorek-ngoreknya dengan tangan telanjang.Â
Aku juga tidak seperti salah satu temanku yangdijuluki  Mr. Waterman. Ia dapat menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk cuci tangan atau wudhu.Â
Menurutnya, setiap kali mencuci tangan atau mandi, seakan ada bayangan yang mengawasinya dan kadang memperingatinya bahwa ia belum mencuci atau mandi dengan bersih. Sehingga ia harus melakukannya berulang-ulang. Tampaknya ini lebih mendekati paranoia.
Namun, jika saat ini banyak di antara kita yang mengalami  gejala "overthinking" atau lewah pikir, tampaknya wajar saja. Kondisi pandemi dan kondisi negeri ini memang sangat kondusif untuk itu.Â
Ketika pandemi virus korona, krisis ekonomi, ketidakpercayaan sosial (social distrust) saling berjalin berkelindan serta berkembang di antara kalangan masyarakat.
Ketika kekerasan sering jadi bahasa pamungkas untuk mengatasi perselisihan dan perbedaan.
Ketika ikatan kekeluargaan melonggar dan menjadikan sesama anggota keluarga asing dengan tetangga bahkan saudaranya sendiri.Â